Hari itu, Valencia tidak beranjak sedikit pun dari sisi Devano. Dengan setia, ia menemani Devano dan menggenggam jemari suaminya itu.
Ia begitu takut kehilangan suaminya, jika disaat awal menikah ia begitu membenci suaminya bahkan tidak ingin di sentuh oleh pria itu. Kini, ia malah berharap suaminya itu sembuh agar dapat hidup dan menua bersamanya.
“Aku mencintai kamu, mas. Aku sangat-sangat mencintai kamu. Tolong sembuhlah, berjuang demi aku. Aku bener-bener gak bisa tanpa kamu,” kata Valencia dengan pelan. Ia terus mengajak suaminya itu berbicara.
“Maafin aku yang awalnya selalu bersikap kasar dan gak baik sama kamu, tapi percayalah sama aku. Lebih dari tiga bulan terakhir ini, aku udah mencintai kamu. Aku sayang kamu, aku selalu nungguin kamu pulang, pagi, siang, malam, aku di rumah, mas. Aku gak pernah lagi keluar malam. Itu semua demi kamu demi rumah tangga kita, mas!”
Keesokan paginya, keadaan tubuh Devano sudah jauh lebih membaik. Masker oksigen sudah di lepas, ia pun sudah bisa berbicara pelan pada Valencia.
“Sayang, pulanglah dulu,” kata Devano kepada istrinya itu.
“Aku gak mau pisah dari kamu, aku mau disini sama kamu,” balas Valencia pada Devano.
“Aku gak apa-apa disini, kamu pulanglah dulu. Mandi, ganti baju. Anis itu, temani aku jalan-jalan keluar,” kata Devano sembari mengangkat jemarinya. Ia ingin menyentuh pipi chuby istrinya itu.
Valencia menarik telapak tangan suaminya itu pada pipinya. Agar mempermudah Devano menyentuhnya. “Berjuang sayang, demi aku,” kata Valencia.
Setelah cukup lama, Valencia pun pamit pulang pada suaminya. “Tunggu aku, ya mas. Aku pulang sebentar,” ucap Valencia. “Nanti, aku balik lagi.” Devano mengangguk sembari tersenyum dengan wajah pucatnya pada Valencia.
“I LOVE YOU!” tiga patah kata itu yang di ucapkan Valencia sebelum ia pergi meninggalkan Devano.
“I LOVE YOU MORE!” balas Devano. Maka, menangislah Valencia sembari melangkah keluar dari rumah sakit itu.
.
.
.
Valencia tidak pulang ke rumah yang ia dan Devano tempatti. Tetapi, pulang ke kediaman orangtua Devano.
“Mama, Papa!” panggil Valencia sembari memasuki rumah itu.
“Ada apa, nak?” tanya Papa Devano. Sebut saja dengan panggilan Papa Rahman.
“Ada apa, sayang?” Mama dari Devano juga bertanya. Tumben sekali, pagi-pagi Valencia sudah datang dengan penampilan yang begitu acak-acakan dan mata yang sembab.
“Mama dan Papa kenapa sembunyikan hal sebesar ini dari Valen?!” pekik Valencia kepada kedua orang mertuanya.
“Maksud Valen apa? Hmmm!” Tanya Mama Mia, mama dari Devano dengan air muka yang di buat setenang mungkin.
“Kenapa Mama dan Papa gak bilang, kalau Mas Devan sakit keras?!” air mata Valencia kembali tumpah.
Deg! Papa dan Mama Devano terkejut. Dari mana anak menantu mereka itu tahu? Pikir mereka.
“Ma, jawab! Jangan diem aja, pa!” Valencia menarik pakaian Mama dan Papa mertuanya.
“Sayang, dari mana kamu tau semua ini?” Mama Mia bertanya dengan lirih pada Valencia.
“Valencia udah tau semuanya, Mas Devan gak di luar kota. Tapi dia terbaring lemah di rumah sakit X!” pekik Valencia. Ia tidak perduli lagi berbicara pada siapa?
“Maafkan mama dan papa, kami merahasiakan semua ini atas permintaan Devan sendiri. Dia gak mau kamu bersedih dan ikut menderita,” kata Papa Rahman.
“Hiks! Valen gak mau kehilangan Mas Devan, Valen mencintai Mas Devan, ma, pa!” tubuh Valencia merosot di lantai rumah itu. Menangis sejadi-jadinya.
“Jangan menangis, nak. Lebih baik sekarang kamu bersiap, temani dia,” kata Papa Rahman. Tampaknya, kedua orangtua Devano sudah pasrah dengan penyakit yang di derita putra mereka itu.
Valencia menganguk, Mama Mia pun membantu anak menantunya itu bersiap.
“Ma, udah berapa lama Mas Devan sakit?” tanya Valencia pada Mama Mia yang membatu dirinya menyisir rambut. Sungguh ibu mertua yang begitu penuh kasih sayang.
“Sudah hampir dua tahun,” kata Mama Mia.
