Wajah sang surya mulai meredup di ufuk barat, semburat jingga kian membentang di atas gedung Raya Agung yang gemilang.
Kini, tempat itu mulai terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa yang masih tinggal di sana.
Seorang pria tua tampak sedang kelimpungan menyusuri setiap lorong bangunan.
"Aduh, jatuh di mana ya kuncinya? Perasaan, tadi belum lewat sini," gumam Pak Sastro, penjaga sekolah.
Pak Sastro terus saja berjalan menunduk, mencari sebuah rangkaian kunci-kunci ruangan yang sengaja ia satukan dengan tali.
"Pak Sastro mencari ini, ya?"
Pria tua itu pun menoleh ke arah seorang siswi yang tengah menunjukkan barang yang sedari tadi ia cari.
"Eh, Neng Livy. Ya ampun, iya Neng. Bapak cari-cari dari tadi tidak ketemu. Eh, ternyata ada sama Neng, terima kasih ya Neng!" Pak Sastro mengambil kunci tersebut dari Livy dengan sumringah.
Livy hanya menampilkan senyum seramah mungkin di hadapan Pak Sastro. Sebetulnya, ia sangat malas jika harus berbicara dengan seseorang yang kastanya lebih rendah darinya.
"Ya sudah kalau begitu, Bapak permisi ya Neng. Bapak mau periksa dahulu lantai atas." pamit Pak Sastro. Kebetulan, mereka sedang berada di lantai 3.
Secepat kilat, Vera dan Cika mencegah Pak Sastro agar tidak pergi ke sana mengingat ada Kanaya yang sedang mereka kurung.
"Kenapa, Neng? Bapak mau ke atas dahulu, uhuk! uhuk!" tanya Pak Sastro diikuti dengan batuknya yang tak kunjung sembuh juga.
"Sudah, Pak. Tidak perlu ke atas, Bapak istirahat saja dahulu!" ujar Vera berusaha mencari alasan.
"Tidak apa-apa Neng, Bapak harus memeriksa lantai atas. Jika tidak, nanti kalau ada apa-apa di sana, pasti Bapak yang disalahkan karena itu sudah menjadi tanggung jawab Bapak." tukas Pak Sastro.
"Pak Sastro jangan khawatir. Semua ruangan di lantai atas sudah super duper aman. Kita sudah periksa dan mengunci semua ruangannya." kilah Cika.
Pak Sastro mengerutkan keningnya, "maksud Neng ... "
"Iya, Pak. Waktu kita nemuin kuncinya, kita sekalian saja membantu Bapak untuk mengunci semua ruangan atas. Kita kasihan sama Bapak. Apalagi Bapak lagi sakit-sakitan seperti ini dan harus naik turun tangga, pasti tambah sakit 'kan, Pak?" tambah Vera.
"Uhuk! Uhuk! Iya, Neng. Terkadang, dada Bapak suka sakit kalau terlalu sering naik tangga. Ya, beginilah kalau sudah berumur, Neng, segalanya serba terbatas. Tapi jika Bapak tidak bekerja, anak istri Bapak mau dikasih makan apa?" tutur Pak Sastro beradu nasib.
"Semoga Pak Sastro sehat terus, ya. Tugas Bapak 'kan sudah selesai, sebaiknya Bapak pulang saja dan istirahat di rumah. Ini, berikan kepada anak dan istri Bapak, ya!" Cika memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada Pak Sastro.
Netra Pak Sastro berbinar, kemudian menerima sejumlah uang itu dengan suka cita.
"Ck, ck, ck. Si paling dermawan," cibir Vera setelah kepergian Pak Sastro.
"Biasalah, uang tutup mulut. Kalau tidak begitu, Pak Sastro pasti akan bertanya lebih banyak." sahut Cika.
"Good job, Cika!" puji Livy.
Ketiga gadis itu pun memutuskan untuk bergegas pulang, agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang lain.
"Eh, Liv. Itu bukannya Kenzo sama Gabriel, ya?" ujar Vera ketika hendak memasuki mobil Livy.
Livy mengikuti arah pandang sahabatnya itu. Memang benar, rupanya Kenzo belum pulang. Tampaknya ia baru saja selesai dengan urusannya. Namun ada yang aneh, wajah Kenzo terlihat seperti sedang terluka.
Livy turun dari mobilnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkahkan kakinya menghampiri Kenzo di sana.
"Ken, wajahmu kenapa?" tanyanya, cemas.
"Eh, ada Livy. Tumben belum pulang?" tanya Gabriel.
"I-iya, aku ada urusan dahulu sebentar," jawabnya gelagapan, "ada apa dengan wajahmu, Ken?" Livy masih mengharapkan jawaban dari sang pujaan.
"Bukan urusanmu." jawabnya datar.
"Ah, ya. Aku selalu membawa kotak P3K di tasku. Kurasa, di sana ada sesuatu yang dapat mengobati luka di wajahmu," ucap Livy sembari merogoh tasnya.
"Nah, ini dia!" seru Livy ketika menemukannya, "bolehkah aku mengobati lukamu, Ken?"
"Boleh, boleh, boleh." Gabriel beranjak dari tempatnya mempersilahkan Livy duduk di sana untuk mengobati Kenzo.
Livy memang terlahir dari orang tua yang telah mempunyai nama besar dalam bidang kesehatan. Ayahnya merupakan pemilik rumah sakit terbesar ke dua di Indonesia, sedangnya ibunya adalah seorang dokter. Hal itu membuatnya tidak asing lagi dalam hal keperawatan.
Sementara pria itu mengeluarkan benda pipihnya dan tidak menghiraukan Livy di sana yang mulai mengobatinya. Bagaimana pun juga, luka itu memang harus segera diobati agar tidak membuat sang adik khawatir.
"Kau habis berkelahi, ya?" tanya Livy lembut sembari mengoleskan obat ke sudut bibir Kenzo yang terluka.
"Riel, kenapa kau tidak memberitahu hal ini kepadaku?" Kenzo tidak menggubris pertanyaan dari Livy, perhatiannya kini sedang fokus pada riwayat chat yang ada di ponselnya.
"Memangnya ada hal apa?" Gabriel balik bertanya.
"Pesan dari Kanaya,"
Setiap kali Kenzo menyebutkan nama Kanaya, itulah yang menjadi pemantik api dalam hati Livy.
Gadis itu masih bisa bersabar ketika mata Kenzo tidak pernah menatapnya sekalipun. Namun, kesabarannya menguap menjadi kepulan amarah ketika mulut pria itu menyebutkan nama seseorang yang selama ini menjadi benalu bagi dirinya untuk mendekati Kenzo.
"Awsh!" Kenzo meringis ketika Livy menekan lukanya dengan kuat.
"Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu." ucap Livy, merasa bersalah.
"Livy, kau ini seorang perempuan. Tidak bisakah kau bersikap lebih lembut?" cibir Gabriel.
Livy mendelik ke arah Gabriel. Bukan hanya playboy, pria itu juga sangat pandai dalam menghujat.
"Kau menghubungi siapa, Ken?" tanya Gabriel ketika melihat Kenzo menempelkan ponselnya ke telinga.
"Kanaya."
Livy tersentak, mendadak dirinya gelagapan. Ia takut ketahuan bahwa ponsel Kanaya ada di dalam tasnya. Jika itu terjadi, pastinya akan menimbulkan banyak pertanyaan dari Kenzo.
~Dering ponsel~
Tubuh Livy membeku namun jantungnya berpacu dengan kencang ketika ponsel dalam tasnya berbunyi. Tanpa ia sadari, Gabriel menatapnya dengan penuh selidik.
"Ponselmu berbunyi, kenapa tidak diangkat?" ujar Gabriel.
"Oh ya, ya a-aku akan mengangkatnya sekarang." sahutnya gelagapan dengan wajah yang memucat.
Dengan tangan gemetar, Livy merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya. Rasanya sangat berat jika ia harus mengeluarkan ponsel itu sekarang.
"Ponselnya tidak aktif," ujar Kenzo sembari memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam sakunya, "Gabriel, sebaiknya aku pulang sekarang." lanjutnya.
"Ya sudah, ayo!" sahut Gabriel.
Jantung Livy seakan kembali lagi pada tempatnya. Hampir saja. Rupanya, bunyi itu berasal dari ponselnya sendiri yang juga ia simpan di dalam tas.
"Terima kasih," ucap Kenzo sebelum pergi dari sana kepada Livy.
Mendadak netra itu berbinar, hatinya seakan dihinggapi ribuan kupu-kupu. Livy merasakan dunianya semakin indah dan berwarna.
"Dia ... berterima kasih ... kepadaku?" gumam Livy yang masih mematung di tempatnya.
"OMG, OMG, OMG! Congrats ya, