"Kita mau kemana?" Tanyaku saat pria berbaju hitam membawanya keluar kamar.
"Bos Max ingin bertemu." Jawabnya singkat.
Aku mengikuti pria itu dengan patuh. Dia melihat ke kanan kiri, "Hei, bagaimana aku memanggilmu?" Tanyaku lagi.
"Kamu tidak perlu memanggilku." Jawabnya lagi.
Aku memainkan bibirku, baru kali ini aku bertemu pria yang sangat tidak sopan, "Kamu galak sekali. Di tempat asalku kalau kamu galak seperti itu, kamu akan dijadikan teman seekor macan. Macan itu cerewet sekali apalagi macan betina. Bisa seharian dia mengoceh. Aku pernah dihukum ke...."
"Stop! Bisakah kamu diam?!" Tanyanya dan berbalik ke arahku. Melihatku dengan tajam. Apakah aku sangat mengganggunya?
"Baiklah. Maafkan aku." Sahutku tertunduk.
Aaahh...ingin sekali rasanya aku membawa tongkat sihirku supaya aku bisa menyihirnya menjadi sepotong daging dan akan kuberikan kepada Leon, seekor singa peliharaanku.
Tak lama dia membukakan pintu untuk aku masuk ke dalam ruangan Max.
"Terimakasih." Sahutku.
Dia terkejut saat aku mengucapkan terimakasih kepadanya.
Aku berjalan masuk. Max sedang tidak ada di ruangannya, lantas kenapa aku di antar kesini? Bagaimana dengan Rue dan kawan-kawanku yang lain? Nanti akan aku tanyakan kepadanya.
Ruangan Max dihiasi dengan dinding batu berwarna putih tulang, dengan lantai kayu yang dilapisi oleh karpet berwarna hijau zamrud.
Design rumah ini seperti rumah tradisional, dimana semua furniturenya terbuat dari kayu. Ditambah dengan hiasan tanaman di dalam pot yang di letakkan di seluruh pojok ruangan dan meja. Sehingga meninggalkan kesan teduh dan asri.
Ada jendela berukuran sedang di tengah ruangan Max, aku berjalan ke arah jendela itu dan melongok keluar.
"Wah, kota bumi ini ramai sekali yah. Luar biasa." Sahutku.
Krek...
Krek...
Krek...
Tiba-tiba beberapa batu dinding bergerak, dan seperti akan terlepas dari tempatnya. Aku memperhatikannya, dan lama kelamaan batu yang bergerak bertambah banyak dan membentuk sebuah pintu. Dan Max keluar dari balik pintu batu itu.
"Max!!" Sahutku terperanjat.
Dia tersenyum, "Hai Lea. Maaf kamu harus menunggu." Sahutnya, "Ayo ikuti aku!" Perintahnya.
Max mengambil tanganku dan memasukannya ke lengannya.
Deg
Deg
Deg
Kenapa aku berdebar? Dia bahkan tidak lebih tampan dari makhluk Mars yang pernah kutemui. Ada apa denganku?
Dia mengajakku berjalan kaki, banyak pertokoan di sepanjang jalan ini, aku tidak berhenti menengok kanan atau kiri, sampai leherku nyaris patah.
"Kota bumi ini hebat sekali." Sahutku.
Max tertawa, "Hahaha...sebut saja kota. Aku akan mengajakmu ke kedai es krim." Katanya. Kemudian kami berhenti di suatu tempat yang sangat manis, bahkan bau toko ini pun manis.
Di tempatku hanya ada wangi kayu manis dan dedaunan. Tapi tempat ini wangi berbagai macam.
Aku mengendus-endus udara di sekitarku, "Harum sekali disini." Kataku.
Begitu aku dan Max berjalan masuk, semua pengunjung satu per satu.
Max menggelengkan kepalanya, "Kita duduk disini dulu yah. Kamu mau rasa apa?" Tanyanya.
"Bau wangi apa ini? Aku mau pesan yang wangi ini saja." Sahutku.
"Okei." Max memanggil pramusaji, dan menyebutkan pesanannya.
Tak lama pramusaji mengantarkan segelas lebar makanan berbentuk bulatan yang aneh sebanyak 3 bulatan dengan entah apa itu yang berbentuk panjang dan mempunyai ulir berwarna coklat dan putih. Dan banyak potongan buah, ada yang aku kenal juga, ceri.
Aku menatap yang kata Max adalah es krim. Max memandangku, "Makanlah, Lea." Katanya.
Aku melihatnya dan melihat Max bergantian.
Max mengambil sendokku dan menyuapiku...
"Wah, dingin sekali. Tenggorokanku serasa membeku. Segarnya." Sahutku kegirangan.
"Apa ini? Apa itu es krim?" Tanyaku melontarkan rasa keingintahuanku.
Max tersenyum, "Lea, darimana asalmu?" Tanya Max.
"Aku dari kerajaan di sebuah negri di atas awan." Aku menjawabnya.
Max tertawa mengejekku, "Hahahaha... Lea, imajinasimu luar biasa sekali. Harusnya kamu jadi penulis komik atau novel saja...hahahaha." ejeknya.
Aku heran kenapa dia tertawa.
"Apa yang lucu?" Aku bertanya.
"Mana ada negri di atas awan, Lea." Katanya lagi.
"Ada dong." Sahutku.
Max menatapku lekat-lekat, dia mencari kejujuran di mata dan wajahku, aku yakin dia tidak akan menemukannya karena aku mengatakan yang sebenarnya.
"Dan nama kamu hanya Lea?" Tanyanya lagi.
"Mengapa semua orang di rumahmu menanyakan namaku? Aku sudah menjawabnya berkali-kali juga, namaku hanya Lea." Jawabku.
"Aku mempunyai seorang teman, namanya Eleanor. Wajahnya mirip sekali denganmu, dan memang dia suka sekali mengganti nama atau warna rambutnya." Kata Max.
Aku mengangguk, "Aku punya pertanyaan sebelum kita berlanjut ke temanmu itu, apa benda yang selalu kalian bawa itu? Yang kalian pakai untuk berbicara? Dan mengapa kalian selalu bermata empat?" Tanyaku.
Pertanyaanku kembali membuat Max tergelak, "Hahahaha...astaga Lea. Kamu lucu sekali. Jadi kamu benar-benar tidak tau tentang benda itu? Baiklah, benda untuk berbicara itu namanya ponsel. Dan kami tidak bermata empat tapi kami berkacamata." Jawab Max masih sambil tertawa.
Aku mengangguk, paling tidak sekarang dia tau aku bukan dari sini, dan akan segera melepaskan kami.
"Jadi, apakah kalian benar bukan dari sini?" Tanya Max lagi, "mengingat kamu saja tidak tau apa itu kacamata."
Aku menggeleng, "Nama negriku adalah Magic of Wands atau tongkat ajaib. Setiap dari kami akan memiliki sebuah tongkat sihir dan sepasang sayap. Kamu boleh memegang punggungku, akan ada dua tonjolan dan lengkungan di belakang lenganku." Sahutku sambil membelakanginya.
Max menyentuh punggungku dengan lembut, dia meraba-raba setiap inci tubuh belakangku untuk mencari ujung sayap.
Jantungku kembali berdetak cepat.
Tidak sampai situ, Max meraba belakang lenganku untuk mencari lengkungan sayapku, dan dia berhenti di siku lenganku. Aku rasa dia menemukannya, maka aku membalikkan badanku.
Deg...
Aku berhadapan dengannya
I...ini dekat sekali!!! Sahutku dalam hati dan segera menjauh darinya.
"Apa kamu menemukannya?" Tanyaku kepada Max.
Dia menggeleng, "Tidak. Anggap saja saat ini aku percaya kepadamu. Ayo kita pergi dari sini!" Katanya.
Max mengajakku naik ke dalam mobilnya. Bukan dia yang mengendarainya. Mobil ini lama sekali.
"Lain kali aku akan mengajakmu terbang ke rumah Nyonya Lebah untuk memgumpulkan madu." Ucapku.
Max tidak menanggapi omonganku, maka aku diam dan hanya melihat-lihat hingga kami berhenti di sebuah pusat perbelanjaan megah.
Dia memanggil beberapa wanita, dan salah seorang dari mereka mendandaniku dan menggantikan pakaianku.
"Lea, lihatlah kesini!" Perintahnya.
Aku melihat ke arah Max, di belakang Max ada cermin besar sekali, dan aku melihat pantulan diriku dari cermin, "ini berbeda sekali denganku." Sahutku hanya kepada diriku sendiri.
Aku menatap Max kembali, "Aku tidak suka ini!" Ucapku, "Mana pakaianku sebelumnya?" Tanyaku lagi.
Entah mengapa begitu melihat pakaianku diganti, aku merindukan orangtuaku.
Max melarangku untuk berganti pakaian, dan melangkah keluar diikuti oleh wanita-wanita penjual pakaian dan para pengawalnya.
...----------------...
Max POV
"Bagaimana ini Nelson, aku tidak pernah menyukai Eleanor yang asli, tapi dengan Lea yang ini jantungku seperti melompat keluar." Sahutku kepada Nelson.
"Mata-mataku mencurigai Eleanor ada di kota sebelah. Aku meminta orangku untuk kesana dan mencarinya." Jawab Nelson.
"Lalu?" Tanyaku lagi meminta pendapatnya tentang pernyataanku tadi.
"Silahkan saja kamu menyukainya, bagaimanapun juga dia istrimu, kan?" Ucap Nelson.
"Istri bayaranku. Hanya karena orangtuanya tidak mampu membayar hutangnya, anaknya dijual kepadaku. Sampai kapan pun tidak akan pernah lunas!" Sahutku.
"Tapi, kamu juga berhutang kepada orangtuanya, Max." Seru Nelson mengingatkan.
"Ya, aku tau itu." Sahutku dan mengakhiri panggilanku dengannya.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
🔵◡̈⃝︎☀MENTARY⃟🌻
Hwaiting Kk Olive
My Bestie mampir
2022-08-11
1
Sophia
😅😅
2022-07-21
1
Boenga
kakak othor Suka Kayu manis kayaknya...
di trisha ada kenari Sama Kayu manis, di dream ada Kayu manis juga...hehe
2022-07-21
1