“Arya, boleh mama masuk?”, tanya Inggit hati - hati saat memasuki kamar Arya.
Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang tetapi dia tidak juga beranjak dari kasurnya.
“Kamu minum lagi?”, tanya Inggit khawatir.
“Engga, ma.”, jawab Arya singkat dibalik selimutnya. Suaranya serak dan terdengar tidak bersemangat.
“Terus, kenapa sudah siang gak turun ke bawah dan makan? Kamu juga pasti belum mandi, kan?”, tanya Inggit sedikit geram. Dia menepuk punggung anaknya yang masih tertutup selimut itu.
Tadi malam tidak ada suara gaduh seperti biasanya. Kuswan menunggu Arya pulang hingga jam 1 malam. Dia memastikan anak ini tidak mabuk tadi malam dan langsung masuk kamar.
Inggit sudah menunggu Arya dari pagi untuk mengatakan perihal keinginannya untuk menjodohkan Arya dan Dinda, anak Ratna. Tapi karena puteranya ini tak juga kunjung keluar kamar, Inggit memberanikan diri untuk masuk.
“Arya mau keluar sore ini dan makan dengan klien. Kemarin Arya lembur di kantor untuk selesaikan PPT meeting pagi ini. Ternyata, klien baru mendarat siang ini. Meeting diundur jadi sore. Mama mau ngomong apa?”, Arya langsung to the point.
Dia tahu benar gelagat mamanya. Jika sudah masuk ke kamarnya, pasti ada hal serius yang ingin beliau bicarakan. Jika tidak, Inggit tak akan masuk ke dalam kamar dan hanya berteriak dari balik pintu atau meminta Bi Rumi membangunkannya.
“Kamu bangun dulu maka-nya. Mama mau bicara serius. Masa mama bicara sama punggung kamu? Itu juga kamu tutup selimut”, Arya dari tadi masih saja memeluk bantal guling dan bersembunyi di balik selimut.
Dia lalu bangun dengan malas. Sebenarnya dia berniat bangun satu jam lagi.
“Ini sudah tiga tahun sejak kamu resmi bercerai dengan mantan isteri kamu. Mama pikir, sudah saatnya kamu menikah dan membangun keluarga yang baru…”
“Ahhh itu lagi pembahasannya. Ma, program TV saja bisa silih berganti setiap hari. Apa mama tidak bosan membicarakan hal itu terus?.”, belum selesai Inggit berbicara, Arya sudah memotong sambil bangun dan menggaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sejak tiga bulan yang lalu dia pindah ke rumah ini, pembicaraan tentang pernikahan sudah lebih dari 10 kali dia dengar. Arya memang tidak pernah memberikan perlawanan berarti pada mamanya. Kakak perempuannya sudah cukup mengecewakan mamanya. Perceraiannya juga menjadi kekecewaan lain yang dia berikan.
“Ma, aku cerai sama Sarah karena aku gak bisa kasih dia keturunan. Trus mama pengen aku nikah lagi buat apa?”, Arya mulai berterus terang untuk pertama kalinya.
“Kamu kan gak pernah periksa langsung ke dokter. Itu cuma alasan yang dibuat - buat sama Sarah aja. Kamu jangan terlalu percaya sama dia.”, Inggit kembali teringat pada luka lama perceraian Arya. Wanita itu sudah dia beri kesempatan masuk ke keluarganya tetapi malah menjadi duri dalam daging.
“Ma, aku nikah sama Sarah udah 5 tahun. Selama itu, Sarah gak pernah sekalipun hamil. Dan itu yang buat dia pengen cerai kan sama aku. Jadi sudahlah, gak usah nambah masalah dengan menghadirkan wanita lain lagi.”, Arya mulai frustasi. Dia takut jika pembicaraan ini dilanjutkan, dia hanya akan mengeluarkan kata - kata kasar pada mamanya.
Kadang itulah kenapa Arya lebih memilih untuk minum dan bermalam di klub. Setidaknya ketika pulang, dia sudah sangat mengantuk dan tidak terlibat pertengkaran seperti hari ini. Kalaupun akhirnya bertengkar, dia juga sudah tidak ingat paginya. Dia hanya mendengar tanpa perlawanan.
“Dengarkan mama dulu, plis. Mama mohon.”, kata Inggit dengan nada lembut. Dia berusaha selunak mungkin dengan Arya. Karena jika dia keras, Arya pasti akan lebih keras lagi. Dua benda yang keras beradu, keduanya akan mental.
“Mama punya teman. Kamu mungkin tidak ingat. Namanya tante Ratna. Dia punya anak yang cantik, ayu, sopan, dan baru saja meniti karir. Masih muda dan baik. Namanya Dinda…”, Inggit melanjutkan ceritanya.
“Apa - apaan sih ma. Jadi maksud mama, mama mau jodohin aku? Ma, I’m 34. I know what’s right and wrong. What’s wrong with you, mom?”, kata Arya emosi. Dia bangun dengan membanting selimut. Dia bergerak menuju kamar mandi yang langsung dihadang oleh Inggit.
Dia mengajak Arya bergeser ke sofa di dalam kamar itu.
“Dengerin mama. Kamu belum kenal Dinda. Dia anak yang baik, bertanggung jawab juga sama seperti kamu. Mama yakin dia akan jadi istri yang baik buat kamu. Temen mama, tante Ratna sudah mendidik dia dengan baik. Mama yakin itu.”, Inggit terus berusaha meyakinkan Arya.
“Kamu mungkin merasa ini mustahil. Tapi, feeling seorang ibu itu kuat, Arya. Mama sudah beberapa kali mengobrol dengan dia dan mama nyaman.”, Inggit memang mulai rutin ke rumah Ratna.
Sejak sebulan yang lalu dia mengatakan pada Ratna keinginannya. Dia terus menyempatkan diri mampir dan berusaha mengenal Dinda lebih jauh lewat obrolan - obrolan singkat bersama Ratna. Kadang - kadang, Arga adik Dinda juga ikut.
Inggit merasa seperti inilah keluarga. Dia seperti membuka kembali kenangan dulu sewaktu anak - anaknya masih muda. Inggit juga merasakan hal yang sama saat orang tuanya masith ada dulu. Kehangatan yang bisa membuat kamu berpikir, rumah memang tempat untuk pulang.
“Ma, kalau mama nyaman sama dia. Mama aja yang nikah, jangan ajak - ajak aku.”, tak lagi bisa dicegat, Arya melengos ke kamar mandi. Dia sudah tidak sanggup mendengar drama mamanya lagi. Sudah cukup pikirnya.
****
3 minggu sebelumnya
“Din, Ibu boleh bicara sebentar sama kamu?”, sepulangnya Inggit dari rumahnya dengan maksud dan tujuan perjodohan itu, Ratna masih bungkam. Ia berpikir terus hingga dia tidak fokus mengerjakan pesanan cateringnya.
Jika Inggit hanya orang biasa, Ratna mungkin sudah menolak tawaran itu dari lama. Bukan karena Ratna tidak percaya. Tapi Arya adalah pria yang sudah pernah menikah dan gagal dalam pernikahannya. Ratna tidak tahu apa yang membuat pernikahan itu gagal, tapi Ratna merasa tidak nyaman dengan hal itu. Ditambah lagi, Arya jauh lebih tua sembilan tahun dari Dinda.
Jika Ratna berada di posisi Dinda, dia juga pasti akan menolak mentah - mentah tawaran itu. Tapi ini Inggit. Inggit, orang yang menyelamatkannya.
Sebenarnya dua bulan setelah suaminya kabur, Ratna sudah berpikir ingin bunuh diri saja bersama kedua anaknya. Dia sudah membeli racun tikus dan siap memasukkannya bersama makan malam mereka hari itu.
Suaminya tidak kabur begitu saja, dia meninggalkan hutang, menjual rumah, motor, dan semua perhiasan. Ratna ditinggal tanpa modal sepeserpun.
Sore itu, sebelum makan malam, Inggit datang. Ia menawarkan bantuan karena mendengar dari tetangga arisannya tanpa sengaja. Inggit membawa sejumlah uang tunai untuk modal berjualan. Ia selalu memuji masakan Ratna dan menawarkan ide berjualan katering. Dia sudah punya daftar calon pelanggan yang bisa dia bantu tawarkan.
