Pria Gila

Pada pagi hari yang cerah ini, suasana hati Elicia dibuat mendung oleh kedatangan Erland di rumahnya. Bagaimana tidak, tiada angin tiada hujan, tiba-tiba saja Erland datang ke mansionnya dengan alibi menjemput dirinya.

"Apa maumu? Aku tahu kau ke sini bukan hanya untuk menjemputku," ujar Elicia bersedekap dada.

Mereka berada di dalam mobil Erland. Gadis itu terpaksa ikut karena tidak ingin membuat keributan di depan orang tuanya. Erland menghentikan mobilnya, menunggu lampu merah itu berubah hijau.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari depan, Erland berkata, "Kau yang membuat Ovy dikeluarkan dari sekolah."

Itu bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan tuduhan. Elicia akhirnya tahu apa yang menyebabkan pemuda itu menjemputnya. Gadis itu mendengus dingin, dia menolehkan kepalanya.

"Apa buktinya?"

Tak ada jawaban dari Erland yang membuat Elicia tertawa sinis. Dia kembali menghadap ke depan dan menyambung ucapannya dengan datar. "Jika kau tidak memiliki bukti, jangan asal menuduh. Lagipula, kemarin aku tidak berinteraksi sama sekali dengan kekasihmu itu."

Erland menengok dengan wajah marah. "Memang bukan kau yang melakukannya secara langsung! Tapi temanmu yang melakukannya atas suruhanmu! Iya, 'kan!"

Elicia tertawa tak percaya akan ucapan Erland. Apa laki-laki ini telah dibutakan cinta hingga menjadi sangat gila?

Tin! Tin!

Lampu berubah menjadi hijau sejak beberapa detik lalu. Namun, mobil Erland masih belum melaju hingga membuat pengendara di belakangnya memencet klakson secara berulang-ulang.

"Pria gila! Turunkan aku di sini.”

Erland tersenyum miring, tanpa menghiraukan ucapan Elicia. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gadis itu mengepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir membeludak. Dia menatap ke depan, ini bukanlah jalan menuju sekolah mereka. Tak lama, mobil itu berhenti di jalanan sepi yang ditumbuhi oleh banyak pohon besar.

"Turun. Bukankah katamu ingin turun?"

Erland melirik dengan smirk kecil. Dengan tatapan datar Elicia meraih tasnya yang berada di belakang. Tanpa basa-basi dia keluar dari mobil tersebut. Pemuda itu langsung pergi meninggalkan Elicia di tempat sepi tanpa rasa bersalah.

"Dasar pria sinting!" umpat Elicia.

Emosinya jarang memuncak karena dia pandai mengendalikannya. Namun, setelah jiwanya masuk ke raga ini, sering kali Elicia tak bisa mengontrol emosinya. Mungkin ini emosi dari pemilik raga itu sendiri yang memang tak bisa menahan amarahnya.

Elicia menatap sekitar yang hanya sekelilingi oleh pohon rimbun. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Begitu ponsel menyala, Elicia hampir membanting barang mewah tersebut. Erland sungguh pintar mencari tempat untuk membuangnya.

"Hah! Sangat bagus. Kau memang pintar mencari tempat ya, bajingan?" geram Elicia meremat ponsel di tangannya. Tempat ini tidak ada sinyal sama sekali.

Jika dia berjalan menuju jalan raya, itu akan memakan waktu cukup lama. Tetapi jika dia hanya berdiam di sini tanpa melakukan apapun. Sama saja dengan mati perlahan-lahan, karena jalanan ini sungguh sepi pengendara.

Elicia menghela napas berat, apa boleh buat. Dia tak bisa di sini menunggu pangeran datang menjemput. Meskipun suasana hatinya sedang tak baik, Elicia tetap berjalan menuju jalan raya. Setelah berjalan beberapa menit, suasana hatinya yang buruk sedikit demi sedikit mulai membaik. Udara segar di pagi hari sungguh menyejukkan hatinya.

Belum ada setengah jam dia berjalan, tubuhnya sudah mulai letih. Elicia mengusap peluh pada dahinya. Mulutnya berdecak kesal, "Tubuh ini sangat lemah."

Di tubuhnya dulu, Elicia selalu melatih kebugaran tubuhnya sehingga tidak mudah lelah. Namun, berbeda dengan tubuhnya sekarang yang mudah sekali lelah meski tidak melakukan aktivitas berat. Dia mengerti, pemilik tubuh ini sangat dimanjakan sedari kecil. Wajar saja jika dia melakukan aktivitas yang menurutnya kecil, tetapi sangat berat bila dilakukan oleh gadis manja ini.

Untunglah dia membawa air minum dari rumahnya. Sehingga Elicia masih bisa mengurangi rasa hausnya. Tak ada kursi di sekitar, hanya ada batu besar yang berada di sisi jalan. Akhirnya dia duduk di atas batu besar itu sambil meneguk minuman di botol punyanya.

"Bagaimana caraku pulang jika tubuh ini tidak bisa diajak bekerja sama?" gumam Elicia menghembuskan napas lelah.

Dia kembali meneguk minumannya sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. Setelah itu dia menyisir rambut panjangnya menggunakan jari tangan. Merapikannya menjadi satu lalu mengikatnya dengan kuncir rambut. Angin segar menyapa tengkuknya dan lehernya yang sebelumnya terasa panas. Gadis itu melompat turun, berjongkok untuk mengikat kembali tali sepatunya yang hampir terlepas. Kemudian berdiri sambil mengambil tasnya di atas batu dan memakainya di balik punggung.

"Fisikmu harus aku latih ulang agar tidak menyusahkan diriku di masa depan," monolognya dengan pandangan lurus.

Tak ingin berlama-lama, Elicia segera berlari kecil. Jika dia sudah bertekad, tak akan ada yang bisa menghentikannya. Meski kakinya harus menempuh perjalanan yang jauh, Elicia tak akan menyerah semudah itu. Menunggu yang tak pasti bukanlah prinsip hidupnya.

Jangan terlalu bergantung pada orang lain, karena orang itu tidak selamanya selalu berada di sisimu.

Kalimat itulah yang selalu Elicia ucapan apabila dia tengah mengalami nasib sial. Bergantung pada orang lain tak akan membuatnya untung terus-menerus.

...****************...

Zavierro menatap jam di tangannya. Dia heran karena Elicia belum sampai juga sejak tadi. Padahal jam kedua telah usai. Sewaktu jam pelajaran tengah berlangsung, Zavierro dengan alibinya izin pergi ke toilet kepada sang guru pengajar. Nyatanya dia tidak berbelok ke arah toilet, melainkan berbelok menuju dimana kelas Elicia berada.

Namun, saat dia melihat di jendela, bangku Elicia tampak kosong. Dirinya berpikir kemana perginya gadis itu. Apakah dia tidak masuk kelas? Ataukah dia terlambat? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Akhirnya Zavierro memutuskan untuk ke atap sekolah sembari mencoba menghubungi Elicia. Namun, nomor gadis itu tidak bisa dihubungi.

Begitu tangannya hendak mencapai gagang pintu, samar-samar sebuah suara familiar terdengar dalam rungunya. Zavierro mengurungkan niatnya untuk membuka pintu lebih lebar, dia memilih diam dan mendengarkan ucapan pemuda itu.

"Aku meninggalkannya di tempat yang sepi. Mungkin saja dia sedang menangis sekarang."

Meninggalkannya? Siapa? Apakah Elicia?

Pandangan Zavierro menajam. Jika orang yang dimaksud benar-benar Elicia, dia tak akan melepaskan Erland. Benar. Sosok yang sedang berbicara dengan orang dibalik telepon itu adalah Erland.

"Ovy, kau tidak usah cemas. Itu pantas untuk Angel agar dia jera. Bahkan aku telah menyewa preman untuk memp*rk*s*--- akhh!"

To be continued...

Terpopuler

Comments

Ayu Dani

Ayu Dani

emang keparat tuh c erland

2025-01-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!