Satu minggu Budi tinggal di rumah mertuanya dengan sikap dingin Yuli istrinya yang tak menunjukan akan adanya tanda-tanda perubahan. Nasihat yang bude sampaikan ke Yuli juga tak mempan, Yuli tetap teguh pendirian seperti batu karang yang tak mudah untuk dipecahkan. Budi tidak nyaman dengan keadaan demikian, belum lagi bisik-bisik dan pandangan sebelah mata warga sekitar.
"Pihak wanitanya tidak mau kok masih ditunggu, apa tidak ada wanita lain di dunia ini selain Yuli? Dasar Yulinya saja yang kemayu, terlalu pilih-pilih. Nanti kalau ditinggal si Budi, baru tau rasa dia! itu orang tuanya saja yang keliru. Orang anaknya tidak suka, kok mereka memaksakan kawinkan anaknya." Pandangan-pandangan miring tetangga akan pernikahan Yuli dan Budi yang tak seia sekata membuat Budi tidak nyaman tinggal di rumah mertuanya. Dengan rasa berat hati, Budi pun memutuskan untuk pamit kembali ke rumahnya. Ibu hanya bisa menangis, derai air mata menetes di pipi saat mendengar Budi pamit. Sementara, bapak hanya bisa menarik napas panjang, tak mampu untuk berkata-kata, akan keputusan Budi yang tiba-tiba. Dengan mata berkaca-kaca, Budi dan bapak begitu berat merelakan perpisahan mereka.
Pagi hari sang surya tersenyum menghibur, Yuli yang baru tiba di rumah merasa aneh dan heran dengan tiadanya sepeda motor King mas Budi yang biasa bersandar di pelataran rumahnya. Tak ada kata dan sapa antara orang tua dan Yuli anaknya, semua saling diam seperti musuh yang baru bertemu. Seharian Yuli tinggal di rumah dengan sikap kikuk, kaku dan seolah serba salah dengan keadaan yang ada.
"Mas Budi mana Bu?" tanya Yuli ragu.
"Mengapa kamu tanya soal mas Budi?" jawab ibu ketus.
"Dia sudah pergi, kembali ke rumahnya." lanjutnya. Yuli tertegun mendengar jawaban dari ibu.
"Mungkin karena sikap ketus ku selama ini hingga membuat mas Budi tak betah lagi tinggal disini?" Batin Yuli tanpa ada tanda penyesalan.
"Mending seperti ini daripada harus ada mas Budi di rumah ini." lanjut batin Yuli. Malam ini Yuli tak lagi menginap di rumah bude, setelah kepergian mas Budi, Yuli pun bisa tenang bermalam di rumah tanpa ada kekhawatiran yang mengganggu.
Tiga hari sudah Yuli bermalam di rumah, tapi rumah yang dulu indah bagai istana kini sepi bagai kuburan. Semua diam, semua bisu. Wajah bapak tampak tegang menahan amarah, asap rokok keretek ke udara membiaskan kegelisahan begitu mendalam. Secangkir kopi di meja dan rokok keretek yang terjepit di tangganya tak mampu menghadapi kegelisahan yang melanda. Berkali-kali bapak menarik napas panjang, pandangannya kosong membocorkan lapisan tanah yang tak bisa berkata-kata. Kembali ia menyeruput kopi hangat di sela hembusan asap rokok yang terbang ke udara.
"Sudah Pak jangan merokok terus, mbok ya sarapan dulu. Orang nasinya sudah dingin kok, ya masih belum dimakan juga." ucap ibu mengingatkan.
"Nanti saja Bu sekalian makan siang, pagi ini Bapak kurang berselera untuk sarapan." sahut bapak.
"Ya begitu itu Pak, kalau pagi-pagi sudah minum kopi, Bapak jadinya tidak selera untuk sarapan." jawab ibu.
Bapak bergegas bangkit dan melangkah untuk berangkat kerja ke pabrik, sementara ibu segera mencantolkan bekal nasi ke sepeda motor Wind milik bapak.
"Bapak berangkat dulu Bu." pamit bapak.
"Ya, hati-hati di jalan Pak." ucap ibu melepas kepergian bapak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments