Pagi Hari ...
Seperti biasa, aku menjalankan rutinitas setiap hari, yaitu mencuci baju. Membereskan rumah, membuatkan sarapan.
Akan tetapi, Saat tengah mencuci pakaian seragam anak sekolahku, seseorang tengah melempar baju ke padaku.
Aku mulai menatap ke arah orang yang sengaja meleparkan baju kepadaku, saat kulihat. Ternyata wanita itu, istri ke dua Mas Raka. Ajeng.
"Maksud kamu apa? Melempar baju kotor ke arah wajahku."
Tak segan segan aku memarahi wanita yang ada di hadapanku saat ini.
Wanita itu menatap tajam ke arah wajahku, dengan menyunggingkan bibir atasnya ke kiri." Aku suruh kamu cuci ini, okay. please deh, Don't pretend to have self-respect."
Wanita alot itu, mulai mengeluarkan bahasa kebule buleannya lagi, entah apa arti dari perkataanya. Aku dengan lancangnya langsung melemparkan pakaian kotor pada wajahnya.
"cuci saja sendiri," teriakku lantang.
"Alah, babu." cecarnya sembari melipatkan kedua tangan. Seakan dia menjadi seorang bos di rumah ini.
"Enak ajah, mulut tuh jaga ya, jangan asal ngomong," pekikku. Menunjuk hidung mancungnya, yang mungkin itu dari hasil oplosan.
Dia malah tertawa terbahak-bahak. Mendengar perkataanku.
" Halo, enggak bersyukur banget deh. Kamu bisa makan dari siapa? kalau bukan dari saya," ucapnya menyombongkan diri dihadapanku.
Istri Mas Raka ini begitu sombong baru punya kekayaan segitu ajah sudah sok.
"Sombong, belagu," sindirku.
"Apa kata kamu, don't just say it" tiba-tiba tanganya memegang gulungan rambutku.
"Aw sakit," teriakku meringis kesakitan.
"Sakit ya, ini belum seberapa. Setelah aku menyingkirkan wanita buluk sepertimu. Do you understand," ucap Ajeng. Semakin erat mencengkram gulungan rambutku.
Mendengar kata kata buluk itu, membuat aku membalikkan badan ke arahnya. Segera kutarik rambut panjangnya yang terurai lembut indah. Seketika tangan ini bergerak begitu saja, membanting wanita gila itu.
Dia tersungkur jatuh, rasain emang enak.
Berkacak pinggang, melihat wanita itu meringis kesakitan.
Hanya saja aku tak menyadari kedatangan Mas Raka, hingga ia melihat istri keduanya meringis kesakitan
"kamu Ana, kenapa kamu buat Ajeng jatuh. Harusnya kamu baik sama Ajeng, siapa lagi kalau bukan dia yang membiayai kita. Kamu harus ingat kamu hanya anak yatim yang aku pungut," hardik Mas Raka membuat suasana menjadi hening seketika.
Aku pergi dari pencucian baju, berlari menuju pintu kamar.
Mas Raka dengan lancangnya berkata seperti aku ini adalah sampah yang ia pungut dan bersihkan.
Dan sekarang Mas Raka seakan membuangku begitu saja. Seperti aku ini tidak berguna di matanya.
*********
Kulihat Lulu tengah tertidur nyeyak, membuat langkah kaki ini mendekat ke arah anak ketigaku ini.
Dia juga seorang wanita kecil, yang harus aku jaga dari lelaki lelaki tidak tahu diri seperti ayahnya.
Suara langkah kaki terdenger, aku mulai menguping Ajeng dan Mas Raka yang duduk di ruang tamu.
"Sayang, apa yang sakit? Biar aku obatin lukamu sekarang."
"Okay. Tapi pelan pelan ya, This hurts so bad. My husband!"
"Ya, aku tahu, jadi kamu tenang dulu ya sayangku."
"Aw. Sakit."
Suara teriakan wanita itu membuat aku ingin mencabik cabik bibirnya yang kecil itu, rasanya ingin kuhempaskan dia sekarang juga.
Tapi apa daya aku terlalu lemah, tanpa penguat, aku harus kuat, walau menyakitkan. Hingga di mana aku akan pergi dan menemukan kebagian kembali.
"Yang ini sakit?"
"Yes, it hurts so much, I can't stand this pain. Ini semua salah wanita buluk itu."
