Chapter 11

Kenzo memarkir asal motornya di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik dengan halaman yang terkesan asri karena banyaknya pepohonan di sana.

"Sore Om, Tante. Gabriel ada di kamarnya 'kan?" sapa Kenzo kepada orang tua Gabriel yang tengah bersantai di teras depan.

"Eh, Ken. Ya, masuk saja. Dia ada di kamarnya." sahut Papanya Gabriel.

Kenzo langsung saja menuju lantai atas untuk menemui Gabriel yang hobinya mengurung diri di kamar seperti anak perawan.

Brak!

Gabriel yang sedang melakukan panggilan video bersama seorang perempuan, seketika itu juga terperanjat kaget dengan kedatangan Kenzo yang sangat tiba-tiba.

"Satt! Apa kau tidak bisa mengetuk pintunya terlebih dahulu, Ken?!" teriak Gabriel.

"Tidak."

Kenzo merebahkan tubuhnya di atas kasur single milik Gabriel. Lalu ia membuang nafasnya dengan kasar.

"Ck, mengganggu saja!" decak Gabriel seraya melanjutkan kembali aktifitasnya.

"Sweetie, maaf ya. Tiba-tiba saja temanku datang. Kurasa, kita akhiri dulu panggilannya," tutur Gabriel kepada seorang perempuan yang tampil di layar laptopnya.

"Humm ... Ya sudah. Kalau temanmu sudah pulang, kabari aku lagi, ya!" pinta seorang perempuan dalam panggilan itu dengan manja.

"Oke, Sweetie. Love you."

Gabriel pun menutup panggilannya, kemudian ia menyalakan play station dan mengajak Kenzo bermain.

"Mau main?" tawarnya.

Si playboy itu seakan mengerti bahwa saat ini Kenzo sendang membutuhkan hiburan.

"Siapa?" tanya Kenzo seraya menghampirinya.

"Ya, kau Kenzo. Siapa lagi?"

"Maksudku perempuan tadi. Ciara?" tebak Kenzo.

"Bukan. Mana mungkin Ciara mau melakukan panggilan denganku? Dia masih marah kepadaku," lirih Gabriel sembari memulai permainannya.

"Bukankah yang kau mau itu Ciara? Kenapa masih berhubungan dengan perempuan lain?" tanya Kenzo sembari berusaha mengecohnya.

"Memang. Tapi, di saat Ciara tidak bersamaku, aku membutuhkan perempuan lain untuk mengisi hatiku yang sepi ini, Ken." tukas Gabriel.

"Kau benar-benar brengsek, Riel. Kalau begitu, kudukung Ciara untuk terus menolakmu." ejek Kenzo.

"Menang!" teriaknya setelah berhasil mengecoh suasana hati Gabriel dan memenangkan permainannya.

Sementara itu, Gabriel masih menatapnya tajam.

"Apa kau bersungguh-sungguh mendukungnya untuk terus menolakku?" tuntut Gabriel.

Kenzo hanya tertawa melihat ekspresi sahabatnya itu. Nampaknya, sang pengoleksi perempuan itu sebentar lagi akan taubat.

"Aku hanya bercanda, Riel. Kenapa kau menjadi sensitif seperti ini?" Kenzo menepuk pundak sahabatnya itu.

Gabriel hanya memalingkan pandangannya ke sembarang arah.

Ia memutuskan untuk mengambil sebungkus rokok di laci nakasnya.

"Sebatang black devil untuk Kenzo!"

Kenzo pun mengambil sebatang rokok asal Belanda itu dari Gabriel. Baunya yang khas mulai menyebar di seisi ruangan ketika rokok itu dibakar.

Bagi Kenzo, lintingan tembakau itu adalah obat terampuh untuk menenangkan jiwanya yang runtuh.

"Kau sedang memikirkan apa, Ken?" tanya Gabriel sembari membuang abu rokoknya.

"Kanaya menyukai satu gelang pemberianku, dia tidak pernah melepaskannya sekalipun. Tapi tadi, aku melihat gelang itu ada di tangan Ryo. Kira-kira apa yang kau pikirkan tentang itu?" tanya Kenzo, meminta pendapat.

Gabriel tiba-tiba saja menghadap Kenzo, "apa mungkin ... mereka berpacaran?"

Spontan saja Kenzo melebarkan matanya.

"Kau jangan bicara sembarangan, Gabriel. Aku tidak akan menyetujuinya!" bentak Kenzo.

"Aku tidak bicara sembarang, Ken. Perempuan dan laki-laki, bukankah itu hal yang normal untuk menjalin hubungan? Apalagi Ryo sudah memiliki barang yang mungkin paling berharga bagi Kanaya. Jika sudah seperti itu, mungkinkah mereka tidak mempunyai hubungan apa pun?" cetus Gabriel.

Mendengar pernyataan dari sahabatnya itu, Kenzo kembali teringat dengan ucapan terakhir Ryo di atap tadi.

"Dia akan merebutnya dariku? Apa yang dia maksud itu akan memacarinya?" gumam Kenzo.

"Tidak akan kubiarkan itu terjadi!" teriaknya sampai membuat Gabriel terperanjat kaget untuk yang ke dua kalinya.

Di rumah sakit.

"Apa?!" pekik Maura setelah mendengarkan cerita yang sebenarnya, langsung dari mulut Kanaya.

"Jadi, selama ini kau ditindas?" lanjut Maura. Ja masih merasa tidak percaya dengan apa yang sahabatnya itu alami.

"Kenapa kau tidak memberitahuku? Kenapa kau membiarkan mereka menindasmu begitu saja? Kenapa kau melalui semua ini sendirian? Apa kau sudah tidak menganggapku sebagai sahabatmu? Mereka sangat jahat!" cecar Maura, emosi.

"Maura, tenang Maura!" Kini giliran Kanaya yang menenangkannya.

"Sekarang aku tidak bisa tenang, Nay! Bisa-bisanya kau membiarkan mereka menindasmu? Kenapa kau tidak memberitahu Kak Kenzo juga? Dia pasti akan siap memasang badan untuk melindungimu!" gerutunya dengan emosi yang masih berapi-api.

Kanaya hanya menunduk dan memasang telinga. Ia bersiap mendengarkan omelan Maura yang diperkirakan tidak akan selesai dalam waktu cepat.

"Kenapa kau diam saja?! Dengar, seharusnya kau jangan membiarkan orang lain menyentuhmu sehelai rambut pun! Apalagi menindasmu! Apa kau tidak mempunyai nyali untuk melawannya?!"

"Lihat saja nanti, aku akan adukan kepada Kak Kenzo agar mereka dapat pelajaran!"

Dengan cepat Kanaya memegang tangan Maura, memohon agar ia tidak memberitahu Kenzo mengenai hal ini.

"Cukup kau saja yang tahu, Maura." Kanaya memasang *puppy eyes*-nya agar Maura mau menurutinya.

~*Dering telepon*~

Maura bergegas memeriksa ke dalam tasnya, namun ternyata bukan ponselnya yang berbunyi.

"Ponsel siapa itu, Nay?" tanya Maura.

"Itu, Maura tolong periksa di sela-sela sofa! Tadi sebelum Bi Susi pulang, dia bilang meninggalkan ponselnya untukku." jelas Kanaya.

"Bahkan, si Livy itu belum mengembalikan ponselmu, Kanaya?"

Gadis itu hanya menggeleng sembari menampakkan semua giginya.

Maura hanya bisa mengeratkan giginya. Sebetulnya ia sangat gemas dengan sahabatnya itu. Bisa-bisanya Kanaya menyembunyikan hal seperti ini darinya.

"Terima kasih, Maura imut!" ucap Kanaya setelah menerima ponselnya dari Maura.

Kanaya pun menerima panggilan dari telepon rumah.

"Halo, Non. Ini Bibi!" Bi Susi terdengar sumringah dari sebrang telepon.

"Ada apa, Bi?"

"Tuan dan Nyonya sudah pulang, Non!"

Deg!

Kanaya kembali memeriksa layar ponselnya, takut semua ini hanya halusinasinya saja.

"Serius, Bi?" sahutnya antusias.

"Ya, Non. Bibi serius! Mereka sedang berada di kamarnya sekarang!"

Mendengar kabar ini, celengan rindu kepada orang tuanya akan segera pecah.

Setelah beberapa bulan tidak bertemu, akhirnya mereka akan dipertemukan kembali.

"Tapi, Bibi belum cerita kalau aku sakit sama Papa dan Mama 'kan?" tanya Kanaya.

"Soal itu belum, Non. Bibi bilang Non sama Aden sedang bermain di rumah teman." tutur Bi Susi dengan berbisik.

"*Good*, Bibi memang terbaik! Tunggu saja, Bi. Aku akan pulang!"

Tubuh lemasnya mendadak terisi tenaga dengan penuh. Kanaya mencabut jarum infusnya, kemudian meloncat-loncat di atas pembaringannya seperti seorang anak kecil yang baru saja diizinkan memakan permen.

Kabahagiaan dalam dirinya saat ini tidak bisa dirangkai dengan kata. Yang pasti, Kanaya sangat bahagia.

"Nay, hati-hati!" Maura cemas melihat ulah Kanaya saat ini.

"Maura, kau punya nomor Kak Kenzo 'kan? Tolong kabari dia bahwa Papa dan Mama sudah pulang!" pintanya.

...CAST...

Gabriel

Maura

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!