Setelah memberi ayam goreng untuk anak-anakku, teringat dengan Lulu. Untuk memberi obat pada dia saat ini juga.
Terdengar obrolan ibu yang mengadu ke bapak. Emh, ibu menyebut namaku lagi. Dan terdengar jelas perkataan ibu.
Membuat hatiku sedikit teriris sakit.
Kalau saja ibu kesal kenapa tak langsung bicarakan kepadaku. Malah mengadu pada bapak mertua.
kulihat pintu terbuka, aku hanya bisa mengintip pada sela pintu yang sedikit terbuka.
"Bapak tahu enggak, si Ana, menantu kita. Anak demam langsung bawa ke rumah sakit, apa-apa ke rumah sakit. Kaya banyak uang saja," ucap ibu. matanya menatap ke arah bapak. Aku melihat bapak seakan mengabaikan omongan ibu.
"Ibu dulu kalau anak sakit, tinggal beli saja obat warung. Gak perlu mahal-mahal di bawa ke rumah sakit," ibu terus saja mengoceh di depan bapak.
Terlihat bapak hanya mengeleng gelengkan kepala, sesekali memijit jidanya karna mendengar omelan sang istri.
Sedangkan aku yang mendengar omelan ibu, hanya terpaku diam, seperti patung yang berdiri hampir roboh. Sakit sangat sakit.
"Ya, biarin toh, duit dia sendiri." jawab bapak menatap ke arah jendela. Seakan tak mau berdebad dengan ibu.
"Alah. Bapak, ini ibu ngomong cuman jawabnya gitu aja. Harusnya dia sadar diri, sudah tahu numpang, banyak tingkah," cetus ibu, mebenarkan ucapanya yang tak mau kalah dengan bapak.
Memegang dada ada rasa luka di sini.
"Justru kita harus bersyukur, Ana sedikit membantu pekerjaan ibu." Bapak sedikit membela aku. Bapak mertua memang selalu ramah semenjak aku datang dari rumah ini. Tidak ada wajah ketidak sukaanya, tapi berbeda dengan ibu yang terkesan jutek.
Aku terus mengintip di depan pintu apa yang ibu omongin saja sama bapak.
"Tetep saja makan kan dari ibu, dan anaknya kan ada tiga. PEMBOROSAN," perkataan mertuaku seakan tak suka dengan aku dan anak-anakku.
"Bukanya Ana juga membantu, dari beli sayuranya. Farhan, Radit dan Lulu. Bukanya cucu kita juga kan," jawaban bapak. Sedikit membantah apa yang di bicarakan ibu.
Terlihat bapak seakan lelah menanggapi ucapan ibu yang tiada henti lurus tak ada belok belok sama sekali.
"Ah, susah kalau ngomong sama bapak, mending ngobrol sama tetangga. Lebih tahu apa yang di rasakan ibu," gerutu ibu. Melipatkan kedua tanganya.
Pada pintu yang terbuka sedikit. Aku melihat bapak hanya menggeleng-geleng kepala, dan beranjak pergi dari tempat duduknya.
Setelah membuka pintu bapak tertohok kaget, melihat aku sudah ada di abang pintu. Aku hanya terseyum merekah, merasakan perih di dada.
"An, sejak kapan kamu ada di sini?" tanya lelaki tua itu, aku hanya menunduk pandangan menahan air mata yang takut bapak lihat. Walau sebenarnya air mata sudah tak terbendung lagi.
"Maaf pak, baru saja." ucapku lirih, menutupi semua rasa sesak di dada. Mendengar ucapan ibu, yang selalu diam jika aku bertanya. Atau pun berhadapan denganya.
Seketika ibu ke luar mendengar obrolan aku dan bapak.
"Maaf bu. Ana mau ngasih obat sama Lulu," Aku menunjukan tentengan keresek kecil, yang berisikan obat untuk si bungsu Lulu.
"Lulu tidur, di kamar ibu." jawab ibu sedikit ketus, sembari melipatkan kedua tanganya.
"Ya sudah, nanti kalau bangun tolong kasih tahu ya." Ku tatap raut wajah ibu, yang tak menatap kearah wajahku sama sekali.
