"Siapa?" tanya Angkasa.
"Ibu dari ... mantan suami," sahut Salma pelan. Dalam hati ia menyesal membawa tamu penting ke rumah makan ini. Bagaimana kota seluas ini terasa sempit dengan adanya tiga orang menyebalkan yang wajib ia hindari.
"Salma, lagi apa?" Ibu Armand bertanya dengan suara lembut.
"Menemani tamu, Bu." Malas rasanya ia menanggapi pertanyaan basa basi ini. Sudah jelas makanan terhidang di atas meja, mengapa harus bertanya lagi.
"Ow, si kembar ikut juga?" Ibu Armand meraih Cakra dan menggendongnya. Tiap pergerakannya, diiringi dengan suara gemerincing gelang dan kalung emas yang bergantungan di tubuh mantan ibu mertuanya itu, "Cakra Ibu bawa kesana sebentar ya." Ibu menunjuk ke arah kumpulan wanita yang berpenampilan mahal.
Pantas saja semua perhiasan terpasang di tubuh ibu Armand, rupanya sedang menghadiri arisan sosialita yang tiap bulan diadakan. Salma ingat, mantan ibu mertuanya itu tiap bulan selalu menagih jatah khusus untuk menunjang hidup hedonnya.
"Mantan ibu mertua?" tanya Angkasa. Mereka berdua sedang mengamati Ibu Armand yang tampak memamerkan Cakra pada teman-temannya. Salma hanya menanggapi dengan anggukan kecil, "Maaf, suami meninggal atau berpisah?"
"Berpisah," sahut Salma pelan. Ia mengalihakan perhatiannya pada Candra yang menggeliat karena terganggu tidurnya.
"Maaf, tapi kamu hebat masih akrab dengan mantan ibu mertua. Terkadang pasangan yang berpisah mempengaruhi renggangnya kekerabatan antar dua keluarga," ujar Angkasa. Sekali lagi Salma hanya menimpali dengan senyuman. Baguslah jika itu yang dinilai oleh orang lain tentang kehidupannya, tak perlu mereka tahu sepahit apa yang harus ia jalani.
"Salma, Ibu pulang dulu ya. Lain kali kalau ada perlu, anak-anak titipkan saja sama Ibu." Ibu Armand tersenyum ramah. Matanya sesekali melirik ke arah Angkasa. Salma tahu benar apa yang Ibu Armand amati.
Siang itu Salma hanya menemani Angkasa makan siang lalu mencari tempat penginapan. Setelah itu, Angkasa meminta Salma untuk langsung pulang menggunakan mobil yang ia sewa karena kasihan melihat si kembar yang sudah kelelahan.
Di rumah Tania, Ibu Armand bergegas masuk mencari putra semata wayangnya.
"Tan, di mana Armand?"
"Kamar," sahut Tania tak acuh.
Ia sudah mulai muak dengan kehadiran ibu mertuanya itu. Datang hanya untuk meminta uang atau lauk untuk makan.
"Mand, Armand!" Ibu Armand menepuk punggung putranya yang sedang tidur tengkurap, "Masih sore kok tidur." Armand menggeliat lalu membalikan tubuhnya.
"Kamu kok semrawut gini toh, Tania itu apa ga bisa urus kamu?" Ibu Armand menggelengkan kepala melihat penampilan anaknya. Cambang yang sudah tumbuh tak beraturan, berat badan semakin bertambah tidak terkontrol. Armand terlihat sangat tidak menarik dibandingkan saat ia masih kerja dulu.
"Kenapa sih, Bu," sungut Armand.
"Ibu tadi ketemu sama Salma. Dia bawa anak-anak makan di restoran sama laki-laki tampan." Mendengar ucapan Ibunya yang terkesan memuji, Armand langsung membuka matanya.
"Siapa?" Armand langsung bersikap siaga.
"Ga tau, tapi penampilannya kayak orang kaya. Eh, kamu mau kemana?" Ibu menahan tangan Armand yang langsung akan keluar dari kamar setelah menyambar kaos yang tersampir di sandaran kursi.
"Mau tanya siapa pria yang ibu lihat bersama Salma."
"Eehh, jangan. Dia sudah bukan urusanmu lagi." Armand sudah akan mengajukan protes, tapi Ibunya membisikan sesuatu yang akhirnya membuat Armand menganggukan kepala setuju.
"Ibu pulang dulu, kamu ingat apa yang Ibu bilang tadi. Eh, Tania jangan lupa yaa, Ibu tunggu transferannya bulan ini," celetuk Ibu sebelum keluar rumah. Tania melengos dan berpura-pura tidak melihat.
"Ada apa, Mas? Ibu bilang apa?" kejar Tania setelah menutup pintu.
