Dia berlari dengan langkah terburu-buru untuk masuk ke dalam kelas, mengingat dirinya terlambat. Dia sangat membenci keterlambatan, tapi sekarang malah dirinya yang terjebak dalam situasi tidak di inginkan itu. "Semoga saja yang mengajarnya tidak galak dan mau memaklumi alasanku terlambat," gumamnya yang penuh harap ada kebaikan dan orang yang bisa memahami kesulitannya.
Kini Rasidha berada di depan pintu dan mengetuknya setelah mengucapkan salam, dia sangat gugup berbuat kesalahan.
"Wa'alaikumsalam, masuklah!" ucap seorang pengajar yang melihat Rasidha dengan sekilas, tak ingin menatap santriwati dan tetap menjaga pandangan sebagai seorang Ustadz.
Rasidha melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, menundukkan kepala dan tidak berani menatap wajah sang guru yang mengajar di jam itu.
Pria itu sedikit terkejut saat melihat wajah santriwati yang tadi menabraknya dengan langkah terburu-buru. "Kenapa kamu bisa terlambat?"
Rasidha mendongakkan kepala dan menatap sang pengajar laki-laki, dia tersenyum karena menutupi kesalahannya. "Maaf, tadi di panggil oleh pengurus pesantren ini."
"Hem, untuk hari ini kamu dimaafkan. Tapi tidak di lain waktu," ucap sang ustadz pengganti yang baru beberapa bulan mengajar menggantikan kakaknya yang sakit.
"Terima kasih, Ustadz." Rasidha menundukkan kepala dan kembali duduk di kursinya, mendengarkan pengajaran yang diberikan. Hingga dia mengingat, jika sang ustadz merupakan pria yang tak sengaja ditabrak olehnya.
"Astaghfirullah…ternyata ustadz itu yang aku tabrak tadi. Semoga saja dia tidak mengenaliku," gumamnya yang menelan saliva dengan susah payah. Tentu saja tidak ingin berbuat kesalahan selama berada di pesantren, hal itu bisa berpengaruh pada hidupnya di masa depan.
Setelah mata pelajaran selesai, Luna, dan Elis mendatangi Rasidha yang fokus membaca sebuah kitab yang berisi hadits. "Sepertinya ada yang ditutupi!"
"Tidak ada," sahut Rasidha.
"Sangat mencurigakan," sela Elis.
"Jangan bersikap su'udzon." Rasidha segera melangkah pergi meninggalkan tempat itu, menuju dapur pesantren dan membantu beberapa khadimah atau yang biasa disebut dengan pembantu perempuan.
"Apa kita salah bicara?" tutur Luna yang melihat kepergian Rasidha.
"Tidak, dia sendirilah yang menghindar. Lupakan saja!" sahut Elis yang tak ingin mengambil pusing.
Rasidha bergegas menuju dapur dan membantu para khadimah membuat makanan untuk para santri dan santriwati. "Assalamu'alaikum, Mbak Yayuk."
"Wa'alaikumsalam. Eh, Rasidha? Kamu kembali ke pesantren?" sambut Yayuk yang memeluk tubuh gadis keturunan Palestina.
"Iya Mbak, kuliahku sudah selesai. Aku kembali lagi ke pesantren dan ingin mengikuti pelajaran yang tidak aku dapatkan selama di Kairo."
Yayuk melepaskan pelukan itu dan bergantian dengan para khadimah yang berbagi tugas menyelesaikan makan siang. Rasidha tidak tega dengan pekerjaan mereka dan membantu mengiris sayuran, tapi keinginannya untuk membantu pupus saat wanita yang baru saja memeluknya tidak memperbolehkannya bekerja.
"Eh, apa yang kamu lakukan disini? Sebaiknya kamu belajar sana," usir Yayuk yang tak ingin jika gadis yang masih memiliki hubungan dengan pemilik pesantren melakukan pekerjaan pembantu.
"Tidak apa-apa Mbak, biar aku saja yang mengerjakannya."
"Kamu baru saja sampai ke sini, kalau ingin bantu bukan hari ini terapi besok. Fokuskan pikiranmu untuk pelajaran," tolak Yayuk yang memberi wejangan sebagai alumni pesantren, karena tidak punya tempat tinggal membuatnya menjadi seorang khadimah dan mengabdikan diri pada pesantren.