Apa sebegitu bencinya ibu kepadaku.
"Iyah." Hanya kata-kata itu yang selalu terlontar dari mulut ibu. Tidak ada kata kata istimewa untukku saat tinggal di rumah ibu.
"Ya sudah, Keluyuran aja kerjanya." ucap pelan ibu. Membuka pintu kamar dan menutupnya kembali.
Walau ucapan itu pelan, tapi sungguh menyakitkan sekali.
Saat itu aku langsung berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"An."
Bapak memanggil di saat aku berjalan dalam tangisan, padahal aku ingin menjadi wanita kuat. Tapi hati ini menunjukkan kelemahanya.
Bukanya dibuku novel sering ada cerita seperti ini, kuat tidak lemah. Tegar dan tidak bodoh, tapi aku.
Ahk, sudahlah. Aku tidak sama dengan wanita wanita di dunia itu.
"An."
Bapak memanggil namaku kembali, segera mungkin kusapuh air mata ini, agar bapak tak melihat kesedihan yang teriris dalam hati ini.
Mencoba membalikkan badan, melihat bapak menghampiriku.
Ada wajah merasa bersalah, bapak menenangkan pikiran yang kacau ini.
"Jangan kamu masukan ke hati, apa yang kamu dengar dari mulut ibumu, ya. An, emang ibumu kaya gitu," ucap bapak.
Aku kini tersenyum dalam kesedihan yang menjelma pada lubuk hatiku," ya pak. Ana tahu kok."
"Ya sudah, bapak ke ladang dulu, mungpung cuacanya enggak terlalu panas," balas bapak. Lelaki tua yang menjadi ayah dari suamiku.
"Iya pak, mau Ana bikinin bekal enggak pak?" tanyaku pada bapak yang bergegas berjalan pergi ke luar lumah.
"Tak usah An." Teriak bapak. Yang ternyata sudah tak nampak batang hidungnya.
Kesal, sedih bercampur aduk pada hati lemah ini.
Ibu seakan mengabaikan kedatanganku.
Kenapa ibu berkata sedemikian, padahal aku ingin yang terbaik untuk anak-anakku. Apa aku salah sudah membawa anakku yang demam tinggi ke rumah sakit?
Bukanya itu yang harus di lakukan seorang ibu, kenapa ibu mertua malah menyepelekan semua itu? Ahk, aku berusaha melupakan semuanya. Tapi selalu terbesit dalam pikiranku ucapan ibu yang sangat menyakitkan.
Aku segera bergegas ke dapur memasak ayam goreng untuk makan siang.
Kasian Farhan dan Radit, dari pagi belum makan. Kayanya bapak juga belum makan. Masa ibu cuman nyediain garam saja di meja.
Sesak rasanya, kemana Mas Raka sudah 2 hari dia tak pulang-pulang. Aku berusaha berpikir hal yang benar benar membuat diriku tak berburuk sangka pada Mas Raka, bagaimana pun seorang suami berangkat kerja pasti untuk anak dan istrinya.
Walau sebenarnya aku sudah jengah dan lelah tinggal seatap dengan mertua,
"Mas kamu kemana, aku kangen. Kalau enggak ada kamu, hatiku benar benar rapuh. Tidak ada pelipur lara hati ini."
Menarik nafas pelan mengeluarkan masih terasa sesak sekali.
Tak enak hati rasanya, seperti ini.
Masih untung aku punya tabungan untuk bekal di sini, semua karna almarhum ibu.
Dia selalu menyimpan simpanan uang untukku kalau aku lagi kepepet gak megang uang.
"Mah, udah belum masaknya. Kami lapar." Rengekan anakku membuyarkan lamunan, membuat aku beristigpar beberapa kali.
"Iya nak, sabar ya. Ibu lagi goreng ayam kok, kalian tenang ya," ucapku sedikit berteriak, menenangkan rasa lapar pada perut anak anakku.
Walau sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama seperti yang di rasakan anak anakku saat ini, lelah letih dan lapar. Semua bercampur aduk menjadi satu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Mam Lilu
hadir aku
2022-07-11
0