"Berita bagus, nanti kamu tahu sendiri." Armand menarik tubuh Tania masuk ke dalam kamar. Tentunya Tania tahu apa yang diinginkan oleh suaminya itu.
Sebenarnya ia malas melayani kebutuhan biologis Armand, karena suaminya itu mulai nampak sifat aslinya. Belum ada satu tahun menjadi istri, Tania merasa menjadi ATM untuk ibu mertuanya. Belum lagi Armand ternyata sangat pemalas, kerjaannya hanya tidur, makan dan bermain game di ponselnya. Armand membiarkan ia mengerjakan pesanan catering seorang diri dengan perut yang sudah mulai membesar.
Selama Angkasa berada di kota tempat tinggal Salma, mereka berdua semakin dekat dan akrab. Siang ini Salma menemani Angkasa bertemu dengan pemimpin stasiun televisi lokal di daerahnya.
"Salma ini punya potensi luar biasa Pak, saya sempat kecewa waktu dia mengundurkan diri dari acara saya. Padahal acara itu, nyawanya ada di Salma," papar Pak Iwan, atasan Salma saat ia masih aktif menjadi pembawa acara.
"Saya sudah tahu hanya dengan melihatnya," timpal Angkasa sembari mengerling ke arah Salma yang berpura-pura tidak mendengar.
"Salma, anak-anakmu sudah cukup besar bisalah kamu mulai aktif lagi. Belum ada yang bisa menandingi popularitasmu di sini," ujar Pak Iwan.
"Masa saya sudah lewat, Pak. Biar orang yang muda menggantikan saya." Salma tersipu menjadi pusat perhatian dua orang hebat di depannya.
"Benar, Pak Iwan. Masa Salma di sini sudah selsai, waktunya Salma mengembangkan sayap di ibu kota," timpal Angkasa. Salma hanya menanggapi dengan terkekeh. Ia menganggap perkataan Angkasa itu hanyalah basa basi pemanis pembicaraan.
"Waaduuh, kalau Pak Angkasa yang minta saya ga berani bersaing." Pak Iwan mengangkat kedua tangannya sembari tertawa lepas. Salma kembali hanya menggelengkan kepala sambil tertawa kecil, ia merasa lucu dengan kedua pria di hadapannya itu.
"Bagaimana? Kapan kamu siap?" tanya Angkasa saat mereka dalam perjalanan pulang dari stasiun televisi.
"Siapa untuk apa, Pak?"
"Ke Jakarta."
Salma kembali tertawa, kali ini lebih lepas dibanding saat berada di stasiun televisi.
"Loh kok ketawa, saya serius Salma. Kamu sebaiknya mengembangkan bakatmu di sana."
"Terima kasih, Pak, tapi saya ga ada impian untuk berkarir di ibu kota."
"Kenapa? Benar kata Pak Iwan, kamu punya potensi kenapa tidak dikembangkan selagi masih bisa. Jalanmu terbuka lebar, banyak orang yang bermimpi ada di posisi kamu sekarang, Salma." Angkasa dengan semangat memaparkan alasan kenapa wanita cantik di sebelahnya itu harus pergi ke ibu kota. Tawa Salma meredup, ia mulai memikirkan perkataan Pak Angkasa, Pak Iwan dan juga kedua teman baru yang ditemuinya saat acara penghargaan.
"Anak-anak saya masih kecil, Pak," ucap Salma lirih. Ia tidak yakin bisa berkarir dengan baik di ibu kota hanya sendirian dengan dua anak balita.
"Orangtuamu?"
"Keduanya almarhum, sekarang saya tinggal dengan kakak dan istrinya."
"Maaf," ucap Angkasa menyesal, "Mungkin untuk awal, anak-anak sementara bisa kamu titipkan pada Ibu mertuamu sampai kamu merasa yakin untuk bawa mereka tinggal bersamamu di ibu kota. Ibu mertuamu sepertinya baik dan sangat sayang sama cucu-cucunya," lanjut Angkasa.
Salma tersenyum miris mendengar tanggapan Angkasa tentang Ibu dari mantan suaminya. Biarlah hanya ia yang tahu kondisi sebenarnya.
...❤️🤍...
Mampir ya ke karya temanku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Sandisalbiah
nyesel sekarang Tania... itulah.. punya mata celamitan ama laki org... bikin tuman, lihat laki teman sendiri sampe ngences ... di belai merendahkan harga diri demi menggait suami sahabat sendiri... sekarang nyeselkan, kenyataan tak sesuai ekspektasi... makan tuh hasil jerit payahmu...
2023-11-02
2
Aiur Skies
emang enak dan bangga, dah dapetin Piala "mana BEKAS dan BULUK" pula wkwkwkwkwk🤣🤣🤣🤣🤣
2023-10-30
0
Kamiem sag
hmmm mantan mertuanya Salma tu mak lampir lo pak Angkasa
2023-09-26
0