Mutia memulai aktivitas seperti biasanya di awal pekan. Setelah mengantar Langit ke sekolah, Mutia melanjutkan perjalanan menuju ke perusahaan. Tentunya dengan Dena di sampingnya.
"Kak, boleh nanya nggak? Tapi jangan marah ya?" Dena berucap setelah Langit masuk ke gerbang sekolah dan mobil telah meluncur.
"Nanya apaan? Sahut Mutia dengan tetap fokus di jalanan yang padat.
"Kak, betah sampai kapan sendiri? Kayaknya Langit butuh figur seorang ayah deh kak" Dena melanjutkan ucapannya.
Mutia menghela nafas panjang seakan menghempaskan beban yang selama ini dipikulnya. "Benar Dena, tapi aku yang belum siap memulainya" jawab Mutia lugas.
"Kalau sudah siap, aku pasti akan cerita ke kamu Dena" lanjut Mutia tanpa menoleh.
"Kak, bukannya kita sudah seperti keluarga. Bebanmu adalah bebanmu juga. Jangan kau sangga sendiri. Kalau kakak nggak kuat, marilah berbagi beban" kata Dena melow.
Mutia lagi-lagi menghela nafas panjang. Bulir air mata sedikit lagi sudah mau jatuh.
"Aku mendengar ucapan Langit sehari sebelum kita berangkat ke kota S itu Dena. Waktu itu dia bilang ke kamu kalau ingin melihat ayahnya walau hanya makamnya" tutur Mutia.
"Jadi kakak tau waktu itu, Langit pesan kalau jangan bilang ke kakak. Langit nggak mau buat kakak sedih" Dena meluruskan.
"Aku tau Den. Dan aku juga bingung mau mulai darimana cerita ke kamu" Mutia berhenti di lampu merah.
"Kalau kakak belum siap, nggak papa belum cerita. Tapi aku harap bagilah bebanmu denganku kak. Kakak sudah seperti kakak kandungku" tukas Dena.
Dena yang sebatang kara, bersama dengan Mutia seakan menjadikan hidupnya utuh meski tanpa orang tua yang lebih dulu meninggalkannya.
"Kak, sudah lihat berita belum?" tanya Dena mengalihkan pembicaraan, Dena tak ingin menambah kesedihan kakaknya itu.
"Berita apaan?" Mutia penasaran.
Jangankan lihat berita pagi, paginya Mutia pasti disibukkan dengan segala persiapan Langit berangkat sekolah. Mulai seragam dan segala perbekalannya..he..he...
Dena membuka tablet yang dibawanya, dan menunjukkan layar nya ke arah Mutia. "Cerita aja dong Den, mana bisa aku baca" ucap Mutia tetap fokus menyetir.
"He...he....benar juga kakak. Kakak ingat kan dengan keluarga Baskoro yang pesan kue minggu lalu buat souvenir pernikahan?" Dena mengingatkan.
"Pasti ingat lah, keluarga sultan. Mana bisa aku nggak ingat..he...he..." Mutia mulai bisa tertawa.
"Di berita ini bilang kalau acara pernikahannya batal kak, mempelai laki-laki menolak acara pernikahannya dan tidak menghadirinya" cerita Dena.
"Hah, mana bisa begitu?" sela Mutia.
"Bukannya itu putra sulung tuan Baskoro, wah jelas nggak bener itu. Tiba-tiba meninggalkan calon pengantin wanitanya" urai Mutia sambil bergidik, membayangkan dirinya yang ditinggalkan calon mempelainya.
"Ralat kak, ternyata itu putra kedua tuan Baskoro. Tapi karena dia satu-satunya putra lelaki dari keluarga sultan itu. Maka dia dijadikan penerus untuk menjalankan blue sky" jelas Dena.
"Oooooo..." ucap Mutia dengan mulut membulat.
"Cuma begitu kak reaksinya?" ujar Dena yang melihat Mutia hanya ber 'o' ria.
Mutia terkekeh.
"Terus musti kasih komen apa, lagian itu urusan masing-masing? Pasti ada alasan tersendiri bagi laki-laki itu kenapa tega meninggalkan calon istrinya" sahut Mutia.
"Kakak kok malah belain lakinya, bukannya yang jadi korban wanita nya. Sesama kaum wanita kita harus belain istrinya dong" jawab Dena semangat membuat Mutia terbahak.
"Lagian Dena, ngapain musti ada aksi bela membela. Urusan mereka juga" Mutia masih tertawa.
"Benar juga ya?" Dena menggaruk kepalanya paham ucapan Mutia. Mutia pun membelokkan mobilnya di depan lobi kantornya. Security sudah menyambutnya, ketika mobil berhenti.
"Makasih pak Sarno" ucap Mutia ramah, dijawab dengan anggukan hormat sang security.
"Kakak duluan aja, aku mau mengecek barang-barang yang baru datang kemarin" Dena langsung melangkah ke arah yang berbeda dengan tujuan Mutia.
Mutia hanya menggeleng melihat tingkah Dena yang langsung berlalu meninggalkanya tanpa menunggu jawaban darinya. "Selalu begitu" gumam Mutia lirih. Mutia menyapa semua karyawan yang dilaluinya.
.
Sementara di apartemen Sebastian, ponselnya telah berdering puluhan kali. Sebastian sengaja membiarkannya. Malas mengangkat panggilan itu. "Aku tau kamu sudah balik bocah teng*k" bunyi pesan yang masuk. Sebastian tersenyum tipis membacanya. "Pak Tua itu ternyata sudah mengawasiku" batin Sebastian.
Sebastian pun mendial kontaknya Dewa, "Dewa, kutunggu di apartemen" ucap Sebastian saat tau Dewa sudah mengangkat panggilannya. Tanpa menunggu jawaban Dewa, Sebastian telah menutup panggilannya itu.
Sebastian meluncur dengan Dewa, "Wa langsung ke mansion. Pak Tua itu sudah gatal ingin menonjokku" ujar Sebastian santai.
Sementara Dewa yang lagi fokus menyetir hanya bisa bergidik membayangkan amukan tuan besar nya itu.
"Aku jangan dibawa-bawa ya Tuan" mohon Dewa dengan muka melas.
"Ha...ha...kamu pasti ada sangkut pautnya lah, kamu juga kan yang mengantarkanku melarikan diri" tawa Sebastian pun pecah melihat muka asistennya itu.
"Wah, bahaya laten mengancam nih. Bisa habis aku tuan" sanggah Dewa.
"Bagaimana kalau aku langsung ke perusahaan sehabis mengantar tuan" Dewa mencoba menawar.
"Wah, nggak bisa. Aku sudah paham dengan modusmu" tolak Sebastian. Dewa hanya bisa menyengir kuda.
Sampailah mereka di sebuah mansion mewah kediaman tuan besar Baskoro, pemilik perusahaan Blue Sky.
Benar yang digosipkan oleh Dena dan Mutia. Sebastian adalah penerus keluarga Blue Sky itu.
Sebastian melangkah dengan tegap masuk ke mansion itu, sementara Dewa mengikuti langkah tuannya dengan menunduk. Karena Sebastian berhenti tiba-tiba, maka Dewa pun menubruknya.
"Ma..maaf tuan" ucap Dewa terbata. Keringat dingin sudah mengalir di tubuh Dewa. Sementara di depan mereka, sebuah tatapan bengis sudah bersiap memangsa mereka berdua.
"Masih berani datang ke sini anak teng*ik????" suaranya seperti menahan amarah. "Setelah apa yang kau perbuat dengan keluarga ini" lanjutnya dengan gigi saling mangatup.
Iya, beliau adalah Tuan Besar Baskoro. Kaki Dewa sampai bergetar ketakutan mendengar suara tuan besarnya itu. Sementara Sebastian masih dengan sikap santainya. Sebastian berani menolak pernikahan itu pasti ada alasan yang kuat.
Sebastian melempar sebuah amplop ke atas meja, tepat di hadapan tuan besar Baskoro.
Mata tuan besar Baskoro menelisik ke arah Sebastian, "Apa maksudnya?" tanyanya.
"Kau lihat sendiri saja pak Tua" jawab Sebastian.
Nyonya Baskoro yang masih terdiam sedari tadi pun mencoba menenangkan suaminya. Nyonya Baskoro sangat paham dengan polah suami dan anaknya itu. Meski nampak sering berantem, aslinya mereka saling menyayangi.
"Pah, Sebastian pasti punya alasan untuk semua itu. Kenapa kita nggak coba mendengarkannya dulu" ucap nyonya Baskoro mengelus pundak suaminya itu.
"Sebastian kamu duduk lah" perintah Nyonya Baskoro.
Tuan Baskoro menghela nafas panjang, mencoba meredam emosi yang sedari tadi ditahannya.
***to be continued
Sengaja membuat alur yang tak bertele-tele, dan mudah dipahami..he...he...
Yang ringan-ringan aja ceritanya, karena kalau berat itu namanya rindu...beh sudah kayak Dilan aja author 😂***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
George Lovink
Kayaknya cerita bagus...tapi pisahkan donk percakapannya...numpuk gitu...seorang penulis kok nggak teliti sih
2025-03-08
1
Atik Marwati
okey Thor...
2023-10-24
1
Lina ciello
calon bojone wingi wanita "bebass" mestii😁
2023-10-23
1