Semakin hari, Valencia semakin perhatian pada Devano. Tapi, semakin hari pula, Devano semakin aneh. Kadang-kadang ia bersikap sangat manis, kadang pula ia akan pergi tergesa-gesa dari rumah tanpa pamit. Tanpa di ketahui oleh Valencia, bahwa suaminya itu melawan penyakit sendirian.
“Mas, kamu ngapain sih di kamar mandi? Udah setengah jam lebih gak keluar-keluar,” kata Valencia sembari mengetuk-ngetik pintu kamar mandi.
Devano tidak merespon ketukan dan panggilan istrinya itu. Pria malang itu sibuk membersihkan darah yang terus keluar dari lubang hidungnya.
“Ya Tuhan! Tolong hentikan darah ini, jangan biarkan Valencia tau semuanya,” Devano berucap lirih. Ia melihat pantulan dirinya di cermin yang menyedihkan.
Beberapa menit kemudian, darah itu sudah berhenti keluar. Ia pun membasuh wajahnya sebersih mungkin, setelah merasa cukup bersih. Devan pun keluar untuk menemui istrinya.
“Mas, kamu ngapain di dalam? Kok lama banget.”
“Maaf sayang, mas sembelit. Ini aja masih mules,” bohong Devan.
“Ya udah, kita istirahat ya. Udah malam,” kata Valencia.
Jam sudah menunjukan pukul 21:14 malam. Valencia pun naik ke atas ranjang dan merebahkan dirinya. Devano pun ikut meringkuk membelakangi istrinya.
Valencia pun merubah posisi, ia memeluk tubuh suaminya yang meringkuk itu dari belakang.
Devano tidak ingin mengecewakan istrinya, ia menahan rasa sakit luar biasa yang tengah ia rasakan itu. Gigi-gigi Devano bergetar seperti orang yang sedang menggigil.
Setelah istrinya itu terlelap, Davano meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
“[Rat, tolong antarkan obat ku,]” pinta Devano pada seseorang. “[Aku tunggu di depan pintu, ya!]” Devano segera mematikan sambungan telpon itu. Ia memindahkan tangan Valencia yang melingkar di pinggangnya, dengan perlahan ia turun dari ranjang itu dan menuju lantai bawah.
Devano duduk bersandar pada tembok teras rumah nya. Ia menunggu kedatangan asistennya yang ia pinta untuk mengantarkan obat.
Tak lama kemudian Asistennya yang bernama Ratih datang dengan memakai stelan pakaian warna hitam dan juga topi, turun dari mobilnya. Gadis itu turun dengan membawa bungkusan obat untuk tuan nya.
“Terimakasih, Ratih,” ucap Devano.
“Tuan, apa tidak sebaiknya tuan beri tau istri tuan, bahwa tuan sakit?!”
“Tidak, Ratih. Dia tidak boleh tau, dia pasti akan sangat sedih,” kata Devano.
“Tuan salah jika seperti ini, dengan begini dia akan merasa lebih sakit lagi. Apalagi jika dia tau dari orang lain, pastilah dia akan sangat kecewa,” kata Ratih.
“Aku memang sangat egois, aku sudah menariknya kedalam hidupku. Tapi apa aku salah, jika aku ingin di cintai? Aku ingin merasakan kebahagian di sisa umurku yang singkat ini.”
“Tuan Devano bukan hanya menyiksa dirinya sendiri. Tapi juga menyiksa istrinya. Bagaimana jadinya nanti, jika seandainya umurnya memang tidak panjang? Apa dia tidak memikirkan kehidupan Valencia kedepannya?” batin Ratih.
“Tuan, saya pamit! Jika ada apa-apa tolong segera hubungi saya, saya pasti akan segera datang!” Ratih yang berpenampilan seperti pria itu segera pamit pada Devano.
Tak terasa, lebih dua jam lamanya Devano berdua diri di teras rumah itu. Setelah merasa bosan, ia pun kembali ke dalam rumah.
“Dari mana malam-malam kayak gini, mas?” tiba-tiba saja, Valen yang berada di anak tangga menegurnya sembari bersedekap tangan didada.
“Cari angin, aku gak bisa tidur yank,” kata Devan. Untung saja, kantong obat yang ia bawa sudah ia sembunyikan lebih dulu. Jadi Valencia tidak melihatnya.
.
.
.
Hari terus berganti, semua di lalui terasa begitu cepat. Penyakit yang di derita Devano semakin menggerogoti tubuhnya. Tapi, ia selalu berusaha untuk kuat saat berada di hadapan Valencia.
“Sayang, tolong liat aku,” kata Devano yang mendatangi istrinya di sofa ruang tengah.
“Jangan video-video! Aku malu,” ucap Valencia sembari menutupi wajahnya.
“Kenapa malu? Aku suami kamu!” Devano mendekati Valencia dan menarik tangan Valencia yang di tutupkannya pada wajah nya.
“Ayo dong! Suatu saat nanti, kamu pasti bakalan rindu sama saat-saat kayak gini.” Devano mencium pipi istrinya itu.
“Aku malu, aku belum mandi.” Valen mendorong tubuh suaminya itu. Tapi Devano malah tersenyum.
“Kita foto, ya?” ajak Devan setelah ia mematikan camera yang ia gunakan untuk memvideo sebelumnya.
“Kamu kenapa sih, mas? Semakin hari semakin aneh,” kata Valen. Ia merasa sangat heran dengan perubahan suaminya itu.
“Aku pengen mengabadikan moment kita berdua,” ucap Devan sembari menyiapkan camera yang akan ia gunakan untuk mengambil gambar.
Akhirnya, Valencia berpose bersama suaminya itu dengan banyak gaya.
“Sayang, mas mau ngomong sesuatu sekalian izin sama kamu,” kata Devan sembari mengusap rambut istrinya.
“Ngomong apa? Izin apa?”
“Mas ada kerjaan di kota C. Mungkin sebulan lamanya, atau mungkin lebih lama lagi,” kata Devan. “Mas pengen, kamu baik-baik ya, di sini.”
“Selama itukah?” tanya Valencia. “Biasanya paling lama seminggu!”
“Tuntutan kerja kali ini berat, yank. Di kota C kan, lagi ada pembukaan anak cabang. Jadi, mas harus awasi sendiri,” kata Devan.
Valencia mengangguk, meskipun hatinya sangat berat. Tetapi, ia berusaha menerima semua itu dengan lapang dada. “Mestinya kita punya anak ya, mas. Biar di saat kamu pergi aku gak kesepian kayak gini!” celetuk Valencia.
“Rezeky itu udah ada yang ngatur, sayang. Mungkin setelah ini, kamu bakalan hamil,” kata Devano.
Valencia tersenyum. Ia memeluk leher suaminya dengan erat. “Maafin aku, yang selama ini selalu jahat dan gak nurut sama kamu, mas.”
.
.
.
Sebelum berangkat ke kota C yang di sebutkan oleh Devan. Devan dan Valen menyempatkan untuk melepas rindu mereka.
“Cepat pulang, aku nunggu disini!” Valencia memeluk lengan suaminya di depan rumah. Sudah ada beberapa pria berseragam hitam yang menunggu di depan rumah itu. Mereka lah yang akan mengatarkan dan menemani Devan pergi.
“Aku berangkat, ya.” Devan mencium pucuk kepala istrinya. “Kalau kamu kesepian, kamu bisa pergi ke rumah mama dan papa, atau pulang ke rumah daddy dan mommy!”.
“Hati-hati!”
“Iya, aku bakal kirim pesan tiap hari buat kamu,” ucap Devano sembari memasuki mobilnya.
Selama Devan pergi, Valencia pun kerap kali susah tidur. Dirinya menjadi aneh, nafsu makannya pun meningkat dua kali lipat dari biasanya.
Setelah hampir satu bulan lamanya, Valencia pun bersiap untuk memeriksakan dirinya kerumah sakit. Dan tanpa di duga, di rumah sakit itu. Ia malah melihat suaminya yang berjalan dengan di gandeng oleh seorang wanita. Dan disana lah awal Valencia mengetahui penyakit yang di derita oleh suaminya.
Karena mengetahui penyakit yang di derita oleh suaminya itu. Ia pun sampai lupa untuk memeriksakan dirinya sendiri. Nafsu makannya yang semula tinggi kini hilang begitu saja, bahkan ia sampai sering lupa makan.
.
.
.
BERSAMBUNG!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
💙 Ɯιʅԃα 🦅™ HIATUS
Keknya lu hamil deh Cia
2022-09-23
0
❀_Ayu_❀
Benar yg dikatakan Ratih, harusnya Devano jujur lebih awal agar Valencia tau apa yg Devano rasakan... kalau Devano tidak jujur akan semakin salah paham Valencia.
2022-09-23
0
🕊️⃝ᥴͨᏼᷛCia
tanda tanda sakit keras 😭😭😭aih nyesek banget bava nya
2022-09-23
1