"Abi! Ayo, Mama udah pengen pulang." panggil Mama Sofi, mengeluarkan kepala dari jendelanya.
"Ah, iya, Ma." jawab Abi. Ia pun segera kembali pada sang Mama. Dita, pulang terlebih dulu karena ada urusan di kantor.
Keduanya tiba dirumah. Mama Sofi masuk, berjalan dengan begitu lemas. Tubuhnya pun Ia hempaskan ke sofanya yang empuk.
"Bu, tadi tetangga kemari. Kasih undangan Aqiqah anaknya." Bik Nik menghampiri sang Nyonya.
"Tentangga, yang mana?" tanya Mama Sofi. Lagi-lagi, tampak tak bersemangat melihat undangan itu.
"Pak Ridwan. Aqiqah anak ketiga," jawab Bik Nik, terus terang.
Mama Sofi hanya menghela nafas malas, meletakkan undangan itu diatas meja tanpa mau membuka dan membaca isinya. Hingga Abi ikut masuk, dan melihat sang mama begitu lemas saat ini.
"Bi, minta Bik Nik aja, makan nya. Mama males. Nafas aja males rasanya." ucap Mama Sofi.
Abi hanya menatapnya, lalu berpindah ke meja menatap undangan itu. Ya, itulah penyebab sang Mama makin malas melakukan apa-apa.
"Ngga usah dateng, kalau males di tanya-tanya."
"Kamu ngga tahu rasanya, Bi." tukas Sang Mama. "Mama sendirian disana. Apalagi, kalau semua membahas cucu masing-masing."
"Mama datang kesana, diundang syukuran, bukan mau adu bakat. Come on, Ma. Jangan baperan, Ma."
"Ih, Kamu!" Mama Sofi menghempaskan bantal sofanya pada sang putra.
Abi pun meringis, dan tersenyum berusaha melebur kekesalan Mama nya itu. Ia tak tahu, harus berbicara bagaimana lagi dengan sang Mama. Pokok bahasan ini, sudah terlalu sering mereka perdebatkan sejak Tiga tahun terakhir.
"Tahun pertama dan tahun kedua, Mama masih mengerti, jika kamu trauma. Tapi, ini sudah Lima tahun, Abi. Apa sama sekali tak bisa, kamu melupakan itu sedikit saja? Kamu juga punya masa depan sendiri. Bahkan Nenek pun sudah mengikhlaskan dan meminta kamu menjalani hidup normalmu. "
" Ma, Abi normal."
"Kalau normal, menikah!" tegasnya. Dan itu juga ratusan kali mereka debatkan selama ini.
"Mama udah tua, Abi. Mama butuh temen, butuh penerus. Siapa, yang bakal ngurusi Mama di hari tua nanti. Apa kamu mau taruh Mama ke panti jompo? Iya?"
"Mama, ah. Jangan bilang gitu." tukas Abi. Untungnya, kali ini sebuah panggilan menyelamatkan nya.
"Ma, Dita manggil. Abi, ke kantor dulu." pamit Abi.
"Kenapa ngga nikahin Dita aja?"
"Mama, jangan mulai, ah. Abi pamit, baik-baik dirumah." kecup Abi, di kening sang Mama.
Mama Sofi hanya menatapnya sedih, merasa lagi-lagi mau nya tak di dengar.
"Begitulah, Abi. Selalu larut dalam masa lalunya." gerutunya kesal.
Abi berjalan dengan begitu berat mengahmpiri mobilnya. Ia tahu, Mama sofi butuh teman bicara. Tapi, Ia juga jengah dengan pembahasan yang sama setiap harinya. Ia hanya ingin menenangkan batin nya, yang selalu kembali perih dengan hal yang sama setiap harinya.
"Ada apa, Dita?"
"Sore ini, anak baru akan datang. Bisa kah, Bapak menyambut mereka? Setidaknya, berikan sebuah perkenalan."
"Ya, saya kesana, sekarang." balas Abi.
Perusahaan tengah mengalami kemajuan pesat. Ia harus menambah banyak karyawan, demi bisa mencapai target tahun ini.
Abi turun dari mobilnya. Berjalan dengan cepat untuk memenuhi panggilannya. Langkahnya terhenti, menatap seorang gadis yang tengah duduk meratapi dirinya. Sepatunya patah, dan kakinya terluka. Tapi, sepertinya Ia sendiri menahan diri untuk menangis.
"Mengkesaaaal! Kenapa harus patah hari ini? Ngga bisa, bertahan seminggu aja lagi. Aarrrgh, baru juga, hari pertama kerja." gerutunya, begitu perih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Borahe 🍉🧡
ya Allah bu jangan dong. kok nafas aja males.
2023-06-10
0
Inayah Rahmadani
lima tahun sudah lama abi
2023-02-27
0
zha syalfa
aku jg baper kl ditanya ttg anak...
jadi begini diriku dari sudut pandang orang lain
🤭
2023-01-29
0