Chapter 10

Mendengar pernyataan Ryo tadi beserta gelang Kanaya yang ada padanya, membuat pikiran Kenzo berkecamuk. Beberapa pertanyaan terselip dalam benaknya namun tidak sempat ia utarakan.

Berbicara dengan Ryo, tentu saja tidak akan membuahkan hasil yang bagus. Jadi, Kenzo memutuskan untuk langsung menanyakannya kepada sang adik.

Pria itu langsung saja memecah jalanan menuju rumah sakit seusai sekolahnya selesai. Sebelum itu, ia mampir terlebih dahulu ke sebuah minimarket untuk membeli buah-buahan.

Ia meraih sebuah keranjang merah di dekat kasir, kemudian ia memilih dan memasukkan beberapa buah ke dalamnya.

Perasaannya kini sedikit lega setelah mendapat kabar dari Bi Susi bahwa Kanaya sudah membaik.

Bruk!

Tanpa sengaja Kenzo menabrak seseorang di sampingnya ketika ia tengah fokus memilih buah-buahan.

"Maaf!" ucap Kenzo tanpa melihat wajahnya.

"Ah, tidak ap ... Kak Kenzo!"

Kenzo pun melihat ke arahnya, "eh, Maura!"

"Kak Kenzo sedang apa di sini?"

Kenzo hanya menunjukkan isi keranjang yang ia bawa sebagai jawabannya.

"Oh, itu untuk Kanaya, ya? Kebetulan, aku juga akan menjenguknya."

"Begitu, ya?"

Maura hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Sikap dingin Kenzo, sudah sangat biasa baginya.

Kenzo nampaknya sudah selesai berbelanja, pria itu membawa keranjangnya ke kasir.

Mengetahui hal itu, Maura bergegas menyelsaikan urusannya dan menyusul Kenzo ke kasir.

"Jadi berapa, Mbak?" tanya Maura kepada seorang kasir.

"Semuanya jadi Rp. 432.000, Kak."

Maura pun menyerahkan sejumlah uang yang disebutkan. Kemudian ia keluar dengan cepat menyusul Kenzo yang hendak menghidupkan motornya.

"Kak Kenzo, tunggu!"

"Ada apa?" tanya Kenzo setelah membuka kaca helmnya.

"Begini, sebetulnya aku belum tahu tempat Kanaya dirawat. Aku mau bertanya langsung kepadanya tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Bisakah Kak Kenzo menunggu sebentar?" pintanya dengan sedikit sungkan.

Kenzo mengerutkan keningnya karena tidak mengerti.

"Supirku sedang sakit dan tidak bisa mengantarku hari ini. Jadi, aku memesan taksi online. Bisakah Kak Kenzo menunggu sampai taksiku tiba? Tujuan kita 'kan sama, nanti aku akan mengikutimu dari belakang dengan taksi," urai Maura.

"Batalkan saja pesanannya dan ikut denganku!" tutur Kenzo.

"Bo-bolehkah, Kak?" tanya Maura, kikuk.

Kenzo hanya menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban ya.

"Apa anak ini senang mempersulit hidupnya sendiri? Kenapa dia tidak langsung saja meminta untuk ikut denganku? Tidak harus berbelit-belit." Kenzo menggetutu dalam hatinya.

"Helmnya, Kak?" tanya Maura sebelum menaiki motornya.

"Hanya ada satu," jawab Kenzo.

"Begitu, ya. Kalau begitu, sebentar ... tolong pegang dulu, Kak!" Maura menyerahkan kresek belanjaannya kepada Kenzo.

Kenzo pun menerimanya begitu saja.

Kemudian, gadis itu mengumpulkan setiap helai rambutnya yang tergerai bebas untuk ia kuncir. Walaupun tidak semuanya ikut terikat karena memang rambutnya yang pendek, namun itu cukup membantu agar rambutnya tidak terlalu berantakan ketika diterpa angin.

"Sudah," Maura mengambil kembali kreseknya dari Kenzo.

Tanpa Kenzo sadari, kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman di balik helm full face-nya ketika melihat penampilan Maura yang sedikit berbeda jika rambutnya dikuncir seperti itu.

"Maura, ternyata manis juga." gumamnya dalam hati.

Pipinya yang sedikit chubby terpampang lebih jelas dan membuatnya semakin terlihat manis.

"Kenapa belum jalan, Kak?" tanya Maura yang sudah naik ke motor, menyadarkan lamunan Kenzo.

"Eh, ya ... Aku akan jalan sekarang."

Kenzo mulai menghidupkan motornya.

Dakk!

Maura tersentak ke depan sampai tubuhnya menubruk punggung Kenzo ketika pria itu mulai melajukan motornya secara tiba-tiba.

"Maaf, maaf!" ucap Kenzo. Malu sekaligus tidak enak hati.

