Chap 10

Abang gue dengan tidak berperasaan mengetuk atau lebih tepatnya menggedor pintu kamar gue.

“Apaan sih bang?” kesal gue membuka pintu

“Gimana?”

“Gimana apanya?” bingung gue

“Lho sama Macri. Kan kata si Macri, dia bakal nembak lho!”

“Ya gak gimana-gimana”

“Lho tolak?” yang mendapat anggukan dari gue.

“Bukannya lho juga suka yah sama dia? Apalagi kalian berdua udah__” abang gue menyatukan ujung kelima jarinya dengan jari sebelahnya.

“Kok-kok abang tau sih?”

“Ya taulah, dikasih tau sama Macri”

Sumpah gue malu banget. Abang gue ini loh. Masa iya dia tau gue ciuman.

“Gak usah malu, santai aja” ucapnya dan berjalan ke kasur gue.

Gue menutup pintu dan merebahkan diri di samping abang gue. Pandangan kita bersatu.

“Terus kenapa lho tolak”

“Gu-gue Cuma bingung aja sama perasaan gue. Gak mungkin kan gue secepat itu berpaling dari kak Nico?”

“Tapi terlihat jelas loh kalau lho juga suka sama Macri, makanya gue setuju sama saran Nico supaya Macri nembak lho tadi.”

“Kak nico?”

“Mmm. Padahal Macri udah pendam dari lama loh. Dia ragu kalau lho gak suka sama dia, makanya dia gak pernah mengungkapkannya selama ini. Sampai dia cerita kejadian kalian itu dan terlihat jelas juga lho keliatan senang sama dia, makanya kita usulkan supaya dia nembak lho. Walaupun awalnya dia nolak takut lho risih dan akhirnya menjauh dari dia”

“Tapi___”

“Gue yakin dia pasti sedih banget. Tapi walaupun gitu gue gak bisa maksa lho. Gue harap pilihan lho yang terbaik. Dan coba dengerin kata hati lho, bukan pikiran lho. Gue gak mau aja, adik gue nanti nyesel. Tapi kalau memang ini udah pilihan mutlak lho, gue harap lho bisa bahagia dengan pilihan lho. Karena kebahagiaan lho yang utama”

“Huaa... makasih bang. Abang memang yang terbaik”

“Cengeng ih...” ucapnya memeluk gue dan menghapus air mata gue. Gue jadikan aja bajunya untuk lap ingus gue. Siapa suruh buat gue terharu.

Dan tanpa gue sadari, gue tertidur di dekapan abang gue. Sampai pagi menyongsong dan gue masih dalam dekapan abang gue.

“Bang bangun...” gue mengguncangkan tubuhnya.

“Libur Ri. Biarin abang lho tidur bentar lagi napa” ucapnya mengeratkan pelukannya masih menutup mata.

“Uhh... Sesak bang”

Tanpa membalas abang gue melonggarkan pelukannya. Gue hanya ikhlas aja abang gue mejadikan gue bak bantal guling.

Abang gue ini memang aneh. Kalau sekolah, bangunnya lebih cepat dari siapapun tapi kalau udah libur gini pasti kebo banget.

Kok dia bisa sih mengatur jadwal tidurnya dengan baik.

Kalau gue mah waktunya harus pas setiap hari. Gak bisa bangun cepat dan gak bisa tidur kalau udah lewat jam bangun seperti biasa.

Gue akhirnya memainkan smartphone gue dan membuka banyak aplikasi. Mulai dari Instagram, Twitter dan akhirnya stuck di Tiktok. Entah kenapa kalau udah buka Tiktok tuh seakan dihipnotis. Pikiran bilang berhenti, tapi tangan tetap scroll.

Gue jadi curiga kalau yang menciptakan Tiktok punya jampi-jampi deh.

“Ri... abang kamu disitu kan?” tanya bunda mengetuk pintu pelan.

“Iya bun...”

“Ya udah bangunin. Suruh makan, abang kamu kebo kalau urusan libur”

“Siap ibu bos”

“Bang... bang. Bangun, suruh makan kata bunda”

“Nanti aja”

“Gak boleh gitu loh bang. Nanti ayah marah loh”

“Repot banget sih ah. Ya udah ayok”

Abang gue melepas pelukan gue dan beranjak dari Kasur. Gue melipat selimut dulu sebelum akhirnya pergi menyusul abang gue ke meja makan.