Koneksi Inggit memang luas. Mudah baginya untuk mengumpulkan ibu - ibu yang membutuhkan catering. Ia juga bisa menawarkan pada ibu - ibu rekan Kuswan bekerja dulu. Orang dengan kesibukan yang padat pasti membutuhkan catering di rumahnya. Apalagi mereka yang senang mengadakan acara.
Dinda dan Arga tidak pernah tahu cerita itu. Cerita tentang rencana Ratna untuk bunuh diri malam itu. Rencananya ingin membunuh dirinya dan dua anaknya. Sampai saat inipun, Ratna tak sanggup menceritakannya. Dia merasa bersalah setiap kali melihat Dinda dan Arga tumbuh menjadi orang yang baik dan dewasa.
“Iya Bu, masuk aja. Aku cuma lagi nonton aja, kok.”, jawab Dinda menghentikan sementara video yang sedang ditontonnya.
“Din, ibu mau bicara serius sama kamu. Tapi, kamu janji nggak akan marah sama Ibu, ya. Ibu serahkan semua keputusan ke kamu. Tapi Ibu mau kamu mendengar cerita ibu sampai akhir.”, jawab Ratna serius. Dia menarik kursi dan berhadapan dengan Dinda yang saat itu ada diatas kasur bersama laptopnya.
Ratna menceritakan semuanya. Ia memulai kalimatnya dengan berterus terang pada dosanya di masa lalu. Meski itu tidak terjadi, tetapi niat itu ada dan Ratna sangat malu mengingatnya. Ia menceritakan satu persatu tanpa hilang satu poin pun.
Bagaimana malam itu Inggit tiba - tiba datang memberikan harapan sekaligus menyadarkan betapa egoisnya Ratna. Dia seharusnya tidak menghancurkan masa depan kedua anaknya dengan mencoba mengakhiri hidup mereka.
Mungkin saat itu Inggit adalah jawaban tuhan atas do’a - do’anya. Dan Ratna yakin, rencana Inggit mungkin akan menuju pada hal baik juga.
Dinda tidak bergeming. Dia menahan tangisnya. Dia masih berpikir. Pandangannya jauh dan masih mengawang. Dia masih mencoba mencerna semuanya. Skenario jawaban yang sudah ada di ujung bibirnya. Tapi dia masih ragu karena berpikir bolehkah dia mengeluarkan jawaban lain?
Rasanya seperti tercekat di bibir. Lehernya tercekik. Seorang Dinda tidak pernah sekalipun membantah ibunya. Dia berpikir, itu adalah satu - satunya cara agar ibunya selalu bahagia. Ibu sudah menderita banyak. Meski fisik terlihat segar, meski senyum terus terpancar, tapi jauh di dalam hati, ibunya terus menerus ditebas pedang pengkhianatan ayahnya. Setidaknya dengan kepatuhan Dinda, ibunya bisa melupakan masa - masa kelam itu.
Lalu bagaimana dengan permintaan yang satu ini? Dinda tahu jelas apa yang ingin didengar ibunya. Tapi bagaimana mungkin dia menikah dengan pria yang lebih tua darinya, sudah pernah menikah, dan tidak dia kenal sama sekali?
“Bu…”, Dinda tidak melanjutkan kata - katanya dan hanya mengangguk mengiyakan tawaran itu. Ratna menangis dan memeluk Dinda. Dinda masih menahan tangisnya yang memang tercekat.
“Ibu yakin, tante Inggit orang yang baik. Dia tidak mungkin meminta kamu jika dia tidak yakin.”, Ratna kembali menatap Dinda. Berusaha meyakinkannya. Meskipun anggukan Dinda pertanda dia setuju. Tapi Ratna tetap tahu kalau gadis ini masih ragu dan takut.
“Gak usah khawatir, ya. Ibu akan tetap di samping kamu terus.”, kata Ratna menutup pembicaraan serius hari itu.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
Devi Handayani
alhamdulilah... dinda anak yg bakti kepada orang tua😍😍
2022-10-11
1