Maura kembali membenarkan posisinya sembari memegangi dagunya yang sakit karena kepentok helm.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Kenzo.

"Tidak, Kak." jawabnya berkilah.

"Tidak apa-apa bagaimana?! Aduh, sakit banget!" monolog Maura dalam hatinya.

Di rumah sakit.

Kenzo dan Maura sudah sampai di kamar rawat Kanaya.

Kenzo merasa lega ketika melihat kondisi adiknya itu telah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kanaya mengulum senyumnya setelah mendapati Kenzo dan Maura datang bersama. Gadis itu menggoda sang kakak dengan cara memandang keduanya secara bergantian.

"Nay, apa kau tidak bisa berhenti melihatku seperti itu?" tanya Kenzo, merasa tidak nyaman.

"Siapa juga yang melihat Kakak? Dari tadi aku melihat Maura, kok!" elak Kanaya dengan tetap mengulum senyumnya.

"Terserah kau saja." balas Kenzo, malas berdebat.

Dalam beberapa menit, tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Suasana menjadi hening dan sedikit kikuk.

"Oh ya, Nay. Kemarin kenapa kau pulang terlambat? Kak Kenzo sampai telepon aku loh menanyakanmu," tanya Maura, memecah kekikukan.

Kenzo menatap Kanaya dengan intens. Ia juga penasaran akan hal itu.

Sementara Kanaya, gadis itu hanya menunduk dan mencengkram ujung selimutnya. Ia ragu untuk menceritakan semuanya kepada kakak dan sahabatnya itu.

Dalam situasi ini, Kenzo seperti mendapat jalan untuk mempertanyakan semua isi pikirannya kepada Kanaya.

"Ke mana ponselmu? Kenapa sulit sekali untuk dihubungi?" Kini giliran Kenzo yang bertanya.

Kanaya semakin merasa dirinya terpojok. Ia belum terpikirkan alasan apa pun untuk menjawab semua pertanyaan itu. Ia hanya bisa terdiam dengan pikirannya yang kosong tanpa berani melihat ke arah kakaknya.

"Kenapa kau diam saja? Aku mengkhawatirkanmu, Nay. Tidak biasanya kau pulang terlambat dan ponselmu tiba-tiba saja sulit dihubungi. Dan yang lebih parah lagi, sekarang kau sudah berani berbohong kepadaku! Kau bilang pulang bersama Maura, tapi ternyata tidak. Pulang-pulang kau sakit sampai berada di sini. Sebenarnya apa yang terjadi disaat aku tidak ada di sampingmu?!" cecar Kenzo, ia tidak bisa lagi membendung kekhawatirannya.

Kanaya semakin merasa bersalah. Lidahnya mendadak kelu dan matanya terasa panas karena menahan tangis.

"Jawab, Kanaya! Apa kau tidak mengerti bagaimana kekhawatiranku ini? Apa kau sudah tidak membutuhkan lagi perhatian dariku?!" bentak Kenzo, merasa frustasi.

Butiran kristal tiba-tiba saja lolos begitu saja dari pelupuk mata Kanaya. Rasanya baru kali ini ia mendengar Kenzo berbicara dengan keras kepadanya.

Rasanya gadis itu ingin menceritakan semuanya kepada Kenzo. Tapi tenggorokannya seakan tercekat dan membuatnya tidak bisa berkata. Ia tidak sanggup menceritakan semuanya saat ini.

Semakin ia mencoba untuk membuka mulut, deraian air matanya semakin deras membasahi pipi.

"Aku kecewa!"

Satu kalimat itu keluar dari mulut Kenzo mewakili semua perasaannya saat ini.

Bagi Kanaya, satu kalimat itu bagaikan ribuan pisau yang menusuk jantungnya secara bersamaan.

Sungguh, Kanaya benar-benar sangat merasa bersalah kepadanya. Namun, ia hanya dapat menjelaskan semuanya dalam tangisan.

"*Maafkan aku, Kak*!" teriaknya dalam hati.

Kenzo memutuskan untuk keluar dari sana, berniat untuk menenangkan suasana hatinya yang sedang kacau.

"Nay, tenang, tenang." Maura yang masih ada di sana menghampiri Kanaya untuk memberi pelukan.

Tangisnya semakin kencang dalam pelukan Maura.

"Tenang, Kanaya. Kak Kenzo tidak benar-benar marah, dia hanya khawatir saja kepadamu." Maura mengelus punggung Kanaya untuk menenangkannya.

Maura membiarkan sahabatnya itu menumpahkan segala kesedihannya. Dengan setia, tangan mulusnya selalu memberikan elusan hangat kepada punggung Kanaya yang bergetar hebat.

......CAST......

Kenzo Alexis Bardyasa

Kanaya Novela Barsya

Ryo Andrew Wilyo

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!