Chapter 12

"Kanaya, apa kau yakin sudah sembuh? Jika belum, aku akan memberitahu Om Bardy dan Tante Shafira agar datang ke sini menemuimu," Maura memastikan kondisi Kanaya.

"Maura, apa tadi kau tidak dengar apa kata dokter? Aku sudah boleh pulang. Dan sebaiknya, kau tutup mulut saja mengenai hal ini. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir." tutur Kanaya.

Pakaian pasien yang sebelumnya ia kenakan telah terganti dengan seragam sekolah yang kemarin dirinya pakai sewaktu dibawa kemari. Hal itu ia lakukan agar orang tuanya tidak curiga.

Kanaya sangat tidak sabar untuk bertemu dengan orang tuanya. Ya, walaupun mereka hanya akan tinggal beberapa hari, kemudian akan pergi bekerja lagi. Jadi, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Sebagian besar bisnis orang tuanya ada di London. Jadi, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sana untuk bekerja.

Kenzo dan Kanaya pernah sesekali meminta untuk berlibur ke sana di musim liburan sekolahnya agar mereka bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama, namun orang tuanya tidak mengizinkan. Entah apa alasannya.

Itu juga menjadi salah satu pemicu kekesalan Kenzo kepada orang tuanya. Ketika anak-anaknya ingin dekat dengan mereka, mereka malah tidak mengizinkannya tanpa alasan yang jelas.

"Nay, taksinya sudah ada di depan. Kau sudah siap?" tanya Maura setelah mendapat notifikasi dari driver taksi online yang ia pesan.

"Sangat siap!" sahut Kanaya dengan antusias.

Mereka pun langsung saja keluar dari gedung rumas sakit itu karena semua administrasi sudah diselesaikan dari awal.

"Kau sudah memberitahu Kak Kenzo 'kan?" tanya Kanaya, memastikan.

Kini, mereka sudah berada di dalam taksi.

"Sudah, Nay. Tenang saja. Aku juga menyampaikan permintaanmu untuk tidak memberitahu Om dan Tante bahwa kau masuk rumah sakit." jelas Maura.

"Terima kasih, Maura!" Kanaya memeluk sahabatnya itu dengan erat.

"Ya, ya, ya, ini bukan masalah besar. Kau jangan terlalu lebay!" Maura mendorong tubuh Kanaya menjauh darinya.

Sebetulnya Maura sangat ingin memberitahu orang tua Kanaya mengenai kejadian ini. Bahkan, bibirnya gatal ingin menceritakan masalah Kanaya di sekolah kepada keluarganya. Namun, ia juga belum siap jika Kanaya akan marah kepadanya. Jadi, ia memutuskan untuk menutup mulutnya saja.

Sepanjang perjalanan, wajah manis Kanaya tidak luput dari senyuman. Lengkungan indah itu tercetak dengan sangat jelas.

Gadis itu membuka jendela mobilnya dan membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Netra cantiknya menangkap pepohonan yang berjajar pinggir jalan.

Perhatiannya langsung saja tertarik kepada dua pohon kecil yang diapit oleh dua pohon besar di setiap sisinya.

"Mungkin, jika kita mengambil foto bersama, akan terlihat seperti itu." lirih Kanaya dalam hatinya.

Kanaya baru sadar bahwa selama ini dirinya tidak memiliki foto keluarga.

Mungkin, di luaran sana banyak rumah yang terpajang foto keluarga di ruang tengahnya. Namun tidak dengan rumah yang Kanaya huni. Di sana hanya terpajang beberapa lukisan yang berasal dari negara yang berbeda-beda.

Tidak ada yang salah dengan lukisannya, namun jika ada satu saja foto keluarga yang terpajang di sana, mungkin suasana "rumah" akan lebih terasa.

Kini, netranya memicing ke arah matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Sinar indah itu tidak lagi menyakitkan.

Dalam hatinya, gadis itu berharap bahwa pertemuan ini juga akan berakhir dengan keindahan. Tidak ada lagi perpisahan setelah pertemuan.

Sebuah gerbang hitam yang menjulang mulai tertangkap oleh juru pandangnya, menandakan bahwa mereka hampir sampai.

Kanaya semakin bersemangat, ia tidak sabar ingin memeluk kedua raga yang selama ini sangat ia rindukan.

Gadis itu langsung berlari keluar setelah taksi itu berhenti.

"Papa! Mama!" teriak Kanaya seraya memasuki rumahnya.

"Sayang!" sambut Bardy dan Shafira.

Kanaya langsung saja menghamburkan pelukan kepada kedua orang tuanya itu. Bardy dan Shafira pun membalas pelukan putrinya itu dengan erat, melepas kerinduan yang selama ini mereka simpan.

Butiran bening lolos begitu saja dari pelupuk mata Kanaya. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak merasakan pelukan ini.

