Sejak pulang dari rumah Ratna, Inggit masih tidak berhenti memikirkan Dinda. Gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan dewasa. Dari cerita Ratna, dia juga gadis yang bertanggung jawab, pekerja keras dan cerdas. Walau baru pertama bertemu, Inggit tahu, gadis ini menuruni sifat ibunya.
Inggit masih melamun sambil tersenyum di meja makan yang sepi. Suaminya sudah lebih dahulu makan dan sekarang tidur di kamar. Badannya sedang kurang sehat. Sudah beberapa pekan naik turun. Mungkin faktor usia dan pikiran.
Sedangkan Inggit masih setia menunggu putranya pulang. Sudah lama mereka tidak duduk dan makan bersama. Pucuk dicinta ulampun tiba. Tak lama terdengar suara pagar depan dibuka dan klakson mobil berbunyi. Pertanda Arya sudah pulang.
“Arya, kamu tidak melihat ada mama, disini?”, Arya yang baru masuk rumah langsung melengos ke tangga menuju lantai 2. Bukan tidak melihat. Mustahil dia tidak melihat mamanya karena dia pasti melewati meja makan saat akan ke lantai 2.
Arya berhenti dan menoleh sedikit ke belakang.
“Kenapa, ma?”, jawabnya dengan nada lelah dan malas.
Ia sudah tahu apa yang akan disampaikan mamanya. Hampir setiap hari sejak tinggal kembali di rumah, Arya selalu mendapatkan komplain yang sama dari mamanya.
“Kalau kamu cuek begini, buat apa pindah kesini?”, jawab Inggit sendu. Ia sedang marah tapi nada bicaranya masih lembut, tidak ketus.
“Ya kan mama yang suruh aku pindah kesini. Mana sampai pake drama - drama segala.”, Arya menjawab sambil berbalik menghadap mamanya.
“Makan sama mama, ya.”, pinta mamanya dengan sedikit memelas.
Akhirnya dia mencoba mengesampingkan egonya karena dia tahu mengomeli Arya hanya akan menambah jarak hubungannya dengan Arya. Cukup Kuswan yang tegas, dia harus tetap lembut dan tenang.
Arya merasa kasihan dan berjalan malas ke meja makan. Dia sebenarnya sudah makan, tapi daripada malam ini jadi drama lain, dia ikut saja mau mamanya.
Mereka makan dalam diam. Sesekali Inggit membuka pembicaraan ringan seperti bagaimana di kantor, jalanan, kabar teman, dan lainnya. Hanya hal kecil agar suasana malam itu tidak tegang.
Arya hanya menjawab seperti murid yang diberi pertanyaan. Singkat, padat, dan jelas. Bahkan tak jarang, Arya hanya menjawab Ya atau Tidak. Hal ini membuat Inggit harus memutar otak mencari pertanyaan yang tepat.
“Arya, mau sampai kapan kamu begini?”, tanya Inggit mulai berani membuka topik sensitif.
“Maksud mama?”, jawab Arya tanpa memandang mamanya dan terus menyendok makanan.
“Sampai kapan kamu sendiri? Kamu tidak mau menikah lagi?”, Inggit sebenarnya takut membuka topik ini. Tapi mau tidak mau dia harus.
Kuswan suaminya, bukan tak pernah memikirkan Arya. Setiap hari kondisinya memburuk karena memikirkan anaknya yang satu ini. Di rumah seperti tidak ada kehidupan. Berangkat pagi pulang malam. Kadang tak satu dua malam Arya pulang dalam keadaan mabuk.
“Papa kamu, mau sampai kapan kamu menyiksa papa kamu dengan kelakuan kamu yang gak jelas. Lupain Sarah, dia bukan wanita yang baik buat kamu.”, Inggit mulai berani mengungkit masa lalu lebih dalam.
Bunyi sendok dan garpu dijatuhkan ke piring sembarangan menggema. Inggit terkejut.
“Arya, mau kemana kamu?”, Arya berdiri. Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, papanya menghadangnya. Entah sejak kapan papanya keluar dari kamar.
Mereka tidak menyadari kalau Kuswan sudah memperhatikan percakapan itu dari tadi. Hari sudah larut. Inggit sengaja mengurangi lampu penerangan yang menyala. Akibatnya, hanya area meja makan saja yang mendapatkan cahaya.
“Arya, papa tidak pernah minta apapun dari kamu. Sekolah, karir, jodoh, semua tidak pernah papa atur ke semua anak - anak papa. Karena papa anggap kalian yang punya kendalinya. Tapi, kali ini papa gak bisa liat kamu menghancurkan hidup kamu seperti ini.”, kata Kuswan lantang.
