Rasidha mengemasi barang yang akan dibawa ke pesantren, bersiap-siap dengan membawa beberapa keperluan saja. Cukup sulit sebenarnya untuk meninggalkan rumah dan juga keluarga yang begitu menyayanginya, walau dia tahu jika dia hanyalah orang asing yang beruntung. Tapi tak bisa dipungkiri, jika kesalahan di masa lalu dari ayah angkatnya begitu berpengaruh, kepercayaan yang telah dikhianati hanya terlukis lewat cairan bening yang menetes membasahi kedua pipi. "Jadi ini alasan mengapa ayah menyembunyikan wajahnya, selama tujuh belas tahun aku mempercayainya dan bahkan tidak meragukan sedikitpun. Mengapa dunia ini begitu kejam padaku? Tidak seharusnya aku mendengar percakapan antara Ibu dan Ayah." Batinnya yang begitu terluka, dia segera menyeka air mata dan menyeret koper yang tidak terlalu besar.
Inilah saat yang paling berat bagi Suci, melepaskan kembali anak sulungnya untuk pergi ke pesantren yang dikelola oleh kakaknya, kerinduan masih saja terasa tetapi Rasidha kembali pergi meninggalkan rumah. Walaupun gadis yang berkebangsaan Palestina dan bukanlah darah dagingnya, tatp tetap saja dia sangat menyayangi dan tidak membedakan anak-anaknya. "Apa kamu sudah memutuskan ini dan berpikir sekali lagi?"
"Aku sudah memikirkannya Bu, dan akan pergi untuk menuntut ilmu." Jawab Rasidha yang mencari alasan untuk menenangkan dirinya, walau dia merasa kecewa kepada ayah angkatnya. Tapi, dia tidak bisa membenci Zaid, ayah angkat yang keturunan dari bangsa Israel.
"Tapi bagaimana dengan kami? Selama beberapa tahun kamu berada di Kairo dan baru saja kembali ingin pergi lagi ke pesantren? Setidaknya pikirkan Ibu, Nak." Suci berusaha untuk menghentikan anaknya, sangat menyakitkan jika berpisah dengan orang yang di sayang.
"Kalian bisa mengunjungiku kapan saja, karena jaraknya juga tidak jauh dari sini, aku juga tidak pergi lama." Rasidha menggenggam kedua tangan wanita yang masih cantik di usianya yang selalu dipanggil ibu, ibu kedua setelah ibu kandungnya tiada.
"Ada apa dengan Kakak sebenarnya? Siapa yang akan membantuku membuatkan tugas sekolah dan juga menemaniku bermain?"
Rasidha segera menoleh menatap Azzam, dia tersenyum sembari mengelus puncak kepala adiknya itu. "Ini tidak akan lama, percayalah pada kakakmu ini."
"Baiklah, mari kita buat kesepakatan!" ajak Azzam yang menantang kakaknya itu.
"Tidak ada kesepakatan," sergah Suci yang menatap putranya, sedangkan Azzam menggaruk tengkuk kepala dan cengengesan.
"Apa kamu sudah memikirkan ini?" Celetuk Zaid yang juga tidak bisa menerima keputusan anaknya yang begitu mendadak, apalagi baru pulang dari Kairo.
Rasidha menatap ayah angkatnya yang mengenakan sorban menutupi wajah, hanya memperlihatkan bagian matanya saja. Rasa kecewa masih tertanam dalam dirinya, ingin dia membenci pria yang menggantikan posisi ayahnya. Tapi, semua itu tidak terjadi. Kasih sayang Zaid sangatlah tulus, dan bahkan dia lupa dirinya hanyalah orang asing dalam keluarga itu. "Biarkan aku pergi, Ayah." Dua sorot mata yang memelas.
Pandangan Zaid menatap sang istri yang memberinya bahasa isyarat dengan cara menganggukkan kepala pelan. Mereka menghela nafas dan merasa tak berdaya, keputusan final dari Rasidha tidak bisa dihalangi lagi. "Baiklah, Ayah tidak bisa melakukan apapun. Yang terpenting jaga dirimu dengan sangat baik, jika terjadi sesuatu maka segera kabari kami!"
"Baik, Ayah. Aku pergi dulu!" pamit Rasidha.
"Tunggu, Sayang. Biarkan Ayah yang mengantarmu," pekik Zaid berlari menghampiri anak gadisnya.
"Itu tidak diperlukan, Ayah. Masih ada pak supir yang mengantarku, bukankah pekerjaan kantor Ayah menumpuk?"
"Biarkan saja, masih ada asisten Ben."
