Semua orang sudah duduk dengan rapi. Setidaknya ada 25 orang yang duduk di bagian tengah mengelilingi meja berbentuk persegi panjang dan 35 orang yang berdiri mengitarinya. Meeting masih belum dimulai. Mereka masih menunggu kehadiran seseorang yang paling penting disini. ‘sepertinya’.
Lima menit berselang, seorang laki - laki yang jelas sekali pernah dilihat oleh Dinda berlalu masuk. Ia masih memegang tumbler yang kemungkinan besar berisi kopi di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang sebuah tablet PC.
“Pagi Team!.”, sapa laki - laki itu lantang saat memasuki ruangan. Tentu saja, Dinda sudah bisa mengambil kesimpulan kalau dia adalah orang dengan level yang paling tinggi di ruangan ini.
“Sorry, tadi saya harus ada call dulu 30 menit dengan regional, dan ternyata melebar sampai 10.10. Kalau saya tidak bilang sekarang akan ada Town Hall. Mungkin regional akan terus bahas sampai makan siang.”, pungkas-nya langsung ketika dia sudah sampai di depan meja.
Dengan cepat Arya, orang yang satu lift dengan Dinda tadi menghidupkan proyektor dan mengambil kertas presentasi yang tadi Rhea taruh di atas meja.
Selama kurang lebih 30 menit, laki - laki itu berbicara di depan. Mayoritas adalah tentang update perusahaan saat ini, target kedepan, dan update per divisi. Dinda mendengarkan dengan saksama meskipun tidak semua hal disitu yang ia paham. Dia melihat sekeliling, semua orang juga tampak mengangguk - angguk saja.
Mereka - mereka yang duduk di bagian tengah yang bersitatap lebih serius dengan Pak Arya. Sesekali mereka juga tertawa kecil karena ada beberapa lelucon tingkat tinggi yang keluar. Lelucon yang hanya para bos - bos saja yang paham.
Masuk ke bagian inti dimana sedikit menegangkan dan setidaknya berlangsung selama 15 menit. Suara bariton pak Arya yang tadinya bersahabat, lantang, dan ramah kini bersambut dengan nada tajam seperti pisau. Tidak jelas apa yang dia katakan, karena sebagian menggunakan bahasa Inggris.
Sepertinya Pak Arya sedang membahas performa dan menunjuk beberapa orang. Nadanya keras. Sesekali ia bertanya pada beberapa orang dan momen itu benar - benar sangat menegangkan.
‘Mungkin ini yang dimaksud oleh Ibu HRD, tadi.’, gumam Dinda di dalam hati.
Padahal dia baru masuk dan yang pasti tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. ‘Rakyat jelata intern seperti dia, tidak ada di ruang meeting itu juga tidak ada bedanya’, pikir Dinda.
Tapi, kemarahan yang dilayangkan pak Arya pagi itu membuat dirinya juga ikut merinding. Dinda tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya dengan orang yang dimaksud dan disinggung oleh Arya.
Dinda tidak mengerti keseluruhan kronologinya. Dia hanya ingin segera keluar dari ruangan ini dan menikmati hari pertamanya menjadi karyawan. Apa intern seperti dia juga akan dimarahi sebegininya kalau ada kesalahan? Dinda bisa membayangkan bahwa dia pasti sudah menangis jika terlibat dengan konflik disini.
“Oke. Masalah yang tadi akan kita diskusikan lagi lebih privat. I just want everyone to know. So that when the Region touches this topic, you have the idea about it, at least.”, nada pak Arya sudah mulai gentle seperti awal tadi.
“Oke, teman - teman dari Digital pasti bertanya - tanya kenapa ada di ruang meeting ini juga. Singkat cerita, karena Head Digital Pak Sutiyoso baru saja resign dan cukup mendadak, jadi untuk sementara saya yang akan bertindak ‘Acting as Head of Digital and Strategic Development’. Semua laporan dan tanda tangan serta approval, ke saya.”, kalimat terakhirnya membangunkan Dinda.
“Saya tidak akan banyak ikut campur dalam strategi dan inisiasi. Tetapi saya akan bertindak sebagai reviewer.”, lanjutnya lagi.
‘Berarti sebenarnya dia bukan di divisi aku secara langsung. Artinya kecil sekali kemungkinan aku akan pernah berhubungan dengan si Pak Arya ini, selama bekerja disini. Semoga tebakanku benar.’, pikir Dinda.
