“Udah, jangan nangis lagi. Nanti jadi jelek,” ucap Arkan pada Laras yang berada di dalam pelukannya. Laras yang memang hanya pura-pura menangis, segera menghentikan tangis nya itu.
Dengan bodohnya, Mama Rita dan Maya tidak pergi dari kamar itu. Mereka berdua sibuk berbisik-bisik satu sama lain.
Arkan yang telah melepaskan Laras dari pelukannya, menatap geram pada Mama nya dan juga Maya.
“Mama mau nya apa sih?” Arkan bertanya pada Mama nya. “Arkan gak suka, ya! Mama ganggu Laras, Arkan gak akan pernah memaafkan orang yang udah berani bikin Laras menangis!” tunjuk Arkan pada Mama Rita dan Maya.
“Dan kamu perempuan *******. Jangan coba-coba berani menyentuh Laras, atau akan ku potong jari-jari tangan kamu!”
“Arkan, buka mata kamu! Gadis kampung itu cuman pura-pura, Maya gak jambak rambut dia. Mama dan Maya gak ngapa-ngapain dia, dia itu berbohong,” kata Mama Rita membela diri.
“Hiks.. Mama mu dan perempuan itu kaya ular, licik,” lagi, Laras berbicara. Dalam hati nya sendiri sangat geli, ia ingin tertawa tapi takut dimarahi oleh Arkan karena berani berbohong. Terlebih lagi, ia takut dosa karena telah menertawakan calon mertua sendiri.
Karena kesal, akhirnya Mama Rita dan Maya memilih untuk pergi dari kamar Arkan.
“Mana yang sakit?” tanya Arkan sembari mengusap rambut Laras.
“Sana!” Laras mendorong tubuh Arkan agar sedikit menjauh dari posisinya. “Gak ada yang sakit, kok!”
“Loh, tadi katanya sakit abis di jambak sama mbak lampir,” kata Arkan.
“Udah, kecil doang gak ada apa-apanya. Aku mau bales tadi, tapi aku liat kamu udah di depan pintu,” ucap Laras.
“Sejak kapan kamu berani melawan kayak gini?”
“Sejak dulu,” kata Laras. Gadis itu menatap langit-langit kamar Arkan, ia tampak memikirkan sesuatu.
“Kalo dari dulu, kenapa kamu bisa kabur dan sampe sini? Kenapa kamu gak lawan tante dam sepupu kamu itu?” tanya Arkan.
“Ish, kondisinya beda. Di sini kan ada kamu dan papa yang belain aku, lah di sana cuman Hesti. Hesti juga kan jarang dirumah kalo aku di marahin sama Bibi Yanti dan Kak Anita.” Jelas Laras.
“Oh, jadi pura-pura kuat dan berani karena ada pion nya nih?” Arkan menaik turunkan alisnya.
“Hehehee!” kekeh Laras. “Itu apa?” tunjuk Laras pada paper bag yang di letakan Arkan di pojokan ranjang.
“Baju ganti kamu, apa lagi?”
Laras segera membuka paper bag yang di bawa Arkan. Dan ternyata isinya adalah piyama tidur. “Niat banget! Kapan belinya?” tanya Laras.
“Iya lah, harus niat. Aku belinya kemaren pas kamu lagi sibuk nyobain dress!”
Akhirnya, Laras segera berganti baju dan tidur. Kedua anak manusia itu, lagi-lagi tidur berbagi ranjang. Keduanya tidur saling menunggungi. Laras di bagian paling kanan, dan Arkan bagian paling kiri. Sedangkan selimut ranjang itu, di kuasai oleh Laras seorang diri. Alhasil, Arkan tidur meringkuk di pinggiran tanpa selimut.
Pukul satu malam, Papa Han bangun dari tidurnya. Ia ingin mengecek kamar putranya yang keras kepala itu, ia takut putranya itu berbuat hal di luar batas. Dan jika benar hal itu terjadi, maka ia akan segera menikahkan kedua anak itu.
Ia turun dari ranjang dan meraih kacamatanya. Ia berjalan menuju kamar Arkan, putra semata wayangnya itu.
Sesampainya di depan kamar itu, Papa Han mencoba memutar handle pintu yang ternyata tidak di kunci. Pria setengah paruh baya itu pun menyembulkan sedikit kepalanya.
Papa Han geleng-geleng kepala melihat kedua anak itu, ia tersenyum kecil. Ternyata putranya itu tidak berbohong dan masih bisa menjaga amanahnya.
Ia pun melangkah masuk, ia membuka lemari putranya yang paling pojok. Di ambil nya selimut dari lemari itu dan ia gunakan untuk menyelimuti tubuh putranya. Ia meyempatkan untuk mengusap kepala Arkan dengan pelan. Setelahnya, Papa Han kembali keluar, tak lupa ia menutup pintu kamar itu.
.
.
.
Keesokan harinya, di lain kota.
“Bagaimana? Apa sudah ada kabar?” tanya juragan Karto pada Yanti, bibi dari Laras dan ibu dari Hesti dan Anita.
“Belum juragan, saya juga sudah memaksa Hesti untuk menghubungi nomer anak itu. Tapi tidak pernah aktif!” ujar Yanti.
“Jangan-jangan benar, kecelakaan itu membuat dia mati,” kata juragan Karto. “Berhubung gadis itu sudah gak ada. Jadi setiap bulannya, kamu harus mencicil hutang-hutangmu beserta bunganya.”
“Baik juragan,” kata Yanti.
“Sekarang, kamu boleh pulang!” usir juragan Karto pada Yanti.
Yanti pun, segera meninggalkan warung tempatnya bertemu dengan juragan Karto. Perempuan setengah paruh baya itu segera pulang kerumah nya dengan wajah masam.
Sesampainya di rumah, ia di tegur oleh putri sulungnya, yaitu Anita.
“Ibu dari mana? Kenapa muka ibu keliatan kusut dan kecut banget?” tanya Anita.
“Bahaya kita, karena gak ada kabar dari Laras. Jadi, tiap bulannya kita harus bayar semua hutang-hutang kita sama juragan Karto. Berikut sama bunga-bunganya.” Yanti menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia begitu pusing memikirkan hutang nya yang tidak sedikit itu.
“Ibu kok pusing! Emang berapa sih hutang kita sama juragan Karto?” tanya Anita. Ia tidak pernah tahu berapa jumlah hutang ibunya pada juragan Karto itu.
“135 juta, itu pokoknya belum lagi bunganya,” kata Yanti. “Duh, ibu pusing banget. Ini rumah di gadaikan juga, uangnya gak akan cukup buat Bayat hutang sama juragan Karto.”
Anita melongo mendengar jumlah hutang yang di sebutkan ibunya itu.
“Laras beneran mati apa, ya? Abis kecelakaan itu, dia gak ada kabarnya lagi,” kata Yanti.
“Apa? Laras kecelakaan?!” Hesti yang keluar dari rumah itu terkejut bukan main. Ia baru mengetahui bila Laras mengalami kecelakaan.
Yanti memukul bibirnya dengan pelan, ia lupa bahwa Hesti belum berangkat bekerja. Putri bungsunya itu masih berada di dalam rumah.
“Jawab! Apa bener Laras kecelakaan?” tanya Hesti. Gadis bertubuh mungil itu meninggikan suaranya. “Bu, jawab! Ibu gak bisu kan?”
“Iya, kata anak buah juragan Karto. Laras mengalami kecelakaan saat lari dari kejaran anak buah juragan Karto di terminal,” kata Yanti dengan takut.
“Gila, ini gila! Ibu dan Kak Anita udah bunuh Laras, kalian jahat banget!” Hesti mendorong tubuh ibunya dari hadapannya. Gadis mungil itu menangis, ia begitu tidak percaya dengan apa yang di alami Laras.
Hesti kembali masuk kedalam rumah, ia tidak jadi berangkat bekerja. Ia meminta izin kepada bos nya melalui sambungan telpon, ia mengatakan bahwa ia sedang tidak enak badan.
Gadis itu kembali kedalam kamarnya, ia menangis tak henti-henti. Hesti begitu sedih memikirkan nasip buruk yang menimpa sepupunya.
“Hiks, harusnya aku gak biarkan kamu pergi sendirian ke Jakarta. Harusnya aku temenin kamu, meskipun mati kita bakal mati sama-sama,” kata Hesti sembari memeluk foto dirinya yang sedang bergandengan dengan Laras. Kedua gadis cantik yang berpakaian seragam SMA.
“Huhuhuu.. Kalau udah kayak gini, aku harus gimana? Kuburan kamu aja gak tau dimana?” Hesti terus menangis, hingga matanya memerah dan membengkak.
Di belahan kota itu, Hesti sedang menangissi nasip Laras. Di belahan kota lain, gadis yang di tangisi malah sedang sibuk bertempur dengan peralatan dapur.
“Mbok, tolong bantu Laras buat goreng ini, ya!” tunjuk Laras pada kentang yang sudah ia kupas dan potong-potong kecil.
“Iya, non!” sahut Mbok Nunung dengan cepat.
“Jangan panggil non, mbok. Panggil Laras aja,” kata Laras. Gadis itu berbicara pada Mbok Nunung, tapi kedua tangannya sibuk membersihkan daging ayam yang sudah di potong-potong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Yanti dian Nurhasyanti
yg ditangisi nya lagi happy2 aja😂😂
2022-10-17
0
Ida Lailamajenun
yg ditangisin malah masak dirumah mertua😁😁
2022-09-29
0
@C͜͡R7🍾⃝ᴀͩnᷞnͧiᷠsͣa✰͜͡w⃠࿈⃟ࣧ
yg di tangisin Hesti malah lg masak 😂🤭
2022-07-25
0