"Kenalkan ini Mas Galih, dia anak sahabat almarhum bapak kamu!"
Aku mulai bersalaman dengan lelaki berperawakan tinggi, wajah putih dan tampan.
Ia tersenyum dan sesekali, melirik ke arah Farhan.
"Oh iya, ini anak saya Farhan."
Menyuruh Farhan untuk bersalaman dengan Mas Galih, membuat aku merasa heran, terlihat wajah Farhan dan lelaki yang baru dikenalkan Kak Indah. Begitu sama. Apa hanya kebetulan saja?
Kutepis pikiran yang mengangguku saat ini. Berusaha tidak menyama nyamakan anakku dengan orang lain.
"Oh ya, saya hanya sebentar saja. Soalnya ada urusan penting di kantor. Saya pamit pergi."
Kak Indah tersenyum dan mempersilakan Mas Galih untuk pergi.
Setelah kepergian Mas Galih.
Kak Indah menarik tanganku masuk ke dalam rumah.
"Sini deh."
"Apa sih, kak."
Wanita yang menjadi kakakku, memperlihatkan sebuah berkas atas pemberian sepetak tanah dan juga rumah.
Aku membulatkan kedua mataku dan bertanya?" kak, bukanya serfitikat tanah dan uang dari alamarhum ibu sudah aku simpan. Memangnya ini berkas untuk siapa?"
"Aduh, Ana. Coba kamu lihat nama yang tercantum di berkas ini, siapa?"
"Namaku! Ta-pi?"
"Sudah jangan tapi tapian, ini rezeki kamu dan anak anakmu, kakak turut senang dengan apa yang kamu punya saat ini!"
Kak Indah memelukku dengan sangat erat, wanita yang menjadi kakaku selalu membuat aku nyaman.
Kak Indah melepaskan pelukanya, dan bertanya padaku." Loh, Lulu dan juga Radit ke mana?"
Aku menarik nafas, merasakan rasa sesak di dada, setelah Kak Indah bertanya tentang kedua anakku yang tak ikut serta.
"Sebenarnya ...."
Ada keraguan hati, ingin mengatakan semuanya, tapi apa daya. Bibirku kini keluh, membuat Farhan yang mewakili perkataanku.
"Tante, Mamah pergi karna papah nikah lagi."
"Apa?"
Kedua mata Kak Indah membulat, setelah mendengar pernyataan dari anakku. Kedua tangan yang berada di atas meja ia kepalkan dengan perasaan kesal.
"Kurang ajar, si Raka itu, sudah kere. Bikin ulah, pake acara kawin lagi. Ini enggak bisa di biarkan, harus di beri pelajaran."
Aku berusaha menenangkan kak Indah, membujuknya agar tidak larut dalam kekesalan, "sudah kak. Aku sudah ikhlas."
kak Indah memegang bahuku," Ana. Kenapa dari dulu kamu ini selalu lemah, seharusnya kamu ini melawan, sama lelaki kere itu, apalagi ibu mertuamu. Yang sok paling benar, sedunia."
"Aku sudah berusaha melawan kak, tapi mereka terlalu banyak, sedangkan aku hanya sendiri."
Kak Indah memelukku, hingga tangisan yang berusaha aku tahan tak terbendung lagi.
"Menangislah Ana, jika itu membuatmu lebih baik. Kakak tak habis pikir dengan jalan pikiran mertua dan suamimu."
"Aku juga tak mengerti, kenapa mereka tega seperti itu, padahal aku sudah bersabar selama ini."
"Kakak tahu, kamu ini memang wanita hebat. Hanya lelaki bodoh yang meninggalkan kamu dalam luka dan penghiantan."
"Kak, boleh aku tinggal di sini sementara waktu. Aku ingin menenagkan pikiranku sejenak."
"Tentu saja Ana, rumah ini selalu terbuka untukmu dan juga Farhan."
"Terima kasih, kak."
kak Indah tak berani banyak bertanya padaku, karna aku yang belum sanggup mengatakan semua kesedihan yang aku rasakan saat ini.
Kak Indah merangkul bahuku, mengantarkan ke dalam kamar.
"Kamu istirahat dulu ya, tenangin dulu hati kamu. Nanti kita bahas setelah pikiran kamu benar benar tenang. Oke."
Aku menganggukkan kepala, menuruti apa yang dikatakan Kak Indah. Di mana ia berjalan ke luar dari kamarku.
Di kamar yang sudah lama tak kutempati, membuat aku melihat pada poto masa kecil bersama ibu dan ayah.
Masa bahagia tanpa derita.
Meraih poto dan memeluk erat poto itu," aku rindu ibu dan ayah. Saat hatiku sakit, hanya pelukan ibu yang mampu menenangkan rasa sakit hati ini."
Kini kurebahkan tubuhku di atas kasur, sembari memeluk poto ibu, aku mencoba tenang dan berpikir jika dunia ini adil.
@@@@
Tok .... Tok ....
Suara ketukan pintu membuat aku terbangun dari tidurku, entah berapa lama aku tertidur?
Melihat jam di atas meja, kedua mataku membulat," Ya ampun ternyata sudah jam 12 siang."
Bergegas membuka pintu, Kak Indah sudah berdiri dengan raut wajah kuatirnya.
"De, gimana tidurmu nyeyak?"
Aku memcoba mengukir senyuman dibibir ini, menganggukan kelapa, " Ya kak."
"Ya sudah, sebaiknya kita cepat makan. Kakak sudah masakin makanan untuk kamu dan Farhan."
"Tapi, Ana mandi dulu ya, kak."
"Mm, ya sudah. Kakak tunggu di meja makan, ya."
"Iya kak."
Aku segera bergegas mandi, untuk menyegarkan tubuh, membuang semua rasa lelah dalam benak dan juga badan ini.
"Sejuk sekali."
Setelah selesai, mandi. Aku segera melangkah ke ruang makan, untuk segera mengisi perutku yang memang sudah bebunyi terus menerus.
Namun. Saat melihat ke meja makan, semua tampak utuh, tak ada makanan yang tersentuh, aku mengira kak Indah sudah makan dengan Farhan.
"Dimana kak Indah dan Farhan."
Ahkkk ....
Aku kaget, saat mendengar teriakan yang tiba tiba terdengar begitu saja. Berlari melihat apa yang sudah terjadi.
Saat melihat dibalik jendela dalam rumah.
Ternyata kakakku tengah menghadapi ibu mertuaku yang baru saja datang, dengan mengendong Lulu.
"Lulu anakku, betapa senang aku melihat dia? Tapi Radit ke mana?"
Saat aku mulai menghampiri Kakak dan mertuaku.
"Mana si Ana, anaknya nangis pengen nyusu, dasar mantu tak tahu diri, dia pergi meninggalkan anak anaknya yang masih kecil." Cecar Ibu pada Kak Indah.
"Maksud ibu apa? Bukanya anak ibu si Raka kere itu yang sudah membuat adik saya sakit hati, hingga pergi dari rumah?" Hardik Kak Indah melawan perkataan mertuaku.
Aku tak menyangka, Kak Indah nekad membalas ucapan orang tua, yang tak lain ialah mertuaku.
Yang aku rasakan saat ini tak tahan mendengar tangisan Lulu, yang membuat aku ingin merangkulnya dan menyusuinya saat itu juga. Ingin kupeluk anak bungsuku dengan kasih sayang sepenuhnya.
Namun apa daya kaki dan hati ini berusaha egois agar wanita tua itu menyadari kesalahnya.
"Lulu, maafkan mamah sayang, mamah enggak bermaksud membuat kamu terus menangis."
Tangisan Lulu semakin kencang, membuat hatiku hancur.
"Ana, Ana. Di mana kamu, ini anak kamu nangis terus," TeriaK Ibu.
Kak Indah, mulai berusaha mengambil Lulu dari tangan mertuaku.
"Ngapain sih bu, teriak teriak, lebih baik sini anaknya. Biar saya saja yang urus, punya nenek tapi tak punya perasaan, egois." Cetus Kak Indah.
"Apa kamu bilang, jaga tuh mulut, enggak sopan sekali. Adik sama kakak sama sama enggak punya etika." Hardik Ibu mertuaku, seakan tak ingin kalah berdebat dengan kakakku.
"Cepat panggil si Ana ke sini, masa dia tega biarin anak kelaparan pengen nyusu." pekik ibu mertuaku.
Apa yang harus aku lakukan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Nora Afilla
bingung y gak harus gimana dan di gimanain tuh mertua.
buat mati aja Thor tanpa menyentuh..
2022-07-16
1
Nina Ribeiro de Deus
up lagi donk... penasaran nich...
2022-07-16
0
тαуσηg
lagi upnya ka dauble kurang banyak partnya👉👈
2022-07-16
0