Awal yang baru bagi Rasidha yang menginap di asrama, dia tidak ingin ikut terlibat terlalu jauh, karena cepat atau lambat niatnya bisa tercium oleh keluarga kyai Baharuddin. Kembali mengemasi barang-barangnya, fokus pada satu tujuan yaitu menuntut ilmu.
"Aku pergi dulu, Bi." Rasidha menyalami semua orang dan memeluk bibinya itu sepersekian detik dan melepaskan pelukan itu.
"Oh ayolah Kak, kita hanya pergi ke asrama bukan pergi berperang. Lagipula jaraknya hanya beberapa meter," celetuk Ayna yang menggelengkan kepala saat melihat drama secara langsung.
"Ayna berkata benar, Rasidha bisa tidur di sini jika merindukan kami. Bahkan Paman dan bibi juga sesekali mengajar." Tutur Doni yang tersenyum.
"Kami pergi dulu, assalamu'alaikum." Ayna segera menarik tangan Rasidha membuat semua orang menggelengkan kepala melihat tingkah gadis itu yang sangat bar-bar, bahkan ayah dan ibunya hampir menyerah dengan sikap nya itu.
"Mengapa anak semata wayang kita seperti itu, Sayang?" bisik Doni ke telinga istrinya.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Yang terpenting dia tidak melanggar norma agama dan melampaui batas," balas Aisyah yang juga berbisik.
"Ehem, kami masih berada disini." Sela Ainun. "Sifat Ayna begitu menurun dari kalian berdua, jangan lupakan bagaimana kamu mendekati Aisyah," ujarnya yang menatap sang menantu.
Doni menggaruk kan kepala yang tidak gatal, pertemuan yang tidak terduga saat Aisyah bekerja menjadi asistennya di perusahaan. Dia begitu menyukai karakter dan tutur bahasa dari wanita berhijab yang selalu menemaninya. Walau sedikit sulit untuk mendapatkan sang istri dan juga meminta restu.
Doni masih mengingat bagaimana Aisyah yang mengajukan syarat menikah, yaitu melantunkan juz tiga puluh dengan tajwid yang benar. Saat-saat dirinya kalang kabut, mau mundur tapi sudah terlanjur menyatakan perasaannya kepada kedua orang tua dari wanita idamannya yang sangat yakin meminang. Mundur bukanlah hal yang sangat tepat, sikap gentle akan dipertanyakan.
"Astaga…itu sangat memalukan bagiku," gumam Doni yang masih membekas sampai sekarang, untung saja Rasidha datang sebagai gurunya dan membantu untuk menghafal seluruh juz tiga puluh dengan tajwid yang benar.
"Aisyah suka dengan usaha Mas yang sabar, walau membutuhkan waktu." Selanya yang membela suaminya. "Jangan begitu Umi, walau bagaimana pun juga mas Doni adalah menantu, suami, dan juga seorang ayah.
"Umi hanya bercanda, mengapa dianggap serius."
Rasidha melihat satu ruangan yang tidak terlalu besar, beberapa tempat tidur yang bertingkat tersusun dengan sangat rapi, ruangan yang bersih menyejukkan matanya. "Ini terlihat nyaman."
"Tentu saja, kita di ajarkan untuk disiplin. Kakak tidur di ranjang paling bawah, karena hanya itu yang kosong." Ayna sangat antusias menunjuk bagian tempat tidur susun di sebelah. "Misalkan Kakak kurang nyaman, bisa bertukar tempat denganku."
"Itu tidak perlu Ayna, aku tidak ingin tidur di atas. Takut jatuh 'kan bahaya," Rasidha merinding membayangkan dirinya yang tidur tidak bisa diam, takut terjatuh.
"Ya sudah, lemari kecil itu sekarang milik kita berdua. Kakak boleh mengisi di sisi kanan dan aku yang di kiri, jika butuh sesuatu katakan saja. Berhubung kita beda usia tujuh tahun, jadi Kakak masuk ke kelas sesuai umur dan juga kemampuan." Jelas Ayna panjang lebar.
Rasidha membahasnya dengan anggukan kepala dia tersenyum mendengar penuturan dari Ayna yang terlihat cerewet. "Jangan memikirkan itu, aku bersiap-siap dulu dan masuk ke kelas."
"Iya Kak, aku pergi dulu!" pamit Ayna yang meninggalkan Rasidha seorang diri menuju ke kelas yang sudah dimulai.
Rasidha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, dan mengeluarkan secara perlahan dapat membantu mengurangi rasa grogi yang menyelimutinya, karena beberapa tahun sudah lama tidak mengunjungi pesantren dan menuntut ilmu. Dia mengetuk pintu kelas dan mengucapkan salam, masuk dengan perlahan menjadikan perhatian pada semua orang seangkatan dengannya.
Bagaimana tidak? Jika dirinya asli keturunan dari Palestina, yang sangat berbeda dengan orang-orang di dalam kelas yang asli dari Indonesia. Ada beberapa juga dari luar negeri, seperti Cina, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
"Perkenalkan dirimu kepada mereka!" ucap ustadzah yang mengajar menyambut kedatangan Rasidha sebagai murid baru.
Rasidha mulai memperkenalkan dirinya seraya menatap orang-orang yang ada di kelas, sebagian dia sudah mengenal beberapa murid dan tersenyum penuh haru karena diberi kesempatan untuk menuntut ilmu.
Dia menjadi sangat antusias dalam pembelajarannya kali ini, memperhatikan ustadzah yang mengajar dengan penuh seksama, dan mencatat poin penting mengenai apa saja yang menjadi ilmu baru baginya. Walau ada beberapa santriwati yang menarik perhatiannya, siapa lagi jika teman dari masa kecilnya.
Saat pembelajaran telah selesai beberapa orang mulai mengelilingi gadis keturunan Palestina itu. "Dari tadi aku mencolek mu, apa kamu melupakan aku?"
"Apa belajar di Kairo membuatmu melupakan kami semua yang ada di sini?"
Rasidha tersenyum seraya memeluk empat wanita yang sebaya dengannya secara bergantian. "Aku tidak akan pernah melupakan kalian, walaupun belajar ke Kairo untuk beberapa tahun."
"Kami sangat merindukanmu, ingin sekali menelponmu tetapi peraturan pesantren tidak memperbolehkan kami memegang ponsel. Terakhir kali Luna ketahuan membawa ponsel saat menelpon mu, tak sengaja ketahuan oleh ustadzah dan menyita ponselnya." Elis terkekeh saat mengenang beberapa tahun yang lalu, kenangan yang tidak bisa dilupakan.
"Aku juga sangat merindukan kalian itu sebabnya aku kembali, dan aku juga merindukan aroma dari kitab kuning." Ujar Rasidha yang tersenyum. Kelima santriwati itu tertawa dan saling melepaskan rindu.
"Sudah banyak yang berubah dari tempat ini mulai dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar sepuh digantikan oleh yang muda, tentu saja menjadi penyemangat." Seru Luna yang tertawa.
Rasidha hanya terdiam mendengarkan perbincangan dari empat temannya, sungguh suasana yang begitu dirindukan saat berada di pesantren. "Oh ya, aku tidak bisa berlama-lama karena ada yang harus aku urus." Ucapnya yang pergi tergesa-gesa, dia lupa untuk menemui Doni.
Langkah yang begitu terburu-buru membuatnya terlihat ceroboh, karena tak sengaja menabrak orang lain. "Maafkan aku," ucapnya yang menunjukkan kepala dan pergi meninggalkan sang korban.
"Aku tidak pernah melihatnya, apa dia murid di sini?" gumam pria itu merapikan baju koko yang sedikit kusut, berjalan menuju ruang kelas.
"Assalamu'alaikum Paman." Rasidha mengatur nafas yang terengah-engah, melupakan perkataan Doni yang memintanya untuk datang ke ruangan.
"Wa'alaikumsalam, jangan katakan jika kamu lupa dengan ucapan Paman tadi malam?" Doni menyipitkan kedua matanya karena telah hafal dengan kebiasaan buruk dari keponakannya itu.
Sedangkan Rasidha tersenyum untuk menutupi kekurangannya. "Bukan lupa, Paman. Lebih tepatnya tidak ingat!"
"Hem, sama saja. Duduklah!"
Rasidha segera patuh dan duduk menghadap sang paman, memperhatikan apa yang diucapkan.
"Paman hanya ingin kamu belajar dengan baik, ini seragam dan juga buku-buku. Oh ya, ibumu baru saja menelpon dan dia mengatakan akan mengunjungimu dalam sekali seminggu."
"Iya, Paman."
"Paman heran, mengapa kamu tiba-tiba balik lagi ke pesantren? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" selidik Doni yang begitu penasaran.
"Tidak ada apapun, Paman. Rasidha pergi dulu, assalamu'alaikum." Ucapnya yang begitu terburu-buru, dia tidak ingin ada yang tahu penyebab dia memutuskan untuk ke pesantren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Mulaini
Coba Rasidha jujur...
2022-08-07
0
Kartika Sari
lanjut
2022-08-03
1
Yanti puspita sari🌹🥀
next kak
2022-08-03
1