“Pagi ayah bunda”

“Pagi sayang” jawab ayah sama bunda.

“Makan dulu abang, nanti lanjut lagi tidurnya”

“Iya bun”

“Adek tolong ambil minum gih”

“Siap bun” Gue beranjak dari kursi dan mengambil minuman yang berada di meja dapur. Gue kembali dan menuangkan minumannya ke gelas.

“Bun... kita gak jalan-jalan gitu, kan libur”

“Iya bun. Udah lama juga kita gak jalan bareng” timpal gue bahagia atas usul abang gue.

“Gimana yah?”

“Ayah ada meeting sama klien bentar di mall xx. Gimana kalau kita kesitu aja?”

“Gak lama kan yah?” tanya gue memastikan.

“Iya sayang”

“Boleh tuh yah”

“Kalau urusan belanja aja nomor satu” celetuk abang gue.

“Terserah gue lah. Blew”

“Udah udah. Makan dulu baru berantem!”

“Siap bun” ucap kita serempak.

.

.

.

Kita memasuki area mall dan ayah memarkirkan mobilnya. Kita ikut ayah dan duduk agak jauh dari ayah, supaya gak menggangu ayah dan kliennya.

Tidak butuh waktu lama ayah menyelesaikan pekerjaannya. Tepat seperti yang sudah disepakati.

Kita memilih barang yang kita inginkan. Karena terlalu capek berkeliling, kita memesan eskrim dan duduk deh. Ayah enggak mesan, terlalu manis katanya. Dasar ayah gue, padahal kan enak kalau manis.

Gue dan abang gue kembali mengelilingi mall dan meninggalkan ayah dan bunda yang sudah kecapean.

Tapi saat abang gue lagi milih sepatu, pandangan gue beralih ke sosok yang gue kenal. Dan yah, dia adalah kak Macri dengan seorang wanita cantik yang menggandengnya. Gue bisa melihat wajah kusut kak Macri tapi ia tetap mengabulkan keinginan wanita cantik itu. Sangat cantik dan mereka kelihatan cocok. Entah kenapa gue merasa nyeri melihat mereka berdua. Padahal baru semalam kak Macri menyatakan cinta, tapi udah ada yang baru aja. Mana cantik banget lagi. Kelihatan juga kalau kak Macri tulus memandang cewek cantik itu. Dan kenapa juga gue harus merasa sakit? Apalagi sakitnya lebih parah dari yang gue rasain ke kak Nico.

“Ada apa? Kok lho mau nangis? Atau karena gue kelamaan milihnya? Maaf deh, kalau lho bosan?"

“Bukan bang...” akhirnya tangis gue pecah. Padahal udah bersusah payah gue tahan.

Tapi kenapa saat ditanya abang gue, rasanya tuh lebih nyesek. Seakan gue gak bisa memendam lagi.

“Terus kenapa?” abang gue memeluk gue dan mengelus rambut dan punggung gue menenangkan.

Gak peduli sama orang yang liatin. Mau dibilang cengeng juga gue gak peduli. Sekarang gue cuma mau nangis aja.

Melampiaskan semua rasa sakit gue, walaupun tetap sakit. Tapi setidaknya ada rasa nyaman saat gue nangis.

“Loh itu Macri kan? Kok sama cewek? Jangan bilang lho nangis hanya karena itu?”

Gue hanya diam. Suara gue seakan hanya untuk tangis ini saja.

“Lho disini biar gue hajar tuh anak. Beraninya dia, setelah nembak lho malah jalan sama cewek lain!”

“Gak usah. Lagian gue yang tolak dia kok” ucap gue mengeratkan pelukan gue.

“Tapi tetap aja dia kurang ajar. Harusnya dia berusaha bukan malah mencari pelampiasan!”

“Dari mana abang tau kalau dia mencari pelampiasan? Dari tatapan kak Macri juga keliatan tulus banget kok” ucap gue masih membenamkan wajah gue dengan cegukan.

“Karena gue tau banget secinta apa dia sama lho.”

“Ya udah gue mau pulang aja!” Gue menarik tangan abang gue dan kembali ke tempat ayah sama bunda istirahat.

Awalnya ayah dan bunda bingung, bahkan sampai menyalahkan abang gue. Sampai gue bilang kalau gue itu baik-baik saja dan akhirnya kita balik ke rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!