"Papa, Mama, apa kabar? Kenapa lama sekali?" tanya Kanaya dalam isak tangisnya.

Shafira menangkup pipi Kanaya dengan tangan lembutnya. Ia menatap lekat wajah itu dengan pandangannya yang teduh, sesuatu yang tidak pernah berubah dari Shafira.

"Kita baik-baik saja, Sayang. Maafkan Mama dan Papa ya." ucap Shafira lembut seraya mengecup sekeliling wajah putrinya itu.

Kanaya hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, kemudian memeluk mereka kembali.

"Kabarmu sendiri bagaimana, Sayang?" tambah Shafira.

"Sangat baik! Ya, aku sangat baik!" jawab Kanaya berkilah.

"Mana kakakmu, Sayang?" tanya Bardy sembari mengelus kepala putrinya.

"Mungkin masih di perjalanan, Pa." jawab Kanaya.

"Tumben sekali. Bukannya kau dan kakakmu itu sepasang sepatu, selalu bersama. Kenapa sekarang berpisah seperti ini? Apa kalian sedang bertengkar?" selidik Shafira.

"Ti-tidak Ma. Kita tidak bertengkar. Hanya saja Kak Kenzo sedang ingin bermain dengan Kak Gabriel dan aku dengan Maura ... ya ampun, Maura!" Kanaya menepuk jidatnya.

"Ada apa?" tanya Bardy dan Shafira bersamaan.

"Aku melupakan Maura! Sebentar ya Pa, Ma. Aku panggil dulu dia di depan!" Kanaya langsung berlari keluar.

"Apa? Jadi, Maura ada di depan dari tadi?" ujar Shafira keheranan.

Bardy hanya mengangkat bahunya, tidak tahu.

"Sore, Om, Tante!" sapa Maura yang baru masuk ke dalam.

Suasananya sedikit kikuk bagi Maura karena dirinya baru bertemu lagi dengan mereka.

"Ya ampun, Maura. Apa kabar? Kenapa kau tidak langsung masuk saja?" tegur Shafira.

"Baik, Tante. Sejujurnya aku hanya ingin mengantar Kanaya saja, dan sekarang aku akan pulang lagi. Aku tidak ingin mengganggu waktu bersama kalian," tutur Maura dengan senyum kikuk.

"Maura, jangan sungkan. Kita sudah menganggapmu sebagai keluarga. Ya 'kan Sayang?" tanya Bardy kepada Kanaya.

"Betul! Kau sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri, Maura!" timpal Kanaya.

Mendapat perlakuan seperti ini, kekikukkan dari Maura mulai mencair. Sama halnya dengan Kanaya, ia pun sudah menganggap ia sebagai saudaranya.

~Deru suara motor~

"Nah, sepertinya itu Kak Kenzo!" seru Kanaya.

Dan benar saja, beberapa menit kemudian Kenzo pun memasuki rumahnya.

"Om Bardy! Tante Shafira!" teriak Gabriel dari belakang Kenzo.

"Ya ampun, Gabriel. Anak itu semakin tinggi saja!" ujar Shafira dengan senyuman hangatnya.

"Om, Tante, apa kabar?" tanya Gabriel yang sudah sangat akrab dengan mereka.

"Baik, Nak. Tidak perlu ditanya lagi, pasti kau sangat sehat 'kan?" canda Bardy.

"Ya, aku sangat sehat dan kuat!" Gabriel menunjukkan ototnya dengan bangga.

Sementar Kenzo, hanya menatap kedua orang tua yang tengah berdiri di hadapannya. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Ken, bagaimana kabarmu?" tanya Bardy.

"Tidak baik."

Semua orang menatap bingung ke arahnya.

"Kak!" tegur Kanaya sembari menyenggol lengan Kenzo dengan bahunya.

"Apa yang terjadi kepadamu, Ken?" Shafira menghampiri putranya itu dengan cemas.

Wanita itu hendak memeluknya, namun Kenzo segera menahannya.

"Kalau saja kalian selalu berada di sampingku dan Kanaya, mungkin keadaan kita akan jauh lebih baik." lanjutnya yang kemudian berlalu menuju lantai atas tanpa berkata apa-apa lagi.

Pria itu sudah cukup jengah dengan berbagai alasan dari orang tuanya yang mengharuskan mereka pergi. Padahal, Kenzo sendiri sudah tahu bahwa semua bisnis orang tuanya sudah dipegang oleh orang-orang terpecaya. Seharusnya mereka sudah tidak perlu repot-repot lagi keluar masuk negeri hanya untuk urusan bisnis.

Apa yang mengharuskan mereka berlama-lama di London dan mengabaikan perkembangan anak-anaknya di sini?

Itu yang selalu Kenzo pertanyakan namun jawabannya juga selalu tidak ia dapatkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!