Valencia yang menyaksikan kesakitan suaminya dari balik kaca transparan itu hanya bisa menangis dan menjerit.
“Mas Devano!” pekik Valencia. Tubuhnya berguncang, airmata nya terus menetes. Tangisnya terdengar begitu pilu.
Sedangkan didalam ruangan UGD itu, tubuh Devan menegang. Darah terus keluar dari mulut serta hidungnya, masker oksigen yang di pasangankan padanya sudah berlumuran darah.
“Dokter! Detak jantung pasien semakin melemah!” Seorang perawat yang bertugas mengecek detak jantung Devano menjadi panik.
“Siapkan Defibrillator!” perintah Dokter Danang.
Dua orang perawat segera menyiapkan Defibrillator. Mereka segera menangani Devan yang denyut jantung nya semakin melemah.
“Tidak berfungsi, dokter. Denyut jantung pasien semakin melemah,” kata salah satu perawat.
“Coba sekali lagi!” perintah Dokter Danang. “Siapa tahu ada keajaiban tuhan. Bukan kah setahun belakangan ini, pasien selalu bisa melewati masa-masa kritisnya!?”
Nit nit nit! Alat pendeteksi jantung itu sudah semakin melambat dan perlahan-lahan berhenti beroperasi.
“Alat pendeteksi jantungnya sudah tidak berjalan!” jelas seorang perawat itu.
“Terus coba!” pekik Dokter Danang. “Gunakan Defibrillator itu!” perintahnya.
“Sudah tidak bisa dokter! Pasien sudah meninggal!” jelas perawat itu. Tampak, keringat jagung bercucuran dari kening mereka.
“Mas Devano!” teriak Valencia. Wanita hamil itu semakin histeris saat melihat dokter dan perawat mulai melepaskan semua alat yang melekat pada tubuh Devano selama ini.
“Devan,” ucap Mama Mia dengan lirih. Wanita setengah paruh baya itu menitikan airmatanya. Begitu juga dengan Pak Rahman.
Valencia membuka paksa pintu kaca transparan itu. Ia ingin memeluk suaminya.
“Valencia!” panggil Arya dan Zivanya pada putri mereka.
“Dokter, jangan seperti ini! Kenapa alat penyangga kesehatan suami saya di lepaskan!” pekik Valencia.
“Maaf kan kami, Nona. Tapi, Tuan Devano sudah meninggal,” kata Dokter Danang. Dokter setengah paruh baya itu memegangi kedua bahu Valencia.
“Gak mungkin, semua ini gak mungkin, dokter! Suaminya gak mungkin meninggal!” Valencia menepis kedua tangan Dokter Danang yang berada di bahunya.
Valencia memeluk tubuh suaminya yang mulai terbujur kaku itu. “Mas, mana janji kamu? Kenapa kamu ninggalin aku? Kamu bilang, kamu akan nemenin aku!” Valencia mengguncangkan tubuh suaminya yang sudah tidak bernyawa itu. “Bangun, kamu harus bangun, mas. Kamu harus tanggung jawab, kenapa kamu nikahin dan kasih aku harapan sebesar ini kalau pada akhirnya kamu bakal ninggalin aku!”
“Sayang, sudahlah, Nak. Ini yang terbaik untuk suami kamu, kasian dia yang selama ini menahan rasa sakitnya,” kata Mama Mia mencoba untuk tegar. “Sekarang dia sudah tenang, dia gak merasakan sakit lagi!”
“Abeng, kenapa masa itu terulang lagi. Kenapa putriku harus merasakan hal sama seperti di saat aku mengandung dia dulu!” Zivanya memeluk Arya dengan erat. Ia menjadi teringat saat ia mengandung Valencia. Dimana ia harus berjuang sendirian, membesarkan anak sulungnya dan juga mengandung Valencia tanpa suami. Karena suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan.
“Sabar, sayang. Aku yakin, putri kita akan mampu melewati semua ini,” kata Arya. Ia mengusap punggung istrinya itu.
Dokter Danang dan para perawat yang ada di dalam ruangan itu, ikut merasakan sedih atas duka yang di rasakan oleh Valencia dan keluarga.
“Mas, gimana aku bertahan tanpa kamu?” Tubuh Valencia mulai melemah. Dan akhirnya, wanita hamil itu hilang kesadaran.
“Valencia!” semua orang bertambah panik setelah Valencia hilang kesadaran.
Setengah jam kemudian, Jenazah Devano sudah di bawa pulang ke rumah duka. Sedangkan Valencia baru saja sadar dari pingsannya.
