Pagi hari yang cerah dengan kesibukan. Aku harus bangun lebih awal setelah ayahku dan ibuku. Setelah melangkah, aku melihat ayah yang lagi sibuk menyiapkan makanan untuk kami. Ayahku begitu berjibaku dengan semua bahan makanan yang tersedia di atas meja.
Aku yang berdiri di belakangnya melihat dengan lekat. Ayahku begitu bersemangat dan senang terlihat dari gurat wajah yang sengaja ku intip dari samping. Seketika wajah polos yang belum sepenuhnya melihat dunia spontan melengkung menarik bibir Kecil.
"Ayah lagi apa?" Tanyaku. Berdiri di belakangnya.
"Lagi memasak sarapan untuk kalian." Jawab ayahku tersenyum. Berdiri.
"Ayahmu kalau sudah memasak dia engga ingat siapa yang lewat," sambung ibuku membawa piring.
Spontan aku melangkah maju menghampiri ayahku. Wajah yang sepenuhnya belum mengisi dunia tertawa berdiri tegak melihat kesibukannya.
"Ayah tidak kerja?" Tanyaku kembali ingin tahu. Melihat meja yang di susun rapi oleh ibuku.
"Ayahmu kalau berangkat kerja. Pasti sudah selesai masak?!" Ibuku membalik mengambil cuci tangan.
"Sebentar lagi." Jawab ayahku dengan suara datar. Melihatku. "Liyan! Kamu tidak mandi? Jangan coba-coba! Mencuci muka saja, ya Nak," timpal ibuku. Diam melihat ke arah 'ku.
" Ia Ibu." Jawabku. Menunduk, pergi menghilang.
"Setelah itu kita makan bersama, ya!" teriak ayahku.
Wajah ayahku begitu manis melihatku dengan sorot mata yang hangat sehingga membuatku senang. Perlahan aku memutar badan melangkah keluar, mengambil sabun dan handuk yang tergantung di dekat pintu dapur.
Dengan kesadaran yang masih menggantung, aku memaksa membuka kedua bola mata dengan lebar dan melihat jalan yang akan di injak.
Udara pagi yang berhembus dingin kini menemani diriku yang beranjak ke kamar mandi.
Perlahan aku masuk dengan langkah yang di atur. Kedua mata yang belum bersahabat dengan alam, melihat lurus ember-ember yang telah penuh berisi air.
Aku kemudian perlahan membasahi pipi dengan air yang telah bercampur dengan embun. Secepat mungkin aku menyiram tubuh mungil dan segera beranjak.
Bersama dingin pagi yang di selimuti embun, aku mengayunkan kaki menaiki rumah. Perlahan aku berjalan dengan sabun dan handuk yang ada di dalam genggaman.
Udara pagi yang dingin membuat perut kecilku menyanyi sehingga membuat konsentrasi pada diriku hilang. Mendengar nyanyian yang mengusik kenyamanan membuat 'ku bergegas melangkah dengan kencang.
Sesampainya di depan pintu dapur, aku meletakkan sabun di tempatnya dan menggantungkan handuk sambil melirik ayah serta ibuku.
"Ayah, sarapannya sudah selesai?" tanyaku. Menggantung handuk.
"Belum Nak," jawab ayahku .
" Apa kamu sudah lapar?" Tanya ibuku.
"Iya, Ibu." Jawabku dengan pelan. Berjalan.
Setelah masuk, aku melangkah dengan perlahan sambil melihat ayahku yang lagi sibuk. Aku melihat ayahku memasak nasi dengan meletakkan wajan ke atas kompor yang menyala.
"Ayah, itu nasinya buat apa?" tanyaku dengan penasaran. Berdiri.
"Ayah mau memasak nasi goreng. Kamu suka kan, Nak?" sambung ayahku dengan melemparkan pertanyaan kembali.
Tanpa menoleh ke arahku.
Aku berdiri tepat di sampingnya melihatnya menaruh sedikit minyak goreng ke dalam wajan. Kompor yang menyala dengan api sedang mulai memanaskan minyak goreng yang ada di dalam wajan.
"Ayah! Apa Ana suka nasi goreng?" tanyaku ingin tahu. Melihat ayahku.
"Liyan! Adikmu itu suka semua. Asalkan dia kenyang," ucap ibuku dengan senyuman yang menggemaskan sambil mencubit kedua pipiku pelan dengan geram.
"Setahu Ayah dia suka," jawab ayahku. Mengambil nasi sambil menaruh bumbu yang telah tersedia.
Ayahku pun mulai memasukkan nasi ke dalam wajan yang telah panas. Aku melihat ia mulai mengaduk nasi yang telah tercampur dengan bumbu. Ayahku begitu lihai terlihat.
"Liyan! Pergi bangunkan Adikmu!" seru ibuku dengan nada suara datar. "Ini sudah jam berapa?" Lanjutnya. Berjalan mengambil mangkok.
"Iya, Ayah," jawabku dengan pelan. Menghilang dari hadapannya.
Perlahan aku memutar badan melangkah menghampiri kamar kami berdua yang terletak paling depan tepat di dekat pintu. Aku pun menyibak tirai yang terpasang rapi menutupi kamar yang kecil.
Aku berjalan dengan perlahan sambil menahan rasa dingin yang menyelimuti tubuh mungil. Aku langsung menghampiri tempat tidur dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya.
Adikku yang begitu pulas tertidur terlihat, mengurungkan niatku sejenak untuk membangunkannya.
Aku menaruh kembali selimut yang aku tarik dari adikku. Aku mengayun kaki untuk naik ke atas tempat tidur, menjatuhkan tubuh dan bersandar di dinding kamar, melihat adikku yang bernapas dengan keras. Udara dingin yang berhembus dari celah kamar membuat tubuh mungilku sedikit menggigil sehingga aku menarik sehelai kain untuk menutupinya.
Aroma nasi goreng yang di masak oleh ayahku menyeruak memasuki pintu kamar dan menembus lubang hidung yang kecil yang membuat rasa lapar kembali mengguncang.
Secepat mungkin aku menepis selimut dan mengayunkan kaki turun.
"Kak!" Panggil adikku pelan dengan suara parau.
Kaki yang telah melangkah terhenti seketika. "Apa dek?" tanyaku dengan pelan. Memutar badan ke belakang.
"Kakak mau ke mana?" tanya adikku ingin tahu. Bangun.
"Mau ke dapur, kakak sudah lapar," ucapku. Melihatnya.
"Kakak mau makan?" tanya adikku kembali. Duduk. "Siapa yang memasak, Kak?" tanyanya dengan menyelidik. Melihatku.
"Ayah," jawabku . Berjalan.
Setelah itu aku melanjutkan langkah kembali menghampiri ayah dan ibuku sambil menghirup aroma nasi goreng yang membuat nafsu makanku menggelitik perut.
Ayahku terlihat telah menghiasi piring kosong dengan nasi goreng yang lezat. Aku pun mengayun kaki dengan kencang meninggalkan adikku di kamar sendiri dan menghampiri ibuku yang meletakkan di atas meja.
"Ibu! Apa nasi gorengnya sudah di makan?" tanyaku. Berdiri.
"Adikmu mana?" tanya ayahku mengalihkan pertanyaanku.
"Masih di kamar,' jawabku. Melihat ibuku.
"Ayah, 'kan sudah bilang! Bangunkan adikmu!" kata ayahku dengan nada suara sedikit kesal.
"Mas, biarkan saja. Mungkin dia masih ngantuk," sambung ibuku meletakkan gelas.
Berjalan menaruh piring ke meja. "Liyan, kamu dengar tidak! Yang Ayah bilang... ," lanjut ayahku yang membuat ibuku menarik napas. "... bangunkan adikmu!" katanya dengan penuh penekanan. Mendelik.
Melihat ayahku mendelik, aku langsung mengurungkan niat dan mundur selangkah ke belakang memutar badan menoleh ke arah ibuku sekilas.
"Dek, bangun! Kata, "Ayah!" Pintaku. Menarik selimut adikku.
"Ia, Kak!" Adikku duduk. "Ngapain?" tanyanya.
"Makan! Ayah sudah marah." Jawabku dengan pelan. Berdiri.
Mendengar jawabanku, dia langsung turun dari tempat tidur berjalan mengikutiku dengan langkah gontai. Dia berjalan menghampiri ayah dan ibuku.
"Ayah memanggil, aku?!" tanya adikku.
"Kenapa kamu lama bangun?" tanya ayahku.
"Mas, sudahlah! Jangan seperti itu! Ini 'kan masih pagi. Kasihan kalau sepagi ini langsung dimarahi." Ibuku langsung mencium kening adikku.
Melihatnya. "Ayah mau berangkat kerja," lanjutnya. Duduk di kursi. "Liyan! Pergi ambil sarapanmu! Tadi kau bilang! Kau lapar, 'kan?" tanya ayahku. Menyeruput teh.
"Iya, Ayah," jawabku. Berjalan mengambil sarapan yang terletak di atas meja.
"Kakak sudah mandi?" tanya adikku. Berdiri di sampingku. "Kenapa Kakak tadi tidak membangunkan aku?" tanyanya dengan protes. Melihat ibuku yang memeluknya.
"Nanti, kalau Kakakmu! Membangunkan mu! Nanti kamu marah, sayang," sambung ibuku. Merapikan rambut adikku.
Mendengar ucapan ibuku, adikku memutar kepala melihatku dengan sorot mata sendu. Wajah sebalnya pun terlihat saat melihat ke arahku. Degan sinis dia beranjak membawa nasi goreng.
Bersambung.....
.
.
.
Cerita selanjutnya, ini ya teman -teman selamat menikmati ceritanya...!
Beri vote,like dan komentarnya ya teman-teman untuk cerita aku!
😊🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 394 Episodes
Comments
TikaPermata
Aku mampir Thor❤️❤️❤️
2023-04-04
1
gulla li
Anna menyebalkan
2022-12-15
1
gulla li
Dingin bgt pasti 🥶🥶🥶
2022-12-15
1