Rasidha terus menolak, dia hanya ingin menghindari dengan pergi jauh. Mencoba untuk berdamai dengan masa lalu yang begitu pahit. Zaid hanya pasrah, dan Suci kembali meneteskan air mata.
"Mengapa Rasidha tiba-tiba memutuskan pergi ke pesantren?" tanya Zaid yang tidak mengerti.
"Aku juga tidak tahu, bahkan dia pernah berkata untuk tinggal bersama kita setelah menyelesaikan pendidikannya di Kairo. Apa ada yang membuatnya tersinggung?" Sahut Suci yang tampak berpikir.
"Sudahlah Ibu, jangan terlalu di pikirkan. Lagipula kakak masih muda dan perlu menuntut ilmu. Bukankah di pesantren itu milik paman Doni? Jadi tidak ada yang oerlu dikhawatirkan. Kita berdoa saja untuk keselamatan kak Rasidha," sela Azzam, pria bermata biru dan wajahnya sangat mirip dengan sang Ayah.
"Wah, Ayah tidak menyadari jika Azzam menjadi orang bijak sekarang." Puji Zaid.
"Aku menjadi bijak itu tergantung kondisi dan situasi, terutama sekarang. Berikan aku uang!" Azzam menadahkan salah satu tangannya meminta belas kasih dari kedua orang tuanya.
Zaid segera mengeluarkan selembar uang berwarna biru, membuat pria remaja itu menghela nafas panjang.
"Lima puluh ribu? Jangan bercanda denganku, Ayah. Uang ini hanya bisa membeli tusuk gigi, aku butuh lima ratus ribu." Keluh Azzam yang mengembalikan selembar uang berwarna biru.
"Kemarin Ayah memberimu uang, kenapa kamu royal sekali? Kita harus berhemat untuk masa depan." Zaid selalu saja pusing dengan kelakuan putranya yang gemar sekali meminta uang. Tanpa di ketahui semua orang, Azzam gemar membantu orang-orang fakir miskin. Sikap yang begitu terpuji selalu tertanam pada dirinya, ibu yang menjadi gurunya itu. Suci selalu menanamkan adab, ilmu, dan perilaku terpuji lainnya.
"Uang itu sudah habis."
"Tidak bisa. Kalau menginginkan uang saku, kamu bekerja di toko roti milik ibu. Bagaimana?" tantang Zaid.
"Deal." Sahut cepat Azzam yang tersenyum, mengapa dia tidak memikirkan cara itu sebelumnya. Ada beberapa cabang toko roti, dan dia bisa bekerja salah satu toko.
"Akan di bayar perhari."
"Ya, aku setuju."
Suci tersenyum melihat interaksi ayah dan anak yang tampak dekat. Dia melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah dan kembali mengerjakan pekerjaan yang tertunda untuk sementara waktu.
Rasidha membuka jendela mobil dan membiarkan semilir angin menerpa wajahnya, dengan begitu pak supir tidak melihat kesedihannya, pergi ke kota lain untuk menghilangkan rasa kecewa yang begitu berat. "Aku harus kuat."
Perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa jam akhirnya sampai dengan selamat, dia segera mengucapkan syukur dan turun dari mobil. Pak supir membantu mengeluarkan satu koper miliknya dan tas punggung.
"Terima kasih Pak."
"Sama-sama Non."
Rasidha menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan, sebuah pesantren yang cukup maju dan terkenal di kota itu. Dia menjejakan kaki selangkah demi selangkah, berjalan mencari ruangan milik Pamannya yang mengelola tempat itu. "Astaghfirullah, aku lupa mengabari paman Doni terlebih dulu. Bagaimana aku bisa menemukan di tempat yang sangat luas ini?" gumamnya yang seperti ayam kehilangan induk.
Rasidha terus berjalan sambil menyeret koper, beberapa santriwati yang lewat memandangnya. "Kenapa mereka menatapku begitu?" lirihnya yang terus berjalan, mencari ruangan pamannya.
Namun langkahnya terhenti saat seorang gadia remaja seusia Azzam menghadang. Rasidha sangat terkejut dengan reaksi dari gadia itu yang tak lain adalah Ayna. "Kak Rasidha, aku tidak percaya Kakak ada disini."
"Ayna." Rasidha membalas pelukan adik sepupunya itu dengan erat, merasa lega saat punya harapan menemukan pamannya lewat gadis remaja di hadapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Mulaini
Semoga Rasidha bisa berdamai dengan masa lalunya dan berkumpul kembali dengan ayah Zaid 💖 ibu Suci dan Azzam adiknya...
2022-08-01
0
Rico Andika Putra
Lanjut.....
2022-07-31
0
aNdRie_NdAh
pdhl mw crtny zaid suci bucin in ko sdh pny ank ka😢
2022-07-31
0