“Kenapa Valen gak di kasih tahu?” tanya Valencia lagi.
“Devano gak mau kamu bersedih, dia teramat sangat mencintai kamu. Dia cinta pada pandangan pertama saat melihat kamu untuk pertama kalinya,” kata Mama Mia. “Devan bilang, dia pernah melihat kamu berada di pinggiran jalan. Dia bilang, saat itu kamu sedang menunggu taxi dan gak sengaja mobil yang di kendarai Devano mencipratkan genangan air ke pakaian kamu. Karena saat itu dia terburu-buru, jadi dia cuman lihat kamu dengan cara membuka kaca mobilnya sedikit. Bahkan dia melemparkan sebuah sapu tangan untuk kamu!” jelas Mama Mia.
“Udah lama, ya. Ma. Bukannya itu udah tiga tahun yang lalu, saat Valen masih berkuliah!”
“Mungkin, mama gak tau. Yang pasti, setelah kejadian itu, dia selalu mencari tau tentang kamu. Dan akhirnya dia tau, kalau kamu anak dari Arya Dirgantara dan Zivanya Antasya. Dengan berani dia melamar dan menikahi kamu dengan paksa!”
“Nah! Udah cantik, jangan nangis lagi. Sekarang kamu berangkat ke rumah sakit, kamu temani Devano. Buat dia bahagia, sayang!” Mama Mia memeluk bahu menantunya itu.
“Makasih ya, ma. Mama dan Papa selalu bersikap baik sama Valen!” Valencia memeluk Mama Mia dengan erat. Wanita setengah paruh baya yang berpenampilan tertutup itu selalu saja dapat menenangkan hatinya.
Bagi Valencia, Mama Mia sudah seperti Mommy kandungnya. Yaitu Zivanya.
Setelah siap, Valencia segera mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Ia tidak akan membiarkan suaminya itu di rawat oleh orang lain lagi, ia ingin menemani dan merawat suaminya itu dengan tangannya sendiri.
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh menit. Akhirnya mobil Valencia berhenti di parkiran rumah sakit. Ia memasuki rumah sakit itu dan segera menuju ruang rawat suaminya.
“Mas,” panggil Valencia dengan pelan. Sebisa mungkin ia menampakan wajah cerianya pada Devan.
“Sayang, kamu udah datang? Udah makan?” tanya Devano dengan suara pelan nya.
“Udah, mas. Mas udah minum obat?” tanya balik Valencia ia duduk di pinggiran ranjang pasien suaminya itu. Devano mengangguk.
“Kita jalan-jalan, ya. Kayak yang mas bilang tadi pagi,” kata Valencia. Dengan sangat hati-hati, Valencia membantu dan menuntun suaminya itu turun dari ranjang pasien dan duduk di kursi roda.
Valencia pun mendorong kursi roda suaminya itu menelusuri koridor rumah sakit. Dengan riang, Valencia terus mengajak suaminya berceloteh.
Tanpa sadar, Kini Valencia yang mendorong kursi roda suaminya itu sudah sampai di taman rumah sakit.
Ia duduk berjongkok di hadapan suaminya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya tampak berkaca-kaca.
“Kenapa nangis?” tanya Devano pada istrinya. Ia mengangkat tangannya dengan pelan dan menghapus bulir air mata istrinya itu.
“A-a-aku aku takut kehilangan kamu!” Valencia memeluk kaki suaminya. “Aku gak bisa tanpa kamu, aku akan ikut kemana pun kamu pergi!” tangisan Valencia begitu pilu.
“Sayang, jangan kayak gitu. Percayalah sama TUHAN. Takdir kita sebagai manusia udah di takdir kan bersamaan dengan saat kita di lahirkan,” kata Devano. “Jika nanti aku pergi lebih dulu, percayalah bahwa tuhan akan menyatukan kita disana!” Devan menunjuk ke arah langit biru.
“Kamu harus berjuang demi aku, mas,” kata Valencia. “Selama hampir tiga tahun, kamu bisa berjuang buat aku bahkan maksa buat nikahin aku. Jadi kamu juga harus bisa berjuang lawan penyakit ini!” Valencia semakin histeris di taman itu.
Devano pun ikut meneteskan air mata. Bisa sampai ke tahap ini, itu semua berkat cintanya pada Valencia. Karena Valencia lah ia masih mampu bertahan hidup hingga saat ini, itulah pula salah satu nya yang membuat Papa dan Mama Devano begitu menyayangi Valencia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
anan
hadir k
2022-12-19
0
💙 Ɯιʅԃα 🦅™ HIATUS
Cinta Devano begitu besar buat Valencia, salut deh😭
2022-09-23
0
❀_Ayu_❀
Yups... benar yg dikatakan ortu nya Devan... menangis tidak akan menyelesaikan masalah karena Devan butuh support dari orang² terdekatnya terlebih dari Valencia orang yg dicintai Devan
2022-09-23
0