*
*
Mereka tiba di depan sebuah rumah sakit swasta di kota Bandung pada hampir malam. Namun kehidupan di kota itu seperti tak ada habisnya. Tetap ramai seperti hari tak pernah berakhir.
Clarra turun lalu membenahi penampilannya yang agak berantakan. Berkendara tanpa henti dari Jakarta membuatnya sedikit limbung, apalagi mereka menggunakan sepeda motor untuk jarak sejauh itu. Dan ini pengalaman pertama baginya.
"Kamu nggak apa-apa?" Galang merentangkan tangannya saat menangkap sinyal kelelahan dari perempuan itu.
"Hu'um ... hanya sedikit pegal di sini." Clarra menepuk-nepuk pinggangnya sendiri.
"Sudah aku kasih tahu kan, tapi kamu tidak mau mendengar?" Pria itu juga turun dari motornya.
"Sudah tanggung." Clarra menjawab.
Kemudian mereka memasuki gedung rumah sakit, dan segera menuju ke kamar inap di mana ayahnya Galang di rawat.
"Bu?" Pria itu masuk setelah mengetuk pintu.
Tampak Mayang, sang ibu yang berada tak jauh dari suaminya. Dan ada juga orang lain di sana.
"Kamu kapan datang?" Angga yang berada di dekat pintu menyambut kedatangan anak tetangganya itu.
"Baru Om." Galang berhenti di ambang pintu. "Om ngapain di sini?" lalu dia bertanya.
"Ya nungguin ayah kamu lah. Kasihan ibu kamu seharian sendirian."
"Oh, ...."
"Sendiri aja?" Angga berlagak tidak tahu namun dia menyeringai. Melihat seorang perempuan di belakang pemuda itu, membuatnya ingin melontarkan ejekan seperti biasa. Namun terpaksa harus dia tahan.
"Pura-pura nggak lihat?" Galang melenggang masuk, kemudian melebarkan pintu untuk Clarra.
"Pak Angga, apa kabar?" Clarra mengangguk ke arah Angga. Tentu saja dia mengenalinya sebagai mertua dari atasannya, juga mentor dari pembalap andalan Nikolai Otomotif.
"Baik Bu Clarra, silahkan." jawab pria itu.
"Ayah gimana Bu?" Galang segera menghambur menghampiri sang ibu.
"Lebih baik, nggak seperti tadi." Mayang menjawab.
"Lagian kenapa sih pakai naik-naik ke genteng segala? Nggak inget umur apa?"
"Dirumah ada yang bocor, kalau hujan rembes." Sang ibu mejawab lagi.
"Suruh orang kenapa sih? Pasti ada yang mau? Malah di kerjain sendiri, udah tua juga?" Omel Galang.
"Ayah kira bukan di atasnya. Pas mau turun lagi malah ke pleset." Arif yang menjawab.
"Baru sadar setelah kejadian." Galang mendelik.
Mayang memiringkan tubuh dan melihat perempuan yang berdiri dibelakang putranya. Dan hal tersebut membuat Galang menyadari sesuatu.
"Clarra, Bu. Sekretarisnya Pak Dimi. Aku pernah cerita kan?" katanya, memperkenalkan.
"Umm ... apa kabar? Saya Clarra." Perempuan yang di maksud pun maju dan memperkenalkan diri.
"Saya ibunya Galang, dan ini ayahnya." Balas Mayang, yang kemudian menatap Clarra dan putranya secara bergantian, lalu tersenyum.
"Duduk Cla, mungkin kamu capek." Galang menunjuk sofa di ujung ruangan di mana Angga berada.
"Kamu pakai motor dari Jakarta?" Mayang bertanya.
"Iya."
"Dan bawa Clarra?"
Sang putra mengangguk.
"Keterlaluan."
"Dia yang mau." jawab Galang, dengan acuh seperti biasa.
"Jakarta-Bandung itu jauh lho, Clarra pasti capek?" ucap Mayang.
"Lumayan, kaki dan pinggang pegel." Clarra menjawab, sambil melepaskan sepatu hak tingginya dan memijit kakinya, kemudian terkekeh. Lalu dia duduk di tempat yang Galang tunjuk.
"Aku juga capek, tapi Ibu nggak pernah mikir gitu?" Galang menggumam.
"Masa?"
"Iya."
"Kalau kamu kan sudah biasa. Dari SMA naik motor terus." Mayang bangkit, lalu menuangkan air hangat dari dispenser, kemudian menghampiri Clarra dan memberikan benda tersebut.
"Minumlah, agar kamu tidak masuk angin." katanya.
"Terima kasih." Clarra menerimanya.
"Aku juga mau minum, mungkin aku masuk angin?" melihat sikap sang ibu yang seperti itu membuat Galang bereaksi.
"Ambil sendiri, dispensernya di belakang kamu."
"Dih, ibu jadi aneh?" Pria itu mendelik.
"Om, pulang gih. Nggak apa-apa deh, aku aja yang nemenin ibu." Galang beralih kepada Angga yang menyimak percakapan mereka sambil menahan senyum.
"Galang!"
"Kamu usir saya?" Angga menunjuk wajahnya sendiri.
"Bukan ngusir Om, cuma kan ada aku. Kalau Om mau ya pulang aja. Nggak apa-apa."
"Beneran?"
"Iya. Kan Bu?" Galang menoleh kepada ibunya.
"Iya Pak Angga, nggak apa-apa. Sudah ada Galang. Lagian cuma malam ini kok, besok pagi atau siang juga pulang." Mayang mengamini.
"Ya udah kalau gitu." Pria itu bangkit sambil merapatkan jaketnya.
"Tapi kalau ada apa-apa kabarin ya? Kalau mau pulang juga bisa telefon saya."
"Iya Pak Angga, terima kasih. Sama Bu Rani juga terima kasih sudah kirim makanan." Mayang menjawab.
"Iya." Pria itu bersiap pergi.
"Om bawa motor?"
"Iyalah, apalagi?"
"Jangan ngebut-ngebut Om, nanti masuk angin." Galang tergelak karena pikiranya sendiri.
"Apa kamu bilang?"
Pria muda itu terlihat menahan tawa, namun Angga mengacungkan kepalan tangannya sambil memicingkan mata.
"Bercanda Om." Akhirnya Galang tak dapat lagi menahan diri. Dia tertawa terbahak-bahak hingga kedua matanya terpejam membentuk seperti bulan sabit.
"Puas kamu ya? Awas nanti!"
"Sana-sana cepat pulang! Aki-aki nggak boleh lama-lama ada diluar rumah, nanti masuk angin." ucap pria muda itu.
Angga tak menjawab lagi, dan dia segera pergi dari tempat itu.
"Jangan gitu Lang." Mayang memperingatkan.
"Apaan sih Bu?"
"Gitu-gitu Om Angga itu orang tua."
"Lah, yang nyebut dia abege siapa? Kan aku juga nyebut dia aki-aki?" Galang tertawa lagi.
"Ya jangan gitu juga."
"Ah, ibu nggak tahu sih gimana dia kalau udah bully aku. Apalagi kalau udah ketemu si Oneng. Sakit Bu, sakit!"
"Ah, cemen. Gitu aja kamu merasa sakit."
"Ibu nggak tahu sih rasanya."
"Ya mana Ibu tahu, kamu kan nggak pernah bilang?"
Galang terdiam.
"Kenapa ini omongannya kayak menjurus gitu ya?" Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Perasaan kamu aja kali."
"Dahlah, aku keluar dulu cari angin." Galang melepaskan jasnya, kemudian menyerahkannya kepada Clarra yang terdiam menyimak percakapan ibu dan anak itu.
"Hum?" Perempuan itu mendongak.
"Siapa tahu kamu dingin cuma pakai rok begitu?" Galang menatapnya dari atas kebawah.
"Umm ...."
"Aku keluar dulu, kamu mau titip sesuatu?" ucapnya kemudian.
"Nggak usah."
"Nggak lapar? Kita kan makan tadi pas istirahat siang?"
Clarra menggelengkan kepala.
"Ya sudah." Lalu dia melenggang keluar.
"Dia kadang masih seperti anak kecil." Mayang berbicara, melihat perempuan yang usianya lebih tua dari putranya itu masih menatap pintu yang tertutup.
Clarra menoleh.
"Mungkin karena anak tunggal."
"Saya juga anak tunggal." Entah mengapa Clarra menerangkan dirinya.
"Oh ya?"
Dia menganggukkan kepala.
"Sudah lama bekerja di perusahaannya Dimitri?"
"Sekitar tujuh tahunan."
"Lama juga ya?"
"Begitulah."
"Semoga kamu bisa membimbing dia untuk jadi lebih baik, maklum masih baru bekerja."
Clarra tertegun.
Mengapa perkataan perempuan ini seperti mengandung sesuatu ya? pikirnya.
"Dan dia sedikit kekanak-kanakan." Mayang terkekeh.
"Soal itu ...." Clarra menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Lebih baik kamu istirahat, perjalanan Bandung-Jakarta itu melelahkan bukan?"
"Hmm ...." Clarra menganggukkan kepala.
"Kamu bisa istirahat di situ? Atau mungkin suruh Galang mencarikan hotel di dekat sini."
"Oh, ... tidak usah Bu, disini cukup."
"Mm ... baiklah."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara di Paris ...
"Hey, Amara?" Panggil seorang pemuda seumuran dirinya, yang merupakan partner dalam setiap kegiatannya selama tahun-tahun belakangan.
"Ya?" Amara menoleh tanpa menghentikan langkahnya keluar kelas.
"Jangan cepat-cepat, memangnya kamu mau ke mana?" ucap pria berambut coklat bermata biru itu, dalam bahasa Prancis tentunya.
"Aku harus cepat pulang, hari ini mau menyelesaikan editing video agar malam nanti bisa aku kirimkan kepada orang tuaku." Amara menjawab.
"Need help? (butuh bantuan?)." Pria itu menawarkan.
"Tidak usah Piere, i'm oke." tolak Amara, seperti biasa.
"Are you sure? ( apa kamu yakin?)." Piere bertanya.
"Ya. I have to do this alone." Amara menjawab.
"Why?"
Mereka berhenti berjalan, kemudian Amara menoleh lagi.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin melakukannya sendiri."
"See?"
"Ya."
"Fine." Piere dengan nada kecewa.
"But thank you for your support. Those video, and all the things. It's mean to me. (tapi terima kasih atas dukunganmu. Video-video itu, dan segalanya. Sangat berarti untukku)." Amara tersenyum, kemudian dia bergegas meninggalkan halaman kampus dan pemuda itu sendirian.
***
Dia tiba di apartemen kecilnya di pinggiran kota Paris pada saat malam sudah beranjak. Bukan berarti daerah kumuh yang tertinggal dan semrawut, melainkan pinggiran kota yang sangat indah, masih di sekitar menara paling terkenal di dunia. Dari balkonnya dia bahkan bisa menatap bangunan tinggi itu dengan jelas.
Tempat yang nyaman dan terasa seperti di rumah, terutama karena dia menatanya sedemikian rupa sehingga ruangan-ruangan tersebut tampak seperti kamarnya di rumah Arfan. Tentu saja, dia tak bisa sepenuhnya meninggalkan segala yang ada di negaranya. Termasuk perasaan dan kenangan yang pernah tercipta.
Orang-orang, teman-teman, apalagi orang tua yang telah mendukungnya untuk membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Yakni meninggalkan segala yang dia jalani untuk mengejar cita-citanya menjadi koki profesional kelas dunia.
Tentu, setelah mengorbankan beberapa hal yang dia miliki. Termasuk hubungannya dengan Galang yang terpaksa harus dia akhiri.
Bukan salahnya, ataupun Galang. Tapi ada cita-cita yang harus dia kejar sebelum segalanya di batasi usia dan status. Terlebih apa yang dia cita-citakan tak sejalan dengan sang kekasih.
Amara merasa Galang akan menghalangi mimpinya, terutama setelah dia berhasil masuk ke Nikolai Grup. Yang akan membuatnya lebih dominan dalam segala hal. Sementara dirinya sama sekali tidak menyetujui hal tersebut. Kehidupan mereka akan dihabiskan selamanya di perusahaan itu. Sama seperti Arfan ayahnya, yang tak bisa sepenuhnya lepas meski dia sudah pensiun.
Amara menghirup dan menghembuskan napasnya pelan-pelan. Seolah tengah melepaskan beban berat. Hidupnya baru saja dimulai, tapi rasanya sudah serumit ini.
Tapi hidup itu pilihan bukan? Dan dia harus memilih mana yang harus di prioritaskan. Amara percaya, jika memang mereka berjodoh, maka Tuhan akan menyatukan mereka kembali dengan caranya sendiri. Meski sulit dan banyak perselisihan, segalanya akan dipertemukan dengan cara yang paling misterius sekalipun.
Tapi untuk saat ini sepertinya tidak.
🥀 Flashback On 🥀
Amara tertegun setelah mendengar kabar gembira yang di dapatkan Galang pada malam itu. Setelah dia mendapatkan surat resmi dari Nikolai Grup mengenai keberhasilannya menjalani seleksi yang dilakukan perusahaan itu dalam perekrutan staff baru.
"Tapi kakak udah janji?" katanya dengan raut kecewa.
"Aku tahu, tapi kayaknya aku harus coba dulu, siapa tahu berhasil?" Galang menjawab. Masih dengan wajah sumringah.
"Tapi kakak waktu itu udah janji cuma magang di sana. Cuma cari ilmu sama pengalaman kerja aja." Amara mengingatkan percakapan mereka beberapa bulan sebelumnya.
"Aku nggak ngerti, kenapa kamu bersikeras untuk menghalangiku masuk ke Nikolai Grup? Kamu tahu, bagi sebagian orang masuk ke sana adalah mimpi."
"Ya, memang mimpi."
"Tapi aku punya kesempatan yang mudah. Mendapatkan kepercayaan Pak Satria, belum lagi bekerja dengan orang-orang hebat di sana. Yang akan membuat kemampuanku lebih terasah dan menjadi lebih baik. Belum lagi kesejahteraan yang sudah di depan mata. Lalu masalahnya di mana?" Nada suaranya mulai naik.
"Masalahnya kita akan kehilangan banyak waktu, kayak Papa yang harus selalu terlibat meski dia udah pensiun."
"Ya, lalu?"
"Kamu nggak ingat dari mana Papamu mendapatkan apa yang kalian punya sekarang? Ya dari Nikolai Grup."
"Dan itu yang aku nggak mau."
"Ara, ...." Galang dengan nada putus asa.
"Kami punya segalanya, tapi kami nggak punya waktu."
"Itu resiko."
"Tapi nggak sepadan."
"Nggak sepadan kamu bilang? Lalu apa yang kamu lakukan sekarang? ini semua bisa kamu jalani karena kalian terkait dengan Nikolai Grup."
"Ucapan itu yang nggak mau aku dengar. Seolah-olah kita berhutang budi sama mereka. Padahal Papa aku menukarnya dengan kemampuan dia."
"Itu yang di namakan timbal balik, lalu di mana masalahnya?"
Amara terdiam. Kalau sudah begini, tentu Galang tidak akan mengurungkan niatnya. Ini mimpinya, dan pria itu tidak akan bisa dia halangi.
"Apa masalahnya?" Galang mengulangi ucapannya.
"Please Kak, kakak bisa cari kerjaan di mana aja kan? Setelah punya pengalaman di Nikolai grup pasti Kakak akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan."
"Ara ...."
"Aku cuma mau Kakak kerja di tempat lain, itu aja."
Kini Galang yang terdiam.
"Aku nggak akan menghalangi Kakak untuk kerja di mana aja, kecuali Nikolai Grup."
"Aku sedang mengusahakan masa depan yang baik. Dan aku rasa, Nikolai Grup adalah tempat yang tepat. Aku sudah tahu sistemnya, orang-orangnya, dan segala macam yang belum tentu aku dapat di tempat lain. Kamu ngerti nggak soal itu?"
Amara mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Jangan katakan kalau ini masih ada hubungannya dengan Pak Dimitri ya?" Akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulut Galang.
"Kakak!" Amara berteriak.
"Benar?"
"Nggak ada hubungannya sama Kak Dim. Udah bukan urusan aku lagi." Gadis itu menegaskan.
"Tapi buktinya?"
"Apa?"
"Kamu selalu membuat aku menghindar dari segala yang berhubungan dengan mereka." Pemuda itu berteriak. Dan ini adalah pertama kalinya dia melakukan hal tersebut. Akalnya sudah tak mampu lagi menerima alasan yang Amara berikan atas segala ketidak setujuannya masuk dan bekerja di Nikolai Grup.
"Dan Kakak selalu berusaha masuk ke sana, padahal udah tahu kalau aku nggak setuju. Kenapa?" Amara membalikan pernyataannya.
"Kenapa kamu bilang?"
"Pasti ini masih ada hubungannya sama Kak Rania."
"Astaga, Ara! Kenapa kamu masih mempermasalahkan itu?"
"Kakak juga masih mempermasalahkan itu!"
"Nggak ada hubunganya dengan Rania, atau apa pun yang kamu pikirkan. Kamu konyol!" Galang meremat rambut di kepalanya. Keputus asaannya sudah sampai di ujung.
"Dan aku harus percaya? Sementara Kakak juga selalu berpikir kalau aku begitu?"
Galang kembali terdiam.
"Kamu jangan egois Ara!" Lalu dia menggeleng.
"Dan Kakak boleh?"
Pemuda itu memejamkan mata untuk beberapa detik. Mencoba menenangkan hatinya yang mulai kehilangan kesabaran.
"Aku masih punya tanggung jawab."
"Padahal bekerja di manapun akan tetap membuat Kakak bisa bertanggung jawab."
"Masalahnya ...."
"Jadi Kakak akan tetap menerima pekerjaan di Nikolai Grup?" Amara memelankan suaranya.
"Ya." Galang menjawab tanpa keraguan sedikitpun.
"Itu artinya kita akan berpisah." Amara berujar.
Pemuda itu mengerutkan dahi seraya mengikuti Amara yang bangkit dengan pandangannya.
"Kalau begitu, aku juga akan memilih mengejar mimpiku." lanjut gadis itu.
"Dan sepertinya kita nggak akan lagi bisa sejalan."
"Ap-apa?" Galang bereaksi.
"Terima kasih atas semuanya, untuk waktu yang Kakak luangkan untukku. Se nggaknya aku pernah bahagia dengan Kakak." Buliran bening menyeruak dari kelopak mata Amara, kemudian jatuh di lengannya yang bertumpu di pangkuan.
"Apa maksud kamu?"
"Setelah ini aku yakin kita nggak akan punya pemikiran yang sama. Jalan kita berbeda, dan semuanya nggak akan sesuai lagi. Jadi aku akan mengakhiri sampai di sini aja." katanya, sambil menyeka air mata di pipinya.
"Apa?"
"Tapi walau bagaimana pun, aku akan tetap sayang Kakak." Amara bangkit kemudian menghambur memeluknya. Dan sebuah kecupan lembut namun bergetar mendarat di bibir Galang yang tertutup rapat.
Pemuda itu membeku di tempatnya, dan dia masih mencoba mengerti dengan segala yang terjadi.
"Habis ini aku mau pergi ke Paris." ucap Amara yang kemudian segera pergi.
🥀 Flashback Off 🥀
Dan Amara pun tak dapat lagi menahan air matanya. Seperti malam-malam yang lalu, setiap dirinya mengingat pria itu, yang dia tinggalkan dua tahun lalu.
🌺
🌺
🌺
Bersambung ...
no caption ah, tapi jan lupa like komen sama hadiahnya. 😊
meet Ara dulu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Yanthi
coba klo ara berjodoh dgn dimtri bukan kah sama aja, dimi jg akan lbh sibuk karna dia kan pewaris, membuktikan klo mgkin ara blom.bs move on dr dimitri
2023-07-01
1
Yanthi
ara salah, bahkan si novel sebelum arfan pernah bilang babwa apa yg di lakukan arfan adalah bentuk dr rasa trima kasih nya yg sdh menjadikan arfan orang yg brada di posisi yg baik, di mana arfan dlu bs kuliah dn bekerja di prusahaan satria
2023-07-01
0
mama kennand
sakit'ya tuh d sini ❤️🤣🤣🤣
2023-06-20
0