Rasidha cukup beruntung memiliki keluarga yang menyayanginya, sangat berbeda dengan para khadimah di pesantren yang tidak punya tujuan dan lebih mengutamakan mengabdi pada pesantren. Dia hanya duduk terdiam sambil mengamatinya, bisa merasakan apa yang dirasakan oleh seniornya itu. "Ayah dan ibu sangatlah baik padaku, tapi aku tidak bisa menghindari fakta, jika ayah Zaid merupakan mantan militer tentara Israel." Batinnya dengan cepat menyeka air mata. Dia mencoba untuk mencairkan suasana di dapur yang dipenuhi oleh asap. "Oh iya Mbak, selama aku berada di Kairo, pesantren ini sangat berbeda. Banyak para ustadz dan ustadzah yang tidak aku kenal, apa mereka pengganti sebelumnya?"
Yayuk tersenyum dan menganggukkan kepala. "Kamu tahu sendiri, bagaimana ustadz dan ustadzah yang dulunya mengajar di sini sudah sepuh. Mereka tidak kuat lagi dan pensiun, itu sebabnya banyak yang baru disini, dan pengganti ustadz yang tidak bisa masuk karena sakit."
"Iya, apalagi saat melihat ustadz Afif dari kejauhan, dia sangat tampan." Sela khadimah lain yang mengkhayal.
"Hus, jangan memikirkan laki-laki. Fokus saja pada masakan kita atau mereka akan kelaparan." Sergah Yayuk menasehati temannya yang selalu suka menceritakan pengajar baru.
"Yee Mbak, aku hanya berkhayal masa tidak boleh. Siapa tahu dia jodohku dan cinta di langit pesantren menjadi fenomenal," balas Neneng yang tersenyum.
"Mimpi jangan ketinggian Neng, kalau jatuh itu sakit." Sahut yang lain, sedangkan Rasidha tersenyum. Dia sangat merindukan suasana pesantren yang penuh kehangatan, menganggap semuanya adalah saudara.
"Biar saja." Neneng menjulurkan lidahnya, dia selalu menjadi bahan untuk meramaikan suasana.
"Aku bantu ya Mbak." Tawar Rasidha.
"Tidak usah, kamu tinggal duduk diam saja."
"Tapi Mbak__." Rasidha mencoba untuk menawarkan tenaga, tapi Yayuk tetap saja melarangnya.
"Kalau begitu aku pergi dulu Mbak," pamit Rasidha yang tak ingin membuang-buang waktu berharga.
"Iya, kalau butuh sesuatu katakan saja pada Mbak." Balas Yayuk tersenyum.
"Iya."
Rasidha memutuskan untuk duduk di taman dengan menyetor hafalannya, tentu saja dia melakukan itu agar di akhirat kelak kedudukan kedua orang tua kandungnya mendapatkan tempat yang tinggi.
Kesunyian di tempat itu selalu menjadi favoritnya dulu dalam menghabiskan waktu, selalu menyetor hafalan dari beberapa kitab dan juga hadits yang telah dipelajari. Tanpa disadari, jika seseorang tengah memperhatikan dari kejauhan.
"Bukankah gadis itu yang menabrakku tadi?" gumamnya.
"Tidak baik melamun dan berbicara sendiri," goda temannya yang juga mengajar di pesantren itu. "Apa yang kamu lihat?" tanyanya yang begitu penasaran, mengikuti arah pandang temannya yang menuju pada seorang gadis. "Ingat! Zina mata."
"Aku juga tidak sengaja melihatnya. Oh ya, ini kali pertama aku melihat gadis itu."
"Benar, dia lulusan di Kairo dan meraih gelar cumlaude."
"Darimana kamu tahu?"
"Menantu kyai Baharuddin, aku melihat dia mendapatkan seragam dan sedikit mendengar perbincangan mereka."
Pria itu segera mengalihkan pandangan, dia tidak ingin jika terlalu lama memandangi gadis. Namun hatinya merasakan sesuatu saat pertama kali bertemu, dia tersenyum saat mengetahui nama gadis itu, Rasidha. "Namanya sangat unik. Astaghfirullah…apa yang aku pikirkan?" dengan cepat dia beristighfar dan segera berlalu pergi meninggalkan tempat itu.
Ustadz baru yang menjadi buah bibir di kalangan para santriwati, karena parasnya yang tampan membuat siapa saja betah berlama-lama dalam pelajarannya. Dia bernama Muhammad Afif, pemuda yang menggantikan kakaknya yang sakit untuk sementara waktu. Dia juga putra dari kyai besar, alasan kedua untuk mengajar disana adalah hubungan kyai Baharuddin dengan ayahnya sangatlah dekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Mulaini
Jangan2 ustadz Muhammad Afif jodohnya Rasidha hehehe...
2022-08-07
0
Arsyad Al Ghifari 🥰
jodohmu udah di depan mata rashida 😅😅
2022-08-04
0
Risa Dewi
jodoh rasidha sudah didepan mata😂😂😂
2022-08-04
2