Arya hanya mendengar. Ia diam seperti orang bisu. Namun, diamnya Arya seperti orang yang tidak mengacuhkan perkataan papanya.
“Kamu cerai karena Sarah bukan yang terbaik buat kamu. Dan karena tuhan mau kasih kesempatan lagi buat kamu. Untuk apa? Untuk mendapatkan yang terbaik.”, ujar Kuswan melanjutkan.
Inggit bisa melihat emosi Kuswan semakin tinggi di balik setiap kalimat yang diucapkannya. Terlebih dengan gerakan tangan Kuswan yang sudah mulai geram dengan puteranya itu.
Posisi mereka kini sudah berhadap - hadapan. Inggit hanya bisa memandangi wajah Kuswan dan Arya secara bergantian. Ketegangan ini sudah mereka hadapi selama beberapa waktu belakangan.
Awalnya Inggit pikir Arya hidup normal setelah bercerai dengan Sarah. Namun, seiring banyaknya gosip yang muncul di antara teman - teman arisannya, Inggit mulai curiga jika selama ini Arya hidup tidak tentu arah. Kecuali hanya bekerja dan bekerja.
Mereka sudah tiga tahun bercerai tetapi Arya seperti masih dibayang - bayangi Sarah. Dia bekerja, mabuk, hangout dengan teman - temannya yang tidak jelas, lalu pulang hanya untuk tidur.
Dia sama sekali tidak memiliki proyeksi kedepan. Bagaimana hidupnya.
“Udah, pa? Aku capek berdebat kaya gini terus. Aku habis meeting seharian. Hari ini aku gak mabuk. Aku sehat. Aku mau ke kamar.”, kata Arya tegas.
Ia berjalan menaiki tangga. Diatas sudah ada Baskara, adiknya yang hanya menggeleng - gelengkan kepala.
****
Seminggu berlalu sejak perdebatan malam itu. Adegan itu sering terjadi sejak 3 bulan Arya pindah ke rumah ini. Tadi malam Arya pulang dalam keadaan mabuk lagi. Hari Jum’at malam sepertinya sudah menjadi rutinitas mingguannya untuk ke klub dan pulang pagi dini hari.
“Pa, boleh mama bicara serius?”, kata Inggit bertanya pelan.
Meski sudah berumah tangga lama dengan Kuswan. Inggit selalu hati - hati setiap ingin mengungkapkan ide - idenya. Terlebih jika itu perihal anak - anak mereka.
“Iya ma.”, kata Kuswan menjawab ringan.
Siang itu mereka duduk di teras depan sambil menikmati teh hijau panas dan beberapa kue bikinan Bi Rumi, pembantu di rumah mereka.
“Mama punya kenalan. Papa mungkin masih ingat. Ratna, yang dulu mama bantu modal usaha.”, lanjut Inggit setelah diberi lampu hijau.
“Yang suaminya kabur itu?”, kata Kuswan tepat sasaran. Ternyata ingatannya masih tajam.
“Iya pa. Kemarin mama datang silaturahmi ke rumah Ratna. Orangnya masih sama sederhana seperti dulu. Ramah, supel, dan mama nyaman cerita - cerita sama dia ketimbang teman - teman arisan mama.”, Inggit menyeruput tehnya sebelum melanjutkan.
“Ratna punya anak gadis, pa. Kalau papa ingat, namanya Dinda. Baru lulus kuliah dan sekarang sedang intern di perusahaan multinasional. Mama lupa tanya nama perusahaannya.”, kata Inggit bersemangat.
“Iya, papa ingat Ratna punya satu anak perempuan dan satu anak laki - laki. Tapi sudah lama gak ketemu jadi sudah gak ingat rupanya.”, kata Kuswan.
“Cantik pa anak perempuannya. Sopan dan ramah lagi, pa.”, kata Inggit antusias.
“Paling karena baru pertama ketemu, Ma.”, kata Kuswan sambil menggigit sepotong kue di sebelahnya. Kue buatan Bi Rumi yang khusus dibuatkan tanpa gula.
“Mama tu ngerasa kaya adem gitu pas bicara sama Dinda, pa. Ya… walaupun belum sempat bicara banyak.”, kata Inggit lagi.
Inggit sepertinya tidak tertarik untuk mencomot potongan kue bolu itu. Buktinya dari tadi hanya Kuswan yang sibuk mengambilnya.
“Terus, maksud mama cerita ini, apa?”, kata Kuswan to the point.
“Mama mau jodohin dia sama Arya, pa. Mama gak mau Arya kaya gitu terus. Mama juga gak mau Arya salah pilih perempuan lagi. Mama udah biarin dia memilih dulu. Dan hasilnya jadi seperti sekarang. Hidupnya hancur. Karirnya saja yang bagus, tapi jiwanya kosong.”, Inggit menunjukkan wajah serius.
“Kamu yakin, ma? Arya, saat kita suruh nikah lagi saja, dia bersikap seperti itu. Apalagi kalau perempuannya kita pilihkan. Papa gak yakin dia mau.”, kata Kuswan.
“Mama juga gak keberatan kalau ternyata Arya sudah punya pacar lain dan malah mau menikah dengan perempuan yang bukan pilihan mama. Mama gak masalah. Tapi, yang jadi masalah adalah Arya gak pernah ada pikiran kesana lagi sejak bercerai.” kata Inggit berusaha menjelaskan kenapa ia tiba - tiba mencetuskan ide ini.
“Lagian, siapa yang meminta pendapat Arya, pa. Mama udah gak mau lagi minta pendapat dia. Dia harus mau. Mama bikin drama lagi aja. Sama seperti waktu nyuruh dia tinggal disini. Emang papa sanggup melihat dia mabuk - mabukkan gak jelas seperti itu. Sebelum dia berbuat kekacauan yang lebih besar lagi dalam hidup dia, mama harus bertindak duluan, Pa.”
Kuswan masih tidak bisa menjawab ‘Iya’ atau ‘Tidak’ dengan rencana ini. Di satu sisi, apa anak nya Ratna mau dijodohkan dengan anaknya yang sudah pernah menikah? Disisi lain, Arya tidak mungkin semudah itu luluh dengan drama mamanya yang sudah episode sekian.
****
“Gimana Ratna? Kamu mau?.”, kata Inggit bertanya dengan serius. Dua minggu setelah pembicaraannya terakhir dengan suaminya, Inggit mendapatkan lampu hijau untuk coba bertanya pada Ratna.
Dalam hati, Ratna bingung. Tapi, dia tidak bisa menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya pada Inggit. Inggit sudah menyelamatkannya dan anak - anaknya. Mereka bisa kenyang hingga saat ini karena bantuan Inggit. Mereka bisa tidur tanpa kena hujan juga karena bantuan Inggit.
“Mba, saya tidak bisa memutuskan masa depan anak. Saya harus tanya Dinda dulu. Tidak apa - apa ya, mba?”, jawab Ratna sangat hati - hati.
Dia tidak ingin dianggap kacang lupa kulitnya. Selama hidup, sekali ini Ratna merasa tidak bisa berbuat apa - apa untuk anak - anaknya.
“Gapapa Ratna, nanti aku yang bantu ngomong ke Dinda juga.”, rayu Ratna.
Dia sudah terbius dengan rencananya, idenya, dan bayangan betapa indahnya masa depan Arya jika dia kembali menikah lagi. Kali ini dengan orang yang Inggit yakin tepat. Antusiasme nya membuat Inggit lupa melihat dari sisi Dinda. Yang ada di kepalanya saat ini bagaimana membuat Dinda setuju dengannya.
“Arya anak yang baik, Ratna. Dia bertanggung jawab. Dari kecil sudah dididik oleh Kuswan untuk menjadi laki - laki yang sukses. Aku yakin, Arya bisa menjaga putrimu, Dinda, dengan baik.”, jawab Inggit berusaha meyakinkan Ratna yang terlihat ragu.
“Apa Dinda sudah punya pacar?”, Inggit ragu bertanya. Seharusnya ia menanyakan hal ini di awal.
“Belum. Aku tidak pernah melihat dia bersama laki - laki. Dan dia juga jarang sekali keluar selain bertemu dengan teman - teman perempuannya.”, jawab Ratna jujur.
Dinda benar - benar belum pernah memiliki hubungan dengan laki - laki manapun. Setiap hari rutinitasnya selalu sama.
Jika setiap tetangga rumahnya ditanya, tidak akan ada yang menolak mengatakan Dinda adalah anak rumahan sejati. Ia hanya kuliah, pulang, sesekali membantu ibunya, dan menghabiskan liburan dirumah.
“Nah.. cocok kalau begitu. Aku tunggu kabar darimu ya, Ratna.”, kata Inggit sambil memegang tangan Ratna.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
bieb
👍👍
2023-03-16
0
Erik Kurnianto
apik
2023-02-17
0