Aku mendengar beberapa kali, dia menyebutku wanita buluk, membuat aku berjalan menghampiri cermin yang tak jauh dari ranjang tempat tidur.
Memegang pipi, apa sebegitu buluknya aku, sampai dia berani seperti itu. Mana sempat merawat wajahku, karna aku mempunyai banyak pekerjaan di rumah ibu, belum mengurus si kecil, membuat aku lupa akan kecantikanku.
"Ana, kamu wanita malas. Kenapa enggak buatkan sarapan buat kita semua," teriakan ibu megeming di telingaku.
Baru kali ini mendengar ibu marah marah seperti itu, padahal ibu selalu diam jika aku tak sempat membuatkan makanan untuk seisi rumah.
Segera aku ke luar kamar sembari menimang Lulu.
Lulu langsung menangis setelah mendengar teriakan ibu.
Aku yang kesal dengan keromantisan mereka dengan lancangnya berucap." Kenapa ibu nyuruh Ana, bukanya sudah ada istri baru. Ana kan repot di rumah ngurus Lulu, belum pekerjaan rumah. Rasanya tak adil jika ibu tak memberikan pekerjaan rumah sebagian pada istri Mas Raka yang Alot itu."
Ajeng berjalan dengan membukukan badan, ia menahan sakit pada pinggangnya, dengan kedua tangan.
"Jaga, ucapan kamu ya, dasar wanita buluk,"
Ibu terlihat kuatir melihat Ajeng berjalan seperti nenek nenek, wanita tua itu langsung bertanya.
"Ajeng, kamu kenapa?"
"Semua karna ulah wanita buluk itu, bu. I don't like the woman who is Mas Raka's wife!"
"Kamu. Ana, berani beraninya."
Tangan ibu hampir saja melayang pada pipi kiriku, sedangkan aku berusaha membeli peluang untuk ibu menamparku sepuasnya.
"Tampar bu. kenapa gak langsung tampar saja Ana, ayo."
"Harusnya kamu sadar diri sudah numpang, pengen enak sendiri." Cecar Ibu.
Mereka meninggalkanku, berdua dengan Lulu, begitu pun Mas Raka, ada mimik wajah kecewa dari dirinya. Akan tetapi aku tidak menyesal atas perlawanan yang aku buat.
Setelah menyusui Lulu, aku bergegas membawa Lulu untuk membeli sayuran yang tak jauh dari rumah ibu.
"Ana," panggil Mas Raka padaku.
Aku menghampiri lelaki yang menjadi suamiku itu," ada apa, mas?"
"Ini," ucap Mas Raka menyodorkan lembaran uang untuk berbelaja.
"Tak usah mas, aku masih punya harga diri. Aku tidak butuh uang itu," tolakku pada Mas Raka.
"Memangnya kamu punya uang?" tanya Mas Raka.
"Sudahlah Mas, tak perlu kamu menanyakan aku punya uang atau tidak, yang aku butuhkan saat ini harga diri aku sebagai seorang wanita dan seorang istri.
Mas Raka terdiam, terlihat wajah penyesalan yang ia tampilkan dihadapanku, membuat aku hanya bisa melewati tubuhnya yang berdiri kaku.
******
Berjalan berniat membeli sayuran.
Ah, ternyata ada ibu-ibu tukang gosip.
kenapa mereka selalu ada? Membuat cuaca panas terasa pada badan ini, rongga mulut pun terasa semakin mengering. Membuat aku harus menyiapkan kedua pasang telinga, dimana sebuah sindiran dilayangkan dari mulut mereka. Yang sepertinya akan siap menerbangkan badai angin pada tubuhku ini.
Saat memilih milih sayuran, untuk kumasak.
"Eh, Ana. Kamu mau ajah di madu," sindir Bu Nunik di depan wajahku.
Perkataan Bu Nunik, membuat aku dengan beraninya berucap," enggak salah tuh ibu ngomong gitu? Bukanya suami ibu juga beristri dua?"
"Ibu juga padahal sama ajah kenapa mau di madu," ucap Bu Sumyati yang ternyata membelaku.
Terlihat sayuran yang ia pegang terjatuh dari tanganya, entah kenapa? Mungkin dia kaget karna aku mulai membantah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Jingga Mentari Senja
lanjut
2022-08-13
0
Siti Umayah
pergi aja ana udah dapat warisan juga, uangnya buat modal usaha aja,,
2022-07-12
0