NIF 06

..."Emangnya aku bisa bekerja dengan tenang saat kamu marah seperti itu?"...

...****************...

..."Lidia Natalia"...

Di dalam rasa cinta yang besar, terdapat sebuah rasa takut. Tidak banyak, tapi itu sudah bisa membuat kita memikirkan suatu hal yang negatif kepada orang yang dicintai.

Bisa dikatakan kalau rasa cinta ini selalu beriringan dengan rasa takut. Bahkan semua orang pun selalu mengatakan hal "Aku mencintaimu, hingga memikirkan jika kau pergi saja membuatku takut melakukan hal yang salah" itu adalah salah satu kata yang seringkali didengar oleh para pecandu romansa.

Laras adalah salah satunya. Dua tahun dia hidup dengan Guntur, membuat wanita itu bosan mendengarkan beribu ungkapan cinta yang diiringi dengan rasa takut. Saking seringnya Guntur mengatakan itu, membuat Laras memunculkan sebuah pertanyaan yang tiba-tiba hinggap di dalam otaknya.

"Kenapa, Mas menikahiku?"

Laras menanyakan itu tepat saat dia dan Guntur merayakan ulang tahun pernikahan pertama mereka yang diadakan di rumah. Tidak ada perayaan, karena saat itu hanya mereka saja yang merayakannya tanpa ingin mengundang banyak orang.

"Terpaksa. Soalnya dua Minggu sebelum aku ajak kamu ke rumah, Oma mewanti-wanti akan menjodohkan aku dengan anak pemerintah kalau enggak bawa calon istri ke rumah. Jadi, begitulah."

Saat itu Laras geming dengan sorot mata yang tidak percaya. Bahkan dia yang waktu itu sedang berbaring di dada Guntur, hendak bangun, tapi si laki-laki malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Becanda, Sayang. Lagian pertanyaanmu itu loh ada-ada saja. Aku meikahimu udah pasti karena Sayang sama kamu, cinta sama kamu."

Waktu itu, Laras yang dibuat kaget oleh pernyataan pertama sang suami, langsung dibuat luluh seketika. Bahkan wanita itu sampai menyembunyikan wajahnya di dada telanjang, Guntur.

Akan tetapi, entah kenapa hari ini Laras merasa kalau Guntur memang terpaksa memilih dia untuk dijadikan istrinya. Entah, tapi setelah siang tadi melakukan panggilan suara dengan suaminya, dia mulai merasa seperti itu.

"Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"

Suara tangis Laras kembali pecah. Wanita itu bergerak menunduk, membenamkan wajahnya ke permukaan bantal yang saat ini berada di atas pahanya.

Sudah dari siang tadi Laras mengurung diri di kamar dan wanita itu belum keluar sama sekali, walau di luar, mungkin malam sudah membekap kawasan Menteng.

"Kak Ras, Oma manggil buat makan malam!"

Laras diam, dia tidak menjawab karena saat ini dia tidak bisa mendengarkan apa pun, selain suara tinggi dari suaminya siang tadi.

"Kamu kenapa sih? Setiap aku pergi, kamu curigaan malu. Sebenarnya apa yang kau permasalahkan, hah? Aku sudah katakan kalau wanita tadi lawan mainku."

"Enggak! Mas, bohong. Pokoknya aku minta, Mas balik sekarang!"

"Terserah kamu dah! Capek aku, Ras!"

"Kak Laras!"

Laras tersadar dan langsung menegakkan kepalanya, lalu menoleh ke arah pintu masuk kamar. Wanita itu bergerak menyeka air matanya, "I ... iya, Di, ada apa?"

Dengan mencoba bernada biasa saja, Laras menjawab dan memberikan pertanyaan untuk orang yang ada di balik pintu sana.

"Kakak kenapa?" Dari balik pintu, Lidia kembali bertanya dan membuat Laras bingung harus menjawab apa.

"Enggak kenapa-napa."

"Ohh, kalau begitu Kakak keluar dong. Semua udah nunggu Kakak di meja makan."