“Dokter, bagaimana keadaan adik saya?” Nino, kakak dari Valencia lah yang saat ini menunggu Valencia yang tinggal di rumah sakit.
“Adik anda sangat tertekan, masalah yang ia hadapi beberapa waktu terakhir ini, membuat jiwanya begitu terguncang!” jelas Dokter Danang.
Saat Dokter Danang dan Nino sedang membahas kesehatan Valencia. Tiba-tiba saja, Valencia keluar dari ruang rawatnya dan mencari keberadaan Devano.
“Kak Nino, dimana Mas Devan?” tanya Valencia. “Valen mimpi, Mas Devan meninggal.”
Nino melirik Dokter Danang yang ada di sampingnya. Dokter Danang hanya menaikan alisnya.
“Devano udah pulang, sekarang kita pulang, ya!” ajak Nino. Valencia pun ikut pulang bersama Kakak nya itu.
“Mas Devan udah pulang, emang dia udah sembuh?” tanya Valencia sembari menggenggam jemari Kakak nya dan berjalan keluar dari rumah sakit itu.
Nino tidak merespon semua perkataan dan juga pertanyaan adiknya itu. Ia ingin adiknya itu paham sendiri dan mau menerima kenyataan yang sebenarnya.
Setelah dua puluh menit kemudian, Nino dan Valencia sampai di kediaman orangtua Devano. Yaitu kediaman Papa Rahman.
“Kak, kok rame?” tanya Valencia pada Nino.
“Masuk aja dulu,” kata Nino pada adik perempuannya.
Valencia pun masuk kedalam rumah bersama Nino. Alangkah terkejutnya dia, saat meliha jenazah suaminya yang sudah di kain kafanni.
“Mas! Ternyata Valen gak mimpi!” teriak Valencia. Ia berlari dan memeluk jenazah itu.
“Daddy, Help me!” Valencia berteriak pada Arya dan Danu yang duduk di ujung kaki Jenazah Devano.
“Valencia! Sadarlah, Nak. Ikhlaskan Devano, jangan menghambat jalannya!” Arya menangkup wajah putrinya itu.
“Daddy, kenapa nasip Valen buruk sekali? Tuhan gak adil!” Valencia bersimpuh di lantai samping jenazah suaminya.
“Valen gak boleh ngomong kayak gitu,” kata Danu. “Valen harus kuat, ingatlah bahwa takdir dan garis hidup seseorang sudah di tetapkan sama Tuhan!”
Tiba saatnya jenazah Devan di ke bumi kan, Valencia yang di gandeng oleh Nino mengiringi langkah orang-orang yang mengusung keranda jenazah Devano menuju ke pemakaman.
Valencia tak henti-hentinya menangis. Setelah selesai di makan kan, Valencia menaburkan bunga di atas makam itu. Ia begitu betah berada di samping makam Devano yang masih basah.
“Valen, ayo pulang, sayang,” kata Mama Mia. “Udah sore, sebentar lagi juga bakal turun hujan!”
“Valen masih ingin disini, ma. Valen ingin menemani Mas Devan, dia pasti kesepian!” Valencia memeluk batu nisan Devano. Baju gaun hitam dan juga kerudung hitam yang di kenakan Valencia sudah begitu kotor karena tanah pemakaman itu.
“Ayo pulang, nak! Tidak baik seperti ini,” kata Zivanya. “Kamu sedang hamil, jangan pikirkan diri kamu sendiri tapi pikirkan janin yang ada di dalam kandungan kamu!” Zivanya menasehati putrinya itu agar tidak begitu larut dalam kesedihan. Bukan tidak boleh bersedih, tapi waktu terus berjalan, masih ada kehidupan yang harus di jalani oleh putrinya itu.
Mendengar penjelasan Mama dan Mommy-nya, Valencia melirik mereka sekilas. Ia bangkit dari tanah merah pemakaman itu, semua keluarga mengikuti langkah Valencia.
“Ayo pulang!” ajak Valencia dengan nada dingin dan datar.
Semua orang saling pandang, tapi mereka tidak ada yang berani angkat bicara lagi. Mereka hanya mengikuti langkah Valencia keluar dari area pemakaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
May Suri
sedih baca cerita nya bagus 😭😭
2022-12-13
1
Tatiputri Solo
baca dr awal mewek trs deh ah...
2022-10-23
1
🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞
Sabar Valen .. ini udah jd takdir jd iklaskan...
2022-09-24
1