Dendam Mafia Berdarah Dingin.
Di sebuah daerah pesisir kepulauan Riau sedang hujan deras, gemuruh bersahutan menggelegar di atas langit malam yang gelap. Suasana mencekam tengah meliputi sebuah rumah sederhana yang berada cukup jauh dari keramaian, beberapa orang pria berpakaian hitam dan berbadan besar sedang menghajar lelaki bernama Darlan Piliang atas perintah Bos mereka, membuat lelaki berdarah Minang itu akhirnya terkapar tak berdaya dengan wajah penuh darah.
Sementara itu di bawah kolong tempat tidur, seorang anak berumur delapan tahun sedang bersembunyi dengan takut, dia menangis sambil menutup mulutnya. Di tak tahu apa yang terjadi, dia hanya melihat beberapa pasang kaki menendang dan menginjak tubuh ayahnya yang sudah tidak berdaya, lalu sepasang kaki lagi melangkah sambil membawa sebuah pedang panjang dengan motif naga di pangkalnya, pedang itu berkilau kala terpantul cahaya lampu.
Bocah laki-laki yang disapa Deka itu tak dapat melihat wajah mereka, dia hanya melihat kaki-kaki yang berdiri di dekat sang ayah dengan tubuh bergetar hebat.
Lelaki yang menenteng pedang itu setengah menunduk lalu berkata pelan namun dingin di telinga Darlan, "Andai saja kau tidak keras kepala, ini tidak akan terjadi."
"Aku lebih baik mati daripada menyerah," ucap Darlan terbata-bata.
Lelaki itu tertawa, namun matanya jelas menyiratkan kemarahan, "Baiklah, kalau begitu aku akan mengabulkan permintaanmu."
Lelaki itu menegakkan badannya dan menyeringai, "Selamat jalan."
Dengan gerakan cepat dia menarik pedangnya ke atas, Deka bahkan bisa melihat kilat pedang itu, lalu menghunuskan nya ke dada kiri Darlan.
Darah segar sontak mengalir membasahi baju Darlan dan lantai, dia terkapar sekarat, matanya menatap ke arah bawah ranjang dengan pilu. Dia ingin melihat putranya untuk terakhir kali sebelum akhirnya pergi untuk selamanya.
Deka langsung memejamkan matanya, dia tak berani lagi memandang sang ayah yang tewas dengan mata terbuka. Dia ingin berteriak dan menangis, tapi dia takut orang-orang yang menyakiti sang ayah juga menyakitinya. Lagipula dia sudah berjanji pada ayahnya, apa pun yang terjadi, dia harus tetap bersembunyi.
"Dia sudah mati, ayo pergi dari sini!" pinta lelaki itu pada anak buahnya sambil melenggang pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Orang-orang itu pergi meninggalkan jasad Darlan yang bersimbah darah.
Hujan kian deras mengguyur bumi, seolah merasakan duka yang tengah Deka rasakan. Dia masih terisak di bawah kolong ranjang, tak berani keluar sama sekali.
"Ayah," ucap Deka pelan, tubuhnya berguncang karena menangis.
Hingga beberapa saat kemudian orang-orang mulai berdatangan, suasana kembali gaduh dan penuh dengan desas-desus. Rupanya polisi dan beberapa warga telah memenuhi rumah sederhana Darlan, entah dari mana mereka mengetahui kejadian pembantaian ini.
Lalu sebuah tangan terulur ke bawah kolong tempat tidur, membuat Deka berengsut dan ketakutan.
"Mari keluar! Kamu sudah aman sekarang," Seorang lelaki seumuran Darlan berusaha membujuk bocah itu untuk keluar, dialah Rakis Tanjung.
Deka tetap bergeming di bawah tempat tidur.
"Jangan takut, Paman ini teman ayah kamu," Rakis mencoba meyakinkan.
Dengan sedikit ragu, Deka merangkak maju dan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Dia menoleh ke arah jasad sang ayah yang telah ditutupi oleh kain, hatinya sakit dan sedih.
Rakis yang merasa iba dan perihatin langsung memeluk bocah itu dan membawanya pergi.
Beberapa saat kemudian, kematian Darlan Piliang diberitakan di mana-mana, namun judulnya membuat orang lain mensyukuri kepergiannya.
"BANDAR BESAR NARKOBA MATI DIBUNUH."
Dan karena berita yang tak tahu bersumber dari mana itu, orang-orang yang mengenal Deka juga ayahnya jadi mencibir serta mengutuk mereka, padahal bocah kecil itu tidak tahu apa-apa. Bahkan kerabat dan saudara mereka juga menjauhi Deka.
***
Seminggu sudah kejadian pembantaian itu terjadi, Rakis membawa Deka ke rumahnya. Sejak kematian sang ayah, bocah malang itu selalu saja murung dan melamun, dia tak banyak bicara apalagi bermain.
Seperti saat ini, Deka hanya duduk sambil menatap kosong ke arah anak-anak seusianya yang sedang bermain bola di halaman rumah Rakis, dia sama sekali tak berniat untuk bergabung. Padahal dulu Deka anak yang ceria dan hobi bermain, tapi sekarang dia jadi pendiam.
Rakis yang melihat Deka, berjalan mendekati bocah itu lalu duduk di sampingnya.
"Kamu tidak ikut bermain bersama anak-anak lain?" tanya Rakis.
Deka menggeleng pelan, "Tidak."
"Kenapa? Apa Dani tidak mengajakmu bermain?"
"Dia sudah mengajakku, tapi aku tidak mau," jawab Deka.
Rakis mengernyit heran, "Kenapa tidak mau?"
Deka tertunduk sedih, air matanya dengan cepat jatuh menetes, "Aku rindu Ayah."
Rakis mengembuskan napas berat, dia juga merasa sedih sekaligus iba. Dia memeluk tubuh kurus Deka dan mengusap kepalanya.
"Jangan bersedih lagi, ada Paman di sini,"
Rakis menatap langit dengan mata berkaca-kaca dan hati yang pilu.
"Maafkan aku, Lan. Aku berjanji akan menjaga putramu," batin Rakis.
Cukup lama Rakis mendekap tubuh kecil Deka, membiarkan bocah malang itu menangis dan menumpahkan rasa sedihnya. Hingga sebuah suara mengangetkan keduanya.
"Rakis!" Seorang pria keturunan Tiongkok sudah berdiri tak jauh dari mereka bersama empat orang bodyguard nya yang berpakaian serba hitam.
Rakis yang terkejut langsung mengurai pelukannya dan berdiri memberi hormat, "Selamat sore, Bos!"
Pria bernama Victor Chen itu tak menjawab sapaan Rakis, dia berjalan mendekati mereka sambil menatap Deka yang bersembunyi di belakang kaki Rakis sebab merasa takut, dia masih trauma melihat orang asing.
"Jadi ini putranya Darlan?" tanya Victor memastikan.
Rakis mengangguk gugup, "I-ya, Bos."
Victor berjongkok lalu mengulurkan tangannya ke arah Deka, "Hai, siapa nama kamu?"
Deka mengintip dari balik kaki Rakis, dia tak menjawab.
Victor tersenyum penuh arti, "Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu."
Rakis menarik Deka agar keluar dari persembunyiannya, lalu memegang pundak bocah itu. Kini Deka dan Victor sudah berhadapan.
"Nama kamu siapa?" Victor mengulang pertanyaannya.
"Pandeka Langit," jawab Deka pelan.
Senyum Victor semakin lebar, "Nama yang bagus."
"Ayahku yang memberikan nama itu," terang Deka.
"Ayahmu benar-benar pintar memilihkan nama untuk putranya," puji Victor.
Rakis hanya bergeming dengan perasaan campur aduk, dia tak tahu dari mana Bos besarnya itu tahu jika putra Darlan ada bersamanya.
"Kamu mau ikut denganku?" tanya Victor. "Aku jamin kau akan hidup enak nanti."
Deka tak menjawab, dia memandangi Rakis yang berdiri di belakangnya.
Victor juga ikut menatap anak buahnya itu dengan tajam, membuat Rakis merasa takut. Dengan berat hati, Rakis pun mengangguk pelan.
"Jangan khawatir, aku ini juga teman ayahmu. Bukan begitu, Rakis?" ujar Victor seolah-olah mengerti dengan keraguan Deka.
Sekali lagi Rakis mengangguk.
Deka kembali menatap Victor, "Tapi aku mau tinggal bersama Paman Rakis saja."
Victor yang mulai kesal berdiri dan merapikan pakaiannya, lalu kembali menatap Rakis dengan tajam.
Rakis kemudian berjongkok dan memegang kedua pundak Deka, "Ikutlah dengan Paman ini! Nanti kita masih bisa bertemu lagi, kok."
"Tapi, Paman?"
"Ayolah, Deka! Ini demi kebaikanmu dan semua orang. Paman mohon!" bujuk Rakis.
Wajah Deka berubah sendu," Baiklah, Paman."
Victor kembali tersenyum senang, "Kalau begitu, mari kita pergi!"
Deka mengangguk patuh dan ikut pergi bersama Victor, Rakis hanya memandangi bocah itu dengan perasaan sedih dan khawatir. Tapi dia tak ada pilihan lagi, selain pasrah.
Dari kejauhan Dani yang tak lain adalah putra Rakis berlari mendekati sang ayah, "Dia mau ke mana, Yah?"
"Dia akan tinggal dengan bos Ayah," jawab Rakis.
"Kenapa dia tidak tinggal di sini saja?" cecar Dani.
"Dia akan lebih baik jika tinggal bersama mereka."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Erni Cahaya Nst
lanjut thor and smangaat
2023-01-24
1
aku mampir thooorr .... kelihatannya menarik ....
2022-10-25
2
Enisensi Klara
Kasihan Deka ,jangan2 si Victor jahara itu ,ntar deka dididik jadi penjahat
2022-07-09
1