"Kamu sekarang keterlaluan, Salma," desis Armand penuh amarah. Tangannya sudah mengepal siap menghajar istrinya lagi.
"Kamu yang keterlaluan!" seru Salma. Perihnya bibir yang pecah tidak dihiraukannya. Hatinya sudah terlanjur sakit melebihi sakit di tubuhnya.
"Kamu ga akan bisa hidup tanpa aku, Salma." Armand terus maju menghimpit tubuh Salma ke dinding kamar.
"Kita lihat saja nanti, Mas." Salma menantang mata Armand.
"Pulang denganku sekarang, soal sertifikat rumah aku maafkan." Armand mencekal lengan Salma.
"Aku ga mau!" Salma berusaha bertahan diposisinya. Tenaga Armand yang jauh lebih kuat membuat ia terjatuh dan hampir terseret, "Lepaskan, Mas!" Salma terus meronta dan memukul tubuh suaminya.
Sementara itu kedua putra kembarnya yang mendengar Mamanya kembali menangis dan menjerit, keluar dari kolong tangga.
"Maaa ... Mamaaa." Cakra dan Candra hanya bisa menangis menyaksikan kedua orangtuanya yang saling menyakiti.
"Aaauuuch! breng sek!" Armand terpekik kesakitan saat gigi Salma menancap di pergelangan tangannya. Kaki Armand seketika menendang perut istrinya hingga jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
"Kamu apakan adikku?" Bimo yang baru datang setelah mendapat laporan dari temannya, mendorong dan memukul Armand saat pria itu lengah. Perkelahian itu hampir tidak bisa dihentikan, sampai dua kawan Bimo datang dan menarik tubuh dua pria berbadan besar yang saling menghajar.
Salma yang sudah sadar duduk bersandar di anak tangga dengan dipeluk oleh kedua anaknya.
"Aku ga akan melepaskanmu, Salma selamanya kamu tetap milikku!" Dengan wajah lebam dan tubuh yang gontai, Armand menunjuk ke arah Salma.
"Orang gila!" Bimo mendecih kesal, "Kamu ga apa-apa? kita ke rumah sakit ya?" Bimo membantu adiknya berdiri dan mendudukkannya di kursi. Istrinya yang saat itu ada keperluan di luar, membuatnya sedikit kerepotan mengatasi dua keponakannya yang masih terus menangis.
"Aku ga apa-apa, Bang." Salma merasa kasihan melihat Bimo yang panik mengambilkan air minum untuknya sembari menggendong Candra. Sedangkan Cakra masih melekat di dadanya, seolah takut Mamanya disakiti lagi.
"Minum dulu. Perlakuan Armand tadi bisa kamu jadikan bahan penguat gugatanmu." Salma menggeleng pelan menolak usulan kakaknya, "Ini ga bisa dibiarkan, Salma. Dia mengancam dan melakukan kekerasan. Kasihan anak-anakmu harus menyaksikan pemandangan seperti tadi. Aku khawatir mereka jadi trauma."
Setelah berpikir dan sedikit berdebat, Salma mengijinkan Bimo mengambil gambar wajahnya yang lebam dan berdarah. Dengan diantar Bimo dan istrinya, serta kawan Bimo yang saat itu datang ikut melerai sebagai saksi, mereka ke kantor polisi untuk melaporkan perbuatan Armand.
"Kamu kenapa nangis?" Bimo melirik dari kaca spion. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah memasukan laporan ke kepolisian.
"Aku ga nyangka melaporkan suami sendiri ke polisi." Salma menangis sembari memeluk Candra yang tidur di pelukannya.
"Dia ga pantas kau sebut suami. Dia itu bajingan, Salma!" seru Bimo kesal. Tia mengusap-usap lengan suaminya yang tampak emosi.
"Laporan ini bukan untuk memenjarakan Armand, tapi untuk laporan pendukung gugatan ceraimu. Biar cepat selesai gitu, Salma," ujar Bimo gemas melihat adiknya yang masih menangisi suaminya.
Sampai di rumah, Salma semakin dibuat ragu oleh Armand. Suaminya itu mengirim pesan memohon maaf atas apa yang sudah ia lakukan siang tadi. Pesan yang tidak dibalas oleh Salma, membuat Armand berusaha menghubunginya terus menerus.
...❤️...
Sidang kedua, Salma masih di dampingi oleh Bimo. Namun kali ini Tia beserta kedua anaknya ikut dibawa. Armand tetap hadir bersama Tania, tapi kali ini tidak nampak keangkuhan pada raut wajah suaminya itu.
"Cakra, Candra ...." Armand berlutut menyambut di depan ruang sidang saat melihat kedua putranya itu datang bersama Tia. Alih-alih menghampiri, kedua putranya malah bersembunyi di balik kaki tantenya.
"Kamu sedang menuai apa yang sudah kamu perbuat, Mas," ujar Salma. Ia pun sebenarnya merasa sedih melihat kedua anaknya ketakutan pada ayah kandungnya sendiri. Namun sebagai Ibu, ia lebih mementingkan kesehatan mental anak-anaknya.
"Haruskah mereka di bawa kemari?" tanya Tania sinis.
Salma mengalihkan pandangannya ke arah Tania, ia sedikit merasa heran dengan perubahan sikap yang ditunjukan istri kedua suaminya itu. Beberapa waktu lalu wanita itu tampak sangat merasa bersalah padanya, tapi sekarang sifat aslinya rupanya mulai ia tampakan.
"Tidak ada yang salah jika seorang ayah ingin melihat anak-anaknya sebelum kami benar-benar berpisah nantinya," sahut Salma tak kalah sinis.
"Kamu benar ingin melanjutkan ini? haruskah aku berlutut dan memohon dihadapanmu, agar kamu mau mencabut gugatanmu?" Armand menggenggam erat kedua tangan Salma. Ia dapat melihat mata suaminya yang berkaca saat mengecup kedua tangannya berulang kali.
"Mas!" Tania menarik tangan Armand yang masih menggenggam tangan Salma hingga terlepas, "Jangan jadi laki-laki lemah!" desis Tania.
"Kamu jangan khawatir, Tania aku tidak akan mengambil sesuatu yang sudah kubuang," ucap Salma lalu berjalan masuk ke dalam ruang sidang.
Kedua anaknya serta Tia, menunggu di luar ruangan. Salma tidak mau anak-anaknya menyaksikan proses perpisahan kedua orang tua mereka.
Proses sidang berlangsung penuh perdebatan, saat Salma melampirkan bukti laporan polisi atas tindak kekerasan yang dilakukan suaminya.
Armand tidak bisa berkata apa-apa lagi saat keputusan sidang diambil. Hari itu juga status Armand dan Salma bukan lagi suami istri.
"Salma, aku masih belum ikhlas melepasmu," bisik Armand lirih.
"Bersyukurlah atas apa yang kau punya, Mas. Sekarang ada Tania dan calon anakmu yang sebentar lagi akan lahir. Sayangi mereka dan jangan ulangi kesalahan yang sama." Salma berusaha tersenyum walau hatinya perih. Tidak bisa dipungkiri, masih ada rasa yang ia simpan di dalam hati.
"Kalau waktu bisa diulang, aku ga akan mengkhianati kamu demi dia," bisik Armand menahan geram. Ingin rasanya ia merengkuh Salma dan membawanya pulang. Namun mata Bimo dan Tia mengawasi mereka dengan tajam.
"Jangan bilang seperti itu, hargai Tania. Dia mencintai kamu bahkan sebelum kita menikah."
"Mass!" Tania kembali menarik tangan suaminya. Ia merasa gerah melihat Armand dan Salma saling berbisik satu sama lain.
"Tunggu di mobil, aku masih mau bertemu dengan anak-anakku," sahut Armand tak acuh. Tania menggerutu tapi tetap bertahan di samping Armand, seolah takut miliknya akan direbut kembali.
"Cakra, Candra sini sama Papa." Armand merentangkan kedua tangannya. Salma menuntun kedua tangan anaknya mendekati Papanya. Awalnya mereka takut, tapi begitu melihat Mamanya tersenyum dan mengangguk, kedua anak kembar itu membalas pelukan Armand.
"Kamu sudah kehilanganku, jangan sampai kehilangan mereka juga," ujar Salma sembari melirik ke arah Tania, "Kita memang bukan suami istri, tapi ayah mereka tetap kamu. Aku percaya, Mas Armand bisa bijak memberikan hak Candra dan Cakra," ucap Salma sembari melirik lagi ke arah Tania.
"Ga tahu malu, sudah cerai masih minta uang," gumam Tania sinis.
...❤️🤍...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Aiur Skies
buta hukum kayanya, ampe bapaknya mati tuh bocah (apalagi anakk laki-laki) itu berhak atas nafkah atau harta Bapaknya, cuma ngandelin menyelesaikan doang sih noh perempuan binal bego dipelihara/Puke//Puke//Puke/
2023-10-30
1
Aiur Skies
kereeen
2023-10-30
0
Nia Nara
Cinta kok mukul
2023-10-20
0