“Oke, meeting selesai. Silahkan menikmati hidangan yang sudah disiapkan teman - teman. Setelah itu lanjut bekerja. Selamat Pagi.”, Pak Arya segera melengos pergi sambil membawa dua orang lainnya termasuk mba Rhea keluar ruangan meeting.
Sepertinya mereka akan lanjut meeting tambahan. Dinda tidak peduli dan segera mengambil burger yang ada di meja luar.
*****
“Assalamu’alaikum.”, Dinda mencelinguk ke rumah dengan hati - hati.
Dilihatnya ada satu mobil terparkir di luar. Sepertinya ada tamu di rumah. Baru saja melirik ke ruang tengah, Dinda sudah bisa memastikan bahwa bunda sedang kedatangan tamu.
“Eh, sudah besar sekali ternyata Dinda. Masih ingat sama tante?”, suara yang sangat familiar buat Dinda.
“Tentu saja tante. Masa lupa. Walaupun sudah lama gak bertemu sapa. Tapi wajah tante masih awet muda. Jadi gak lupa.”, jawab Dinda mencoba untuk sedikit hiperbola sambil mencium tangan Inggit. Dulu sekali, Inggit adalah tetangganya. Meski tidak bersebelahan persis, tapi tante Inggit sangat aktif di kompleks perumahannya yang dulu.
Ibu Inggit-lah yang membantu ibunya untuk bangkit setelah ditinggal kabur oleh ayah Dinda waktu itu. Sudah 10 tahun lebih peristiwa itu terjadi. Tetapi, setiap mengingat luka itu, Ratna masih saja sedih.
Mengapa tega laki - laki yang pernah sangat ia cintai meninggalkannya yang tidak bekerja, bersama dua orang anak yang masih kecil dan perlu sekolah.
Inggit juga menyayangkan hal itu. Hingga kini ia tidak pernah menyangka Baskoro tega membuang keluarganya.
Meski tidak akrab, tetapi Baskoro beberapa kali pernah ke rumahnya dan mengobrol dengan Kuswan (Suami Inggit). Tentu saja, mereka dahulu bertetangga dan hal itu biasa. Inggit yang saat itu sudah pindah rumah mendengar cerita itu dari mulut tetangga saat arisan. Inggit kasihan dan sangat ingin membantu mereka.
Inggit adalah orang yang serba berkecukupan. Tetapi, ia dikenal sangat dermawan, sama seperti mendiang ayahnya, yang seorang tentara. Inggit membantu memberikan modal pada Ratna membuka usaha katering.
Dulu belum banyak yang punya usaha katering. Mengingat Ratna tidak tamat sekolah dan saat itu hanya Ibu rumah tangga, Ia hanya percaya diri pada kemampuan memasaknya.
Tidak sampai disitu, Inggit juga membantu menyewakan rumah yang bahkan saat ini sudah ia jual pada Ratna dengan sistem mencicil tanpa bunga. Rumah itu hanya 1 dari beberapa rumah warisan orang tuanya. Daripada tidak digunakan, ia jual pada Ratna.
“Kata Ibumu, kamu sudah bekerja ya, sekarang? Dimana? Ya ampun cepat sekali waktu berlalu, ya.”, tante Inggit mempersilahkan Dinda duduk.
“Iya tante, sekarang masih intern. Baru masuk hari ini.”, jawab Dinda singkat.
“Oh, semangat ya kerjanya. Semoga sukses karirnya. Ya sudah mandi dulu dan istirahat, pasti capek.”, ujar Inggit kembali.
Sebenarnya Dinda penasaran kenapa tiba - tiba tante Inggit ke rumahnya. Terakhir tante Inggit datang ke rumah sudah sekitar 5 tahun yang lalu. Tante Inggit memang sangat baik, tapi levelnya berbeda. Apalagi, jalan ke rumah ini juga susah, harus masuk gang yang hanya muat satu mobil saja.
Dulu, Inggit lama di luar kota. Anak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Amerika.
Selain anak perempuan, Inggit juga memiliki dua orang putera. Satu yang paling besar sudah menikah. Sedangkan yang satunya lagi sedang kuliah sambil bekerja. Inggit baru saja pindah lagi dan menetap di kota ini sejak tiga tahun yang lalu dan mungkin baru sempat berkunjung ke rumah Ratna sekarang untuk silaturahmi.
Dua jam sebelum kepulangan Dinda…
“Aku pusing rat, anakku yang laki - laki sudah hampir tiga tahun ini sibuk dengan karirnya saja.”, ungkap Inggit pada Ratna. Awalnya Inggit hanya ingin bersilaturahmi saja. Ia ingin melihat bagaimana kehidupan Ratna sekarang. Besar harapannya semua baik - baik saja.
Awalnya, mereka hanya mengobrol santai mengingat - ingat tetangga - tetangga mereka dulu. Nostalgia mengenang masa - masa indah dahulu saat masih tinggal di daerah yang sama.
Sesekali tawa mereka pecah karena teringat kejadian lucu tempo dulu. Lama kelamaan, Inggit mulai nyaman mengobrol sampai ia ingat permasalahan yang memenuhi pikirannya beberapa waktu terakhir.
Dia bingung ingin cerita pada siapa. Cerita persoalan ini pada teman arisan sama saja memberikan makanan pada singa yang lapar. Mereka sudah cukup menggunjingkan soalan yang berhubungan dengan permasalahannya. Bahkan tanpa Inggit cerita, mereka seolah mendapatkan kabar dari berbagai sumber.
Tidak sedikit juga berita yang beredar malah lebih buruk dari yang seharusnya. Maklum, sudah banyak bumbu - bumbu yang ditambahkan.
“Anakku itu sudah lama bercerai dengan istrinya. Tapi seperti tidak ingin menikah lagi. Aku jadi bingung. Mas Kuswan juga jadi stress mikirin dia. Kadang juga sering bertengkar kalau lagi bahas masalah itu.”, Inggit menceritakan masalahnya. Ia memijat keningnya.
Kesendiriannya di rumah membuatnya jadi terus memikirkan tentang anak laki - lakinya yang paling besar. Sejak menikah, dia sudah tidak tinggal di rumah. Dia memilih tinggal di apartemen.
Setelah bercerai, dia tetap saja tinggal disitu. Baru tiga bulan yang lalu, anaknya itu pindah ke rumah karena Inggit memaksanya.
“Aku tidak bisa banyak komentar. Anakku masih kecil, mba. Aku gak tahu bagaimana berhadapan dengan anak laki - laki yang sudah dewasa seperti nak Arya. Terakhir melihat dia saja mungkin sudah 8 tahun yang lalu, ya. Sudah lama waktu antar katering.”, jawab Ratna sedikit tertawa. Inggit juga ikut tertawa karena tanpa sadar memang sudah lama mereka sudah tidak saling kontak.
Berhubungan masih, tetapi hanya sebatas berkabar saja. Itu juga bisa berjarak tahun.
Lama mereka ngobrol santai sambil Inggit mengeluarkan unek - uneknya yang lain tentang anak - anaknya, anak perempuannya yang sudah ingin cerai juga, Kuswan yang selalu saja berselisih dengan Arya dan banyak hal lainnya. Tak terasa waktu dua jam habis begitu saja.
Inggit mendengar suara salam dari arah depan. Setelah ia sadar siapa yang mengucapkan salam, Inggit jadi terpana. Ia melihat gadis kecil yang dulu ia lihat menangis di depan rumah karena ibunya pingsan.
Dinda, putri pertama Ratna sudah besar. Ia tidak pernah melihat Dinda setelah insiden ayahnya kabur dan tidak pernah kembali. Inggit yang menemui Ratna. Kalau bertemu pun, mereka biasanya bertemu di luar. Kalau Inggit ke rumah, selalu tidak pernah bertemu Dinda.
Parasnya ayu. Rambut panjangnya ia biarkan rapi menjuntai melebihi bahu. Ia mengenakan pakaian formal yang membuat Inggit bisa menyimpulkan bahwa Dinda sudah bekerja. Memang waktu tidak terasa, tahu - tahu sudah berlalu saja. Begitu kira - kira yang ada di pikirannya.
Sepanjang Dinda berjalan, Inggit tak henti - henti memandangnya. Benar - benar cantik dan ayu. Auranya lembut dan senyumannya juga manis. Seketika Inggit langsung merasa tersihir.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
dite
lhoo disini dinda kok gak jilbapan ya 😮
2023-02-18
0
Erik Kurnianto
mulai baca kak
2023-02-17
0