Laras mengigit bibir bawahnya terlihat seperti orang yang menimang-nimang. Cukup lama wanita itu melakukannya hingga dia memilih untuk bergerak turun dari ranjang, lalu beranjak ke pintu kamar.

Laras membuka pintu itu setengah, lalu memunculkan kepalanya. Lidia yang melihat itu sedikit kaget, "Kakak!" ucapnya dengan wajah memperlihatkan keterkejutan.

"Kalian makan aja duluan. Aku enggak laper." Laras tersenyum. Laki-laki itu melakukannya untuk menyembunyikan sisa-sisa tangisannya yang mungkin masih tertinggal.

"Kenapa? Apa karena di sana ada Bibi?" Lidia mencoba menebak apa alasan Kakak iparnya ini enggan untuk makan malam bersama.

"Enggak gitu. Aku masih kenyang. Jadi, kalian saja yang makan."

Lidia memicingkan mata mencoba mencari tahu apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya ini. Namun, belum sempat dia mengetahui itu, tubuhnya malah lebih dulu di dorong-dorong oleh Laras.

"Udah pergi sana. ganggu aja kamu," isirnya dengan sedikit tersenyum.

"Pasti lagi VC sama Bang Guntue yah?" tidak Lidia sembari berjalan menjauh dengan langkah yang pelan.

"Kepo," ujar, Laras dan wanita itu langsung menutup pintu kamarnya.

***

"Itulah kenapa aku wanti-wanti kalian buat mikir dulu. Sekarang lihat sikap satu menantu kalian. Enggak ada sopan santunnya. Diajakin makan malam bersama, malah tidak menghargai."

Laras yang baru turun dari lantai dua, langsung berdiri tepat di anakan tangga terkahir. Saat ini, wanita itu sudah mengenakan setelan celana jeans, sweeter dengan kupluk dan tentu saja topi hitam.

Ternyata kedatangan wanita itu, membuat semua keluarga yang tengah duduk di meja makan menoleh dan melihat ke arahnya.

"Laras, mau ke mana?" Mama Zelina bertanya. Wanita itu bahkan langsung bergerak bangkit dari duduknya."

Laras menundukkan kepalanya, "Mau ke depan, Mah. Cari angin bentar," jawabnya tanpa menoleh untuk melihat lawan bicaranya.

"Laras pergi dulu," imbuh wanita itu dan dia langsung beranjak pergi. Pasalnya, jika berlama-lama di sana, telinganya tidak akan kuat mendengar segala perkataan yang keluar dari mulut Bibi Guntur, yang otomatis menjadi bibinya juga.

"Tuh lihat. Pantas saja Guntur tak betah di rumah orang istrinya kayak gitu. Bicara kepada orang lebih tua aja dia enggan noleh. Dasar jelek, cacat." Siti mengomel dengan nada bicara yang terdengar kesal.

Oma Hani langsung memelototi Siti Safira, anak pertama dan kakak dari almarhum Aji, "Fira!" bentak wanita tua itu, membuat Siti melirik sinis ke arahnya.

"Bibi ini udah tua, lemes banget. Pantas saja anak-anaknya julid semua," ujar Lidia dengan melirik ke arah, Bibinya. Jujur, Lidia juga tidak suka dengan Bibinya yang satu ini.

Bukan kenapa-kenapa yah. Lidia itu tipe orang yang sangat benci jika orang lain mengatur-atur kehidupannya. Nah kebetulan sekali, Bibinya ini adalah tipe orang yang sangat dia benci.

"Kamu lagi ikut-ikutan. Coba sebelum nimbrung itu, kamu lihat diri sendiri dulu, Lidia. Udah dewasa kok masih belum nikah-nikah. Ubah itu sifat kam-"

"Oma, Mamah, Kakak, aku ke kamar dulu. Mood makanku udah ilang. Lebih baik aku kelarin skripsi aja." Lidia yang sudah jengah, memilih kembali ke kamar.

Siti yang melihat itu, semakin dibuat gedek, "Ini-"

"Bibi!" Suara tegas Bara seketika membuat meja makan itu senyap. Bahkan Siti yang tadinya ingin menjulid, langsung diam, "Habiskan makan malam kalian!" imbuh anak pertama dari keluarga Prasetyo itu dengan tenang, tapi terkesan tegas.

Setelah pak Aji meninggal, poros keluarga Prasetyo beralih ke sosok Bara Pratama Prasetyo. Dia adalah tipe laki-laki yang memiliki pembawaan tenang, tapi sangat tegas. Dulu, Bara tidak begitu, tapi dia harus menjadi seperti itu karena posisinya yang saat ini menjadi kepala keluarga.

***

"Dasar perempuan julid. Seandainya kau bukan bibi dari mas Guntur, sudah aku-"

"Sudah aku apa, hah? Memang kamu mau lakukan apa ke bibiku?"

Laras yang tadinya hendak menuruni undakan tangga yang ada di pelataran rumah besar mertuanya, langsung diam. Bahkan kedua matanya saat ini terbelalak dengan mulut yang menganga.

"Emangnya dia mengatakan apa lagi tentangmu?" imbuh dia, Guntur yang saat ini berdiri di undakan terakhir bagian bawah. Pakaian laki-laki itu masih sama. Tidak ada yang beda selain garis wajahnya yang kelihatan sangat lelah.

"M ... Mas Guntur? Kenapa, Mas bisa ada di sini?" tanya Laras dengan sedikit terbata-bata.

Guntur yang melihat ekspresi terkejut itu, tentu saja langsung menyunggingkan senyum. Dia juga bergerak menarik tangan kanannya yang sedari tadi dia sembunyikan di balik punggung.

"Tentu saja untuk menemuimu. Emangnya aku bisa fokus kerja disaat istri curigaanku ini minta aku pulang?"

Laras tersenyum dan tanpa banyak kata, wanita itu bergerak cepat untuk menuruni anak tangga. Akan tetapi, pergerakan cepatnya itu terhenti saat kaki kanannya yang pincang, tidak menapak dengan sempurna. Laras sempoyongan dan siap-siap untuk jatuh.

"Bukankah aku sudah sering mengatakan untuk memperhatikan langkahmu? Dasar keras kepala." Setelah berhasil menangkap tubuh istrinya, Guntur langsung memeluknya dengan sangat erat, "kau selalu membuatku khawatir tahu," imbuh laki-laki itu dan dia mulai merasakan kalau saat ini baju dibagian dadanya, sedang dipegangi dengan sangat erat.

"Siapa wanita itu, Mas?" tanya Laras sembari bergerak membenamkan wajahnya di dada sang suami, tapi tidak bisa karena terhalang oleh bagian depan topi yang dia gunakan, "dia tidak mungkin temanmu, karena saat ini aku bisa mencium aroma orang lain di bajumu," imbuh Laras dan Guntur yang mendengar itu semakin mengeratkan pelukannya.

#Bersambung

Terpopuler

Comments

Misda Cabina Aco

Misda Cabina Aco

gimana gak mikir macam2 sih thor...klo cerita nya gantung,,pas part guntur ngetuk pintu yg keluar cewek tp gak tuntas itu siapa....ini sekedar ngeluarin unek2 ku ya thor,,karn aku bener2 udah masuk ke dalam cerita mu thor😂😂

2022-08-04

4

Isnia Tun

Isnia Tun

Istrinya saja bisa merasakan bau parfum wanita lain di baju Guntur...trs juga Guntur habis nemuin wanita lain yg memanggil nya Honey...gimana istri nya ga curiga,aku aja kalau jadi istrinya pasti curiga,apa lg pas di tlp denger suara cewek yg memanggil suami nya mesra

2022-08-04

2

Mawar Berduri

Mawar Berduri

c Guntur ini suka selingkuh yah minta di sambar geledek kali

2022-08-04

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!