"Kita bisa, Salma. Kita bisa hidup bersama. Tania juga temanmu, pasti kalian bisa bekerjasama." Salma menahan tawanya mendengar perkataan Armand. Tentu saja suaminya ini senang jika ia dan Tania dapat bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka, karena pada dasarnya Armand adalah lelaki yang angkuh tapi malas.
Armand bisa dapat posisi yang bagus di tempat kerjanya dulu, karena mempunyai saudara yang bekerja sebagai kepala personalia. Mendapatkan pekerjaan dan posisi yang bagus tidak membuat suaminya itu bekerja dengan baik. Armand sering melakukan penggelapan walau jumlahnya tidak besar dan uang itu ia gunakan untuk bersenang-senang di tempat hiburan malam.
"Mungkin bisa, tapi aku tidak mau." Salma melepaskan tangan Armand yang menggenggam erat tangannya.
"Ayolah, Salma aku tahu kamu tidak akan bisa hidup tanpa aku." Sekali lagi Salma berusaha menahan tawanya. Mengapa suaminya ini semakin terlihat konyol setelah menikah dengan Tania.
"Aku bisa. Buktinya aku masih sehat sebulan lebih tanpa ada kabar darimu. Aku bahkan sampai lupa kalau aku masih mempunyai suami." Salma mengangkat dagunya tinggi.
"Sombong sekali kamu Salma. Kamu pasti sudah dipengaruhi oleh tukang bangunan itu."
"Jangan kurang ajar, Mas. Itu kakakku yang kau maksud," sergah Salma kesal.
"Anak-anak aku bawa. Di sini mereka akan terlantar dan tidak mendapatkan nafkah yang cukup." Armand berdiri dari duduknya. Ia akan berjalan ke arah kamar di mana Cakra dan Candra bermain.
"Jangan kau sentuh mereka. Apa kau tidak malu, Mas mengatakan soal nafkah untuk anak-anak? Kapan terakhir kau menafkahi mereka!" Salma berdiri di depan pintu kamar. Ia menghadang Armand menggunakan badan dan tangan yang ia rentangkan.
"Cakraaa ... Candraaa ...." Armand berteriak dari depan pintu. Ia tidak mempedulikan Salma yang terus mendorong badannya agar menjauh dari pintu kamar. Ia berharap kedua anak kembarnya menangis dan meminta keluar karena mendengar suaranya.
"Cakraaa! Candraaa!" Namun bukannya menangis, kedua anak kembarnya justru diam ketakutan di dalam kamar membuat Armand semakin murka.
"Begini caramu membujuk istri dan anakmu untuk pulang?" Bimo masuk ke dalam rumah dan mendapati adik dan suaminya sedang berdebat di depan pintu kamar.
"Jangan ikut campur, ini urusan rumah tanggaku!" seru Armand emosi.
"Ini rumahku! apapun yang terjadi di dalam rumah ini menjadi urusanku! dan jangan kau lupa yang kau dorong tadi itu adikku." Bimo berseru tak kalah keras suaranya.
"Kita tidak akan bercerai Salma." Armand berkata dengan tajam.
"Apa kata nanti di pengadilan, Mas." Salma memalingkan kepalanya, ia jengah menatap wajah suaminya. Armand keluar dari rumah tanpa menoleh apalagi berpamitan.
"Kalau melihat Armand seperti itu, Abang mendukungmu untuk bercerai seratus persen," ucap Bimo yakin saat Armand sudah pulang dan mereka berdua duduk di ruang keluarga.
"Kamu masih mencintai dia?" lanjut Bimo saat melihat adiknya diam tertunduk.
"Munafik kalau aku bilang tidak cinta. Dia pria pertama yang mengenalkan aku apa artinya cinta, tapi dia juga yang pertama mengenalkan aku pada rasa sakit karena cinta." Bimo hanya menganggukan kepala tanpa berniat menyalahkan perasaan adiknya.
Setelah kedatangan Armand kemarin, banyak pesan yang dikirimkan suaminya itu. Mulai dari memohon agar ia membatalkan perceraian, berjanji akan menceraikan Tania setelah anak mereka lahir bahkan menyumpahi Salma sengsara setelah berpisah dengannya.
"Kamu sakit, Mas." Salma bergumam lirih saat membaca pesan yang baru masuk.
Ia tidak menghiraukan pesan yang terus berdatangan. Armand juga tidak berani datang menemui Salma di rumah kakaknya, karena teman-teman Bimo yang bertubuh besar diperintahkan kakaknya agar berjaga di sekitar rumahnya.
Panggilan sidang yang pertama, Salma datang di dampingi oleh Bimo. Mereka bertemu dengan Armand yang menggandeng Tania di depan pintu ruang sidang.
"Kamu masih punya waktu untuk menarik gugatanmu," ucap Armand pelan. Salma tidak ingin meladeni ucapan Armand.
Ia tidak mau tenaga serta emosinya terkuras habis gara-gara melihat perut sahabatnya yang sudah terlihat membuncit. Sepanjang jalannya sidang, Tania kerap kali mengusap perutnya seolah menegaskan ada anak Armand yang berkembang di dalam perutnya.
"Apa Ibu Salma yakin ingin meneruskan gugatan ini?" suara penegak hukum membuatnya kembali berpaling dari perut Tania.
"Saya yakin," ucap Salma tegas. Armand menatapnya dengan tajam. Terlihat sekali suaminya itu sedang menahan emosi dengan jawabannya.
"Salma, aku ingin bicara." Tania menahan tangan Salma saat mereka sudah keluar dari ruang persidangan. Ia melepas cekalan pada tangannya saat mata Salma menatapnya dingin.
"Masih belum terlambat untuk membatalkan gugatan cerai. Armand sangat mencintaimu, Salma. Bahkan dia rela menceraikanku asal kau kembali." Tania menatapnya sendu.
"Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan menikah lagi dengan wanita lain. Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan menanamkan benihnya pada wanita lain di saat istrinya masih sehat dan mampu memberikan anak seberapapun yang ia mau. Kalau dia mencintaiku, kami tidak akan bertemu di ruang pengadilan seperti saat ini." Salma sengaja mengeraskan suaranya, agar Armand yang berdiri agak jauh di belakang Tania dapat mendengarkan semua kalimatnya.
"Aku ingin bertemu anak-anak," sela Armand.
"Silahkan. Mas Armand tetap ayah dari Cakra dan Candra, tapi untuk bertemu saat dalam proses perceraian anak-anak harus ada yang mendampingi." Salma berkata dengan tenang. Armand menggeram marah melihat begitu tenangnya Salma menghadapi dirinya selama sidang berlangsung.
"Lega?" Bimo tersenyum melihat adiknya yang berulangkali menghela nafas panjang. Ia sungguh kagum dengan Salma yang sangat tegar selama persidangan pertama. Padahal di sana sahabat Salma sekaligus istri kedua Armand datang dan ikut menyaksikan jalannya sidang.
"Belum. Masih ada sidang lanjutan. Aku akan benar lega saat hakim sudah mengetok palu."
Selang beberapa hari setelah sidang pertama, Armand datang ke rumah dengan emosi yang memuncak.
"Salma, kau kemanakan sertifikat rumahku!" Armand menarik tangan Salma yang sedang bermain dengan anak-anaknya di depan televisi.
Ia berhasil mengelabui teman Bimo yang berjaga di depan. Ia katakan Salma memperbolehkan ia datang untuk melepas rindu pada anak-anak.
"Aku gadaikan," ucap Salma berani.
"Apa?" Mata Armand melotot marah mendengar ucapan Salma, "Dasar perempuan lancang!" Tangan Armand melayang dan mendarat di pipi Salma dengan keras. Melihat Mamanya terjatuh dengan bibir berdarah, kedua anaknya menangis dan menjerit.
"Uang hasil dari menggadai rumah itu sama sekali tidak aku makan, jadi Mas Armand tak perlu khawatir. Uang itu aku gunakan untuk membayar semua tagihan pinjaman online mu! dan dengan uang itu Candra bisa keluar dari rumah sakit. Apa aku salah?" Salma menantang mata Armand yang masih melotot kearahnya.
"Aku ga peduli, kamu harus kembalikan sertifikat rumah itu."
"Aku ga mau! harusnya Mas minta sama Tania, karena cincin berlian dan mobil baru yang kamu belikan atas nama istri keduamu itu juga hasil dari pinjaman online-mu. Mengapa harus aku yang menanggung semua?" Salma memberanikan diri menghadapi Armand yang sudah terlihat sangat emosi. Cakra dan Candra lari ketakutan dan bersembunyi di bawah tangga.
...❤️🤍...
Mampir juga ke karya temanku ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Dewa Dewi
gitu dong Salma👍👍
2023-10-16
3
Tati Suwarsih
s Arman gila!
2023-10-06
0
Kamiem sag
Thor aku kasihan od Armand binatang itu
2023-09-26
0