"Kamu yakin nak, tidak baik menyimpan dendam yang sudah-sudah lagipula Mak sama Abah udah ikhlas, ini sudah takdir Allah," Nasihat Mak terdengar kembali di telinga ku di saat aku menyampaikan rencana keberangkatan ku besok pagi.
Aku mendudukkan diri di sofa kemudian menurunkan Gibran dari gendongan ku. "Gibran, masuk kamar yah nanti Mama nyusul."
Gibran mengangguk kecil kemudian berlari kecil ke dalam kamar meninggalkanku di ruang tamu bersama Abah dan Mak.
"Abah setuju sama Mak kamu, Gea, tidak baik menyimpan dendam, kakak kamu pasti sudah tenang disana."
Aku memejamkan mata sejenak, bagaimana bisa aku melepaskan perasaan dendam ini ketika kakakku sendiri meninggal di pelukanku karena ulah pria itu.
"Abah dan Mak tenang saja, semuanya akan baik-baik saja, Gea janji akan kembali setelah membalaskan semuanya, lagipula ini demi kakak," jelas ku yang membuat Mak dan Abah menghela napas panjang.
Mak dan Abah tahu bagaimana keras kepala dan nekat nya diriku jika sudah membuat keputusan, mungkin hal itu yang membuat mereka tidak mengajukan argumen lagi.
"Abah dan Mak cuma bisa menasihati kamu. Kamu sudah dewasa keputusan ada ditangan kamu, Abah cuma pesan nanti disana kamu harus bisa menjaga diri apalagi kamu membawa Gibran," Abah berdiri kemudian berjalan menuju kamarnya.
Tampak raut wajah kekecewaan disana tapi keputusanku sudah bulat, empat tahun aku menyimpan dendam ini dan semuanya harus tuntas kali ini.
"Mak, Gea mohon doanya yah, ini semua demi kakak."
Mak menatap ku sejenak, raut wajahnya berbeda dengan Abah yang tampak kecewa, Mak malah seperti orang yang sulit ditebak seolah berada di dua sisi, yang satunya ingin yang satunya tidak.
"Apapun itu, Mak cuma bisa mendoakan Nak, semua ada di tangan kamu."
Mak pun berjalan masuk ke kamarnya menyusul Abah meninggalkan ku sendiri dengan berbagai pikiranku, pergi ke desa juga sangat mempertaruhkan karirku sebagai seorang notaris yang tengah naik daun.
Aku memilih berjalan masuk ke kamar ku dan mendapati Gibran tengah duduk sembari memainkan jarinya.
"Gibran?"
"Mama?" Gibran mengangkat wajahnya menatap wajahku. "Mama berantem yah sama Nenek dan Kakek? Gibran nakal yah?"
Aku tersenyum betapa polosnya anak yang tidak tahu bagaimana dia bisa lahir ke dunia ini, aku mengelus kepalanya dan mencium pipinya. "Gak kok sayang-"
"Gibran udah cuci kaki sama gosok gigi?" tanyaku kembali.
Gibran mengangguk.
"Anak pinter, kalau gitu Gibran bobok yah besok kan mau ikut Mama pagi-pagi," jelasku yang membuat Gibran segera mengambil posisi tidur.
Aku memilih berjalan ke kamar mandi setelah memastikan Gibran dalam posisi tidur dan memejamkan matanya.
Kring!
Suara ponselku membuatku meraihnya kemudian mengecek siapa peneleponnya yang ternyata adalah sahabatku ~Enjel.
"Ada apa Njel?" tanyaku saat aku mengangkat telepon.
"Ge, aku sudah melampirkan identitas palsumu dan kepala desa itu mengizinkanmu buat praktek di sana, tampaknya identitas kamu aman karena tidak ada seorang pun yang mengenalmu sebagai seorang Notaris."
Aku tersenyum walaupun tidak bisa dilihat Enjel. "Terimakasih Njel, kau memang bisa ku andalkan, aku akan berangkat besok pagi."
"Aku hanya bisa membantu sampai disini, Gea, apapun keinginan kamu, aku selalu support, kalau begitu aku matikan dulu yah. Suamiku udah pulang kerja soalnya."
"Oke, makasih."
Aku mematikan sambungan telepon tersebut kemudian menatap wajahku sendiri pada cermin wastafel. Aku cukup cantik, dan aku membenci komitmen, garis wajahku yang tegas dengan kulit putih melupakan perpaduan dari Abah yang memiliki darah arab.
Tidak kusangka bahwa dibalik senyumku aku menyimpan banyak dendam didalam hatiku.
•
•
•
TBC
Assalamualaikum
Jangan Lupa Like
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Nila
dendam selalu membawa kesulitan
2023-03-27
0
Kendarsih Keken
wa'alaikumusalam sehat2 Ritdz
2022-09-14
0
@InunAnwar
apakah endingnya akan sesuai dg tujuan awal atau.....????
2022-09-13
0