Hari ini adalah hari berikutnya aku pergi kesekolah seperti, biasa. Yang dimana,ini adalah hari ketiga.
Pagi ini sangat cerah. Mungkin hari ini,akan terlalu panas, nanti. Sambil memakai seragam sekolahku.
"Liyan!" Teriak ayahku dari luar kamar.
"Ia,Ayah." Aku pun berlari menghampiri ayahku yang dari tadi berdiri didepan pintu.
Ayahku begitu terlihat rapi hari ini. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku melihat berulang kali.
"Ayah mau kemana sepagi ini?" Sambil menatap kedua mata ayahku.
"Ayah mau kerja seperti biasa, nak! Sebelum kerja ayah mau kerumah teman Ayah dulu, ada acara." Sambil merogo kantong celananya memberikan uang jajan.
"Terima kasih Ayah." Dengan tangan kananku dan menyalam ayahku.
Aku membuka uang yang diberikan oleh ayahku dengan senyum.
Ini uangnya, cukup untuk aku membeli jajan. Berjalan terus, aku lalui tanpa lelah.
"Liyan!" Teriak seseorang dari belakangku.
"Widia."
"Tunggu aku !" Dengan berlari kencang mengejarku.
"Ternyata, aku ketemu juga sama kamu."
Di terik matahari pagi . Kami berdua pun berjalan.Kami yang lagi asyik berjalan sambil tertawa. Dari ujung mata yang begitu tidak jauh. Aku melihat gerbang sekolahku yang terbuka lebar.
Gerbang sekolah sudah kelihatan. Sebentar lagi, kami sampai deh! di sekolah.
Setiba di gerbang sekolah. Temanku Widia berjalan lebih kencang dari ku.
"Widia, kenapa kamu terlalu cepat jalannya?" Langkahku pun begitu cepat untuk mengejarnya.
"Aku lupa Liyan, kalau aku piket hari ini?!" Dengan terburu-buru. Dia pun, tidak menoleh kebelakang.
Hari ini. Pelajaran di kelas pun seperti, biasa di laksanakan.
Sementara, pikiranku ntah, kemana melayang. Mata melihat kearah papan tulis. Tapi pikiran ku berada di kejadian semalam.
Mengingat orang aneh itu! Kalau nanti aku pulang. Dia masih menungguku bagaimana? Wajah cemasku pun terlihat dengan tubuh yang gemetaran.
"Anak-anak ini ada angka 1,2,3...."
Ha!
Sekilas pikiranku teringat dengan uang jajan yang di berikan ayahku tadi.
Coba deh, kulihat. Merogoh kantong, dengan kedua mata masih terus mengarah ke papan tulis.
Ayahku tadi, memberi aku uang jajan berapa, ya? Menoleh kebawah.
Cuman segini! Melihat uang yang tersusun rapi di telapak tanganku.
Ayahku mengasih uang jajan tidak seperti, orang tua temanku yang lain.Mereka biasa dikasih sebesar lima ratus rupiah. Sedangkan aku hanya, dikasih sebesar dua ratus rupiah. Itulah kemampuan ayahku yang aku ketahui. Aku dan ayahku memang saling berkesinambungan. Ayahku memberikan uang jajan segitu nilainya dan hanya akulah yang bisa menerimanya. Makanya seorang anak tidak pernah ke tukar takdirnya dengan orang tuanya.
Auw! Aku terkejut bahuku dipukul pelan.
"Kenapa?" Mengangkat kepalanya sedikit.
"Mm! Engga, apa-apa!" Dengan nada suara pelan dan nafas yang lemas.
Widia menganggukkan kepalanya.
Kami berdua pun, kembali seperti semula. Memperhatikan guru yang menjelaskan di depan kelas.
.
.
.
Bel pulang!
Teng teng teng!
Bel pulang pun berbunyi.
Aku harus cepat pulang. Menyusun buku ke dalam tas dengan secepat mungkin. Aku takut kalau orang aneh itu berdiri lagi ditempat semalam menungguku.
Dengan lari yang kencang aku berteriak.
Widiaaa! Tunggu akuu! Langkah kakiku yang begitu cepat menghampirinya.
"Cepat Liyan." Dia pun berhenti dan menunggu aku.
"Kamu kenapa?" Dengan heran dia bertanya kepadaku kembali.
"Semalam. Aku pulang ada orang yang mau menangkapku."
"Siapa?" Sambil mengarahkan kedua bola matanya menatapku.
"Itu rumahnya, yang dekat tanjakan."
" Dekat tanjakan?!" Sambil mengingat.
Ha! Sambil menganggukkan kepala.
Widia pun mulai penasaran di sepanjang perjalan. Dia terus membahas orang aneh itu. Seakan dia sambil mengingat-ingat tentang orang itu.
"Liyan, atau jangan -jangan orang India itu, ya!"
Dengan penuh keyakinan dia meyakinkan kepadaku.
"Ntah,aku engga tau."
Hening! Seketika kami pun saling menatap satu sama lain.
"Liyan, aku pulang duluan ya. Aku sudah di jemput."
Ditengah kerumunan kendaraan yang lewat.
Aku yang fokus memandang ke arah jalan. Tidak mendengar apa yang di ucapakan Widia kepadaku. Aku masih menganggap Widia masih di sampingku mengajaknya terus berbicara.
"Widia! Nanti, kalau sudah sampai didekat tanjakan. Akan aku tunjuk yang mana orangnya. Itu pun, kalau dia ada diluar. Ntah, pun dia didalam rumahnya, aku gak tau?!" Sambil terus berjalan menatap ke badan jalan.
Seketika, aku menoleh ke samping kanan dan belakang.
Seerrrr!
Jantungku pun seketika, rasanya mau lepas dari tubuhku. Darahku pun, rasanya turun kebawah. Tubuhku lemas tidak berdaya. Wajahku pun seketika, pucat dan keringat dingin. Kedua telapak tanganku terasa seperti, aku baru memegang air es yang begitu dingin.
Jadi, tinggal aku sendiri! Tapi Widia kemana, ya?"
"Mau kemana anak ibu?" Sapa seorang wanita yang usianya tidak jauh tuanya dengan ayahku.
"Mau pulang Bu." Dengan menundukkan kepalaku sedikit sebagai rasa hormat kepadanya.
"Mari ibu antar!" Dia pun tersenyum manis kepadaku dan menggenggam tangan kecilku yang tadi kedinginan seperti es.
"Tapi kan, rumah aku lain Bu." Menatap tajam wajah ibu itu.
"Ia, Ibu tahu. Kamu Singgah dulu ke rumah Ibu. Makan siang dulu sama Ibu nanti baru Ibu antar ke rumah. Mau tidak?" Senyuman hangat di lemparkannya kepadaku.
"Engga!" Dengan hati yang ragu.
"Kenapa kamu engga mau?" tanyanya kembali.
"Kayak mana ini. Nanti ayahku pasti kehilangan sama aku." Dengan wajah panik.
"Tunggu apa lagi ayo!"
Dia pun begitu cepat menyambar tanganku dan menggenggamnya erat-erat. Langkahnya begitu cepat. Tubuh kecilku pun, rasanya seakan terseret. Sesekali aku menyuruhnya untuk berhenti.
"Bu istirahat dulu! berhenti sebentar." Melepaskan genggaman tangannya dengan tangan kiriku.
"Kita berhenti? Engga usah berhenti nak! Biar kita cepat sampai." Dia terus berjalan dan menggenggam tanganku dengan erat.
Tapi rasanya, aku mau berteriak. Meminta pertolongan. Tapi mulutku tidak mau terbuka.
Ternyata, perjalanan kami sudah jauh. Dari bawah tanjakan. Aku melihat ke atas dimana, tempat aku tadi yang bertemu dengannya.
"Ayah!" Keluar dari bibir kecilku.
"Apa, Ayahmu?" berhenti dan melihat ke sana kemari.
Waduh bisa gawat ini. Kalau sampai ayahnya melihatku membawa anak perempuannya yang cantik ini. Bisa-bisa aku?! tidak, tidak, tidak, tidak mungkin! Dia pulang secepat ini?! Di pagi yang menjelang siang. Begitu panas, dia memasang wanti-wanti. Aku harus hati-hati. Sambil melirik ke sana kemari.
Ayahku yang merasa tidak tenang di saat menarik becak, pun seketika, pulang dengan cepat.
"Itu seperti, anak ku?!" Berjalan dan melihat ke arah anak kecil yang di gandeng seorang ibu.
"Tapi, mana mungkin." Berulang kali memikirkan anak kecil itu.
Aku yang engga mau ikut dengannya,berupaya untuk mencari pertolongan di sekeliling aku.
"Ayaaah!" Teriakku dengan keras.
"Apa? Kamu jangan berteriak!" Sambil menutup mulutku kuat dengan, tangannya.
Sepertinya, ada yang memanggilku. Dengan menoleh ke segala arah.
Tapi, dari maaan****. Itu sepertinya, anakku Liyan . Sambil melihat dengan tajam.
Ayahku pun, terus mengikuti kami. Kemana langkah ibu itu membawa aku. Ayahku yang baru pulang mencari nafkah. Dengan baju kaos yang dia pakai. Celana panjang dan balutan topi di kepalanya. Menutupi wajahnya sebagian.
Dia pun, berlari mengejar aku dengan membawa belanjaan di tangannya.
"Hei! Tunggu!" Terus mengejar.
"Ayo! Cepat!" Dia pun terus menarik tanganku berjalan dengan cepat.
"Ayaah!" Nafasku yang semakin sesak.
Dari kejauhan. Aku masih berada bersamanya terus melihat ke belakang. Ayaah! Teriakku di dalam hati sambil melihat ayahku. Air mataku pun terus jatuh membasahi pipi kecilku. Pandanganku pun, kepada ayahku semakin lama semakin mengecil.
Aku hanya bisa berpasrah!
Ayah cepat la!
Sappp!!!
Langsung berhenti!
Berhenti! Dan dia tidak berkutik sedikit pun.
"Mau kau bawa kemana anakku!" Dengan nada suara yang tinggi.
"Aku mau membawa sebentar anak kamu ke rumahku." Dengan suara yang datar dan wajah yang tidak merasa bersalah.
"Bagaimana? Mungkin kau mau membawa anakku. Tidak ada izin dari ku." Dengan emosi yang melonjak tajam.
" Dari kemaren aku sudah meminta anak kamu untukku. Kau tak pernah mengasihnya."
" Apa? Enak aja kau bilang kayak begitu. Bagaimana? Mungkin aku kasih sementara itu anak ku."
"Anak abang kan ada dua perempuan." Dengan santainya dia bicara.
"Apa salahnya aku minta satu. Kan, masih ada satu lagi. Sementara aku****. Dengan wajah sedih melihat ke arahku.
Ayahku pun, tidak mau tinggal diam. Dia pun, menarik tanganku dan melepaskannya dari genggaman ibu itu.
"Ayo! Kita pulang, nak." Tarik ayahku.
"Tunggu!" Teriak wanita itu.
Sambil berjalan dan menghampiri.
"Kasih la dia sama aku biar ada anak kami. Sudah lama sekali aku menikah tidak belum memiliki anak. Aku suka melihat anak kamu yang ini. Dia begitu cantik dan manis." Memandangiku dengan begitu hangat.
"Tidak,tidak mungkin! Aku memberi anakku. Mereka ini adik beradik cuman berdua. Ayahku terus memegang tanganku dengan kuat.
"Maaf kan aku sebelumnya. Tadi, dia memang aku paksa ke rumahku. Dari kemaren aku meminta. Jadi, aku membawa dia secara diam-diam."
Ayahku pun, menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Dengan mata yang begitu mendelik dan hati yang membara ayahku pun, pergi meninggalkannya dan membawaku pulang.
Wanita itu pun, pergi dengan tangan kosong dan wajah sedih serta kecewa.
"Itulah nak. Ayah bilang sama kamu jangan mau di ajak orang yang tidak di kenal." Melihat ke arahku dan mengelus kepalaku dengan lembut.
"Ayah, kemaren ibu itu. Yang menolong aku dari orang gila." AKu lihat ayahku dengan wajahku yang polos.
"Orang gila mana?"ayahku mengerutkan keningnya.
"Itu!" Menunjuk ke atas tanjakan.
" Yang mana?!" Kedua bola mata ayahku pun mengikuti jari telunjukku.
Hening!
Ayahku yang tadi terus menatap tanjakan yang aku tunjuk.
Dia pun terus merangkul aku seakan tidak mau melepaskanku.
Bersambung ya teman 😊🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 394 Episodes
Comments
Dehan
semangat thor
2022-11-25
0
Putri Minwa
semangat terus thor 💪💪💪
2022-10-16
1