"Awsh, **1*! Kukira papan berjalan tidak bisa berkelahi. Ternyata dia jago juga!" gerutu Ryo.
Anak itu baru saja selesai melakukan pergulatan bersama seorang siswa lainnya di atap sekolah. Sudah jelas bahwa di sana sangat sepi dan tidak akan ada orang lain yang datang. Jika berkelahi sampai titik darah penghabisan pun, mungkin tidak akan ada yang mengetahuinya dengan cepat.
Satu per satu anak tangga ia pijak dengan gontai. Pria itu terus saja menggerutu di sepanjang langkahnya. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya telah kalah dalam hal seperti ini. Sebelumnya, ia merupakan jagonya dalam bidang perkelahian.
Setelah sampai di lantai 4, matanya berkeliling kemudian ia mengerutkan dahinya karena merasa sedikit heran.
"Sudah jam segini, kenapa semua ruangan belum dikunci?" monolognya dalam hati.
Mengingat hari yang mulai gelap, biasanya semua ruangan sudah dalam keadaan terkunci rapat. Sebagian besar, lantai 4 memang dikuasasi oleh ruangan yang menyimpan benda-benda berharga, seperti; ruang musik, komputer, olahraga, piala, labolatorium, dan sebagainya.
"Apa pria tua itu lupa? Tidak biasanya." pikirnya.
Ryo memutuskan untuk mengecek satu per satu ruangan itu dan memastikan bahwa di sana aman.
Walaupun terkenal badung, pria itu justru termasuk siswa yang paling peduli terhadap fasilitas sekolah. Terlebih lagi dengan ruang musik, ruang favoritnya. Tempat di mana ia dapat menjadi dirinya sendiri.
"Halo, spadaa ... apa ada orang di sini?" teriaknya di ambang pintu ruang komputer.
"Oh, tidak ada, ya?" monolognya seraya menutup pintu itu dengan rapat.
Kemudian, ia melakukan hal yang sama ke setiap ruangan. Random memang. Tapi, itulah seorang Ryo.
"Astaga, faktor usia atau apa? Gudang yang isinya barang-barang busuk dikunci rapat seperti ini, sedangkan ruangan-ruangan berharga dibiarkan terbuka bebas. Ini Pak Sastro lagi pasang umpan maling apa gimana?" gerutunya ketika sampai di ujung lorong.
Dragh!
Ryo menendang pintu tersebut dengan kuat untuk melampiaskan kekesalannya.
Krekk!
Tanpa diduga, pintu gudang itu terlepas dari tempatnya.
Namun, ada yang membuat Ryo merasa janggal. Pintu itu sudah benar-benar terlepas dari tempatnya, namun tidak sampai terjatuh. Mana mungkin ada barang yang sengaja di simpan tepat di depan pintunya.
Karena rasa penasaran yang membuncah, Ryo pun menggeser posisi pintunya untuk memastikan apa yang ada di sana.
Seketika itu juga, Ryo membelalakkan matanya. Dagunya hampir saja terjatuh ketika melihat seseorang dengan memakai seragam yang sama dengannya tergeletak tidak sadarkan diri di sana.
Netra itu berkeliling melihat kondisi sekolah yang sudah sangat sepi, bahkan sepertinya sudah tidak ada seseorang pun di sana.
Cemas bercampur bingung, terpaksa Ryo harus menolong orang itu dengan tangannya sendiri.
Ryo mendekatinya dengan perlahan. Tiba-tiba saja rasa takut mulai menjalar mengingat hari yang sudah gelap dan di hadapannya sekarang ada seseorang yang belum sempat ia lihat rupanya.
"Jika kau manusia, kenapa kau bisa pingsan di sini? Kau bisa saja pingsan di tempat yang lebih terbuka dan mudah ditemukan orang lain, yang pastinya orang yang menemukanmu bukan aku," cicit Ryo.
"Jika kau bukan manusia, tolong ... ampuni aku karena telah merusak tempatmu bersemayam." Ryo menelan salivanya dengan susah payah, tubuhnya pun mulai mengeluarkan keringat dingin.
Tangannya yang bergetar, berusaha meraih pundak orang itu.
Tap.
"Ternyata dia bisa disentuh. Berarti dia manusia!" ujarnya.
Ryo segera membalikkan tubuh orang itu, kemudian menyingkap rambutnya agar ia melihat wajahnya.
"Dia ... wajahnya seperti familiar," pikirnya.
"Hey, hey, bangun!" Ryo menepuk-nepuk pipinya berusaha membuatnya sadar.
"Bangun ... Kanaya!" lanjutnya setelah melihat name tag yang menempel di seragam orang itu.
Teringat bahwa dirinya selalu membawa air di dalam tasnya, segera ia keluarkan untuk ia berikan kepadanya.
Ryo memberikan air tersebut kepada Kanaya yang masih tidak sadarkan diri dengan perlahan.
"Kanaya ... Kanaya ... aku seperti pernah mendengar nama ini." batin Ryo.
Uhuk! Uhuk!
Kanaya akhirnya tersadar, ia mengerjapkan matanya, kemudian mendorong sekuat mungkin seseorang yang berada di hadapannya.
Gadis itu membuang nafasnya dengan cepat, seakan ia baru saja terbebas dari sesuatu yang membuatnya tidak bisa bernafas.
Mata indah itu kemudian berkeliling, ia merasa sangat lega sudah keluar dari tempat gelap itu.
"Tenang, tenang, kau masih hidup!" celetuk Ryo.
Kanaya melirik ke arah Ryo dengan tatapan penuh makna.
"A-ada apa?" Ryo tergagap ketika dirinya mendapatkan tatapan seperti itu.
"Terima ... kasih ... hiks ... hiks ... " Kanaya tidak kuasa membendung air matanya.
Sebelumnya, gadis itu benar-benar sangat ketakutan. Apa jadinya jika pria yang ada dihadapannya sekarang tidak menolongnya?
"Ini, minumlah yang banyak agar kau lebih tenang!" Ryo menyerahkan botol minumnya kepada Kanaya.
Mendapat perlakuan seperti itu, tangisnya semakin pecah. Ia baru percaya sekarang ketika tangannya bersentuhan langsung dengan Ryo, itu menandakan bahwa dirinya benar-benar masih hidup.
"Hey, hey, kenapa tangismu semakin menjadi? Aku tidak akan menyakitimu," Ryo panik sekaligus bingung.
"A-aku tahu ... kau orang baik, aku hanya sangat bersyukur saja bisa keluar dari sana ... " ucap Kanaya di sela tangisnya.
Ryo menghembuskan nafasnya lega, "ya sudah, kau minum dahulu airnya!"
Kanaya pun menurut, ia meminum airnya dengan perlahan.
"Terima kasih!" Kanaya menyerahkan kembali botol minumnya kepada Ryo.
"Kenapa kau bisa berada di dalam gudang yang terkunci?" tanya Ryo.
Kanaya hanya terdiam dan menunduk, ia tidak mau menceritakan apa yang baru saja ia alami sekarang.
"Kau dari kelas mana, Kanaya?" tanya Ryo, mengalihkan pembicaraan.
Seketika Kanaya menatapnya dengan lekat, "kau tahu namaku?"
"Ya, karena aku seorang cenayang," bisiknya.
"Apa? Pantas saja kau bisa menemukanku di sini." sahut Kanaya.
Ryo nyaris saja tertawa dengan jawaban polos dari Kanaya. Wajahnya pun tampak percaya saja dengan ucapan Ryo.
"Jadi, kau dari kelas mana?" tanyanya sekali lagi.
"Bukankah kau cenayang?" Kanaya balik bertanya.
Kali ini tawa Ryo tidak tertahankan lagi, gadis itu benar-benar polos. Ia benar-benar percaya bahwa dirinya seorang cenayang.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Kanaya dengan wajah kebingungan.
"Maaf, ilmuku belum sejauh itu. Jadi, aku belum tahu di mana kelasmu," jelas Ryo berkilah.
"Aku dari kelas 10-B IPA." ungkap Kanaya.
"Oh, rupanya kau adik kelasku. Salam kenal, aku Ryo dari kelas 12-C IPA." Ryo mengulurkan tangannya.
Kanaya pun membulatkan matanya, "oh, kalau begitu kau adalah teman kelas kakakku!" Gadis itu membalas uluran tangan Ryo dengan senang.
"Kakak? Kau mempunyai kakak di kelasku?"
Seketika Kanaya mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Hampir saja ia keceplosan untuk membuka fakta bahwa Kenzo adalah kakaknya.
Selama ini ia dengan sengaja menyembunyikannya karena ia tidak ingin semua orang tahu bahwa dirinya adalah adik dari seorang Kenzo Alexis Bardyasa, seorang idola para siswi Raya Agung.
Ia tidak ingin disukai banyak orang karena pengaruh kakaknya. Ia tidak nyaman jika harus bersosialisasi dengan banyak orang.
Menjadi dirinya sendiri seperti ini, menjadi siswi yang tidak terlalu menonjol, adalah posisi ternyaman bagi Kanaya.
"Maksudku, kakak kelasku yang lain." elak Kanaya dengan diikuti tawanya yang garing, "benar 'kan?" lanjutnya.
"Humornya garing banget." batin Ryo sembari menatap aneh kepada Kanaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments