Brakh!
"Abi, apa maksudmu membatalkan pertunangan kita secara sepihak?!" Emilia membuka paksa pintu ruangan kerja Abi di perusahaannya.
Dengan penuh amarah, Emilia mendatangi perusahaan dimana Abi bekerja setelah mengetahui kabar jika pertunangan mereka telah dibatalkan. Hal itu membuat Emilia menjadi murka.
Namun dengan tenang, Abi terus melanjutkan pekerjaannya tanpa terpengaruh oleh kehadiran Emilia disana. Suara keras itu hanya ia anggap sebagai musik yang sedang diputar tanpa arah, tangan bergerak membolak balikan berkas yang berada ditangannya dan menggores tinta disana.
"Abi!" Bentak Emilia kembali, setelah merasa semakin kesal.
Tangan itu berhenti, bola mata yang menatap berkas dihadapannya dengan tatapan tajam. Kedua telapak tangan mengepal keras, mencoba menahan semua amarah yang kini siap untuk meledak kapan saja.
Emilia terus menerus mencerca Abi dengan berbagai perkataan yang ia lontarkan yang menyudutkan posisi Abi, tanpa memberikan kesempatan pada Abi untuk menjawab. Tubuh tetap itu langsung berdiri dan kursi yang ia gunakan telah mundur kebelakang, beberapa berkas diatas meja telah berhamburan jatuh ke lantai. Hal itu membuat Emilia terdiam.
"Keluar!" Suara Abi yang begitu keras, membuat Emilia bergetar.
"Tapi, kamu tidak bisa seperti ini Abi! Kamu tidak bisa membuat keputusan tanpa berbicara dan bertanya padaku dulu, kita ini sudah bertunagan dan bahkan relasi kedua perusahaan mengetahuinya." Emilia tidak ingin kalah dengan apa yang sudah ia lakukan.
Abi berjalan menghampiri Emilia, telapak tangan kanannya menekan rahang Emilia dengan sangat keras. Hanya ringgisan yang Emilia rasakan ketika tangan kekar itu semakin kuat.
"Jangan pernah membentakku! Dari awal, aku tidak pernah menyetujui pertunangan ini. Hanya kau! Yang benar-benar sudah g**la ingin segera meresmikannya dengan berbagai cara, dan saat ini. Aku juga berhak dengan caraku sendiri memutuskannya, keluargamu itu membuatku muak! Keluar dari ruangannku!" Abi menghempaskan tangannya dari rahang milik Emilia dengan sangat kuat, yang mengakibatkan wanita tersebut juga ikut terhempas ke lantai.
"Aku tidak terima semuanya ini, kau harus bertanggung jawab!"
"Lakukan apa yang kalian mau, jika susah melebihi batas. Jangan salahkan, jika aku juga akan melakukan pembalasan pada kalian." Tatapan Abi yang tajam namun tidak menatap Emilia.
"Ta..."
"Keluar!!"
Menahan malu, marah, kesal. Pada akhirnya, Emilia harus pergi dari hadapan Abi. Jika tidak, pria itu akan semakin murka padanya. Entah apa yang akan dilakukannya, hentakan kaki yang menggunakan sepatu tinggi. Suaranya begitu nyaring, dan membuat Abi menghela nafas beratnya.
Kedatangan Emilia sudah merusak mood nya kali ini, meninggalkan meja kerjanya. Abi beralih masuk ke dalam ruangan pribadinya, membaringkan tubuhnya yang terasa lelah. Tanpa disadarinya, jika dirinya terlelap.
.
.
.
Seperti biasanya, Fia menghantarkan bekal makan siang untuk Abi. Tak lupa ia juga membawanya dalam porsi besar, karena teringat akan Tyas dan juga Ronal.
"Siang mbak." Sapa Fia kepada Tyas yang masih fokus pada pekerjaannya.
"Eh Fia. Kamu masuknya nanti saja ya, kayaknya mood tuan sedang tidak bagus." sambut Tyas dan mempersilahkan Fia untuk duduk bersamanya.
"Memangnya ada apa mbak?" Fia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Tyas.
"Biasa Fi, tunangan tuan datang dan mereka kayaknya sedang ribut besar. Makanya kamu disini saja dulu."
Menuruti seperti apa yang dikatakan oleh Tyas, Fia tidak ingin ambil resiko. Ia meminta izin pada Tyas untuk menunaikan kewajibannya, karena Fia belum sempat untuk mengerjakan sholat dzuhur. Meminjam mukenah milik Tyas, Fia menunaikan sholat di ruangan tersebut.
Saat setelah selesai sholat, alangkah kagetnya Fia melihat Abi yang sudah berdiri melihatnya dengan tatapan aneh.
"Ma maafkan saya tuan." Fia mendadak ketakutan.
Hanya menggunakan isyarat dengan kepalanya, yang dimana segera masuk ke dalam ruangannya. Fia melirik Tyas sejenak.
"Sudah, jangan dipikirkan. Tadi sudah mbak jelaskan pada tuan, kamu masuk sana."
Menenangkan degupan jantungnya yang sudah tak beraturan, Fia juga mengeluarkan sekotak bekal yang memang ia bawakan untuk Tyas. Wanita itu tersenyum begitu senangnya, lalu Fia segera masuk ke dalam ruangan Abi.
Langsung saja Fia menuju dapur kecil disana dan menyiapkan hidangan yang ia bawa, tidak ingin membuat tuannya menunggu dan kelaparan karena ulahnya.
"Silahkan tuan." Fia menggeser posisinya untuk mempersilahka Abi menyantap makanannya.
Bagaikan mendapatkan kejutan, Fia merasa jika Abi saat itu begitu penurut. Menikmati makanan yang telah dibawakan untuknya dengan begitu hikmat, Abi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan wajah itu tidak menampakkan sedang dalam keadaan marah ataupun yang lainnya, begitu datar dan sulit untuk ditebak.
"Duduklah."
Fia yang saat itu hanya menunduk dan tidak terlalu fokus, jadinya ia tidak terlalu mendengar Abi yang memintanya untuk duduk.
Sruth!
"Akh! Astagfirullah. Ma maafkan saya tuan."
Dalam ketidakfokusannya, ujung kerudung Fia ditarik oleh Abi. Yang pada akhirnya tubuh kecil itu terhuyung dan jatuh tepat di atas pangkuan Abi, lalu Fia dengan cepat menarik dirinya. Namun sebelum Fia terlepas dari hal tersebut, detak jantung Abi pun ikut tidak beraturan.
Klek!
Pintu ruangan terbuka dan membuat dua pasang mata menatap mereka dengan tatapan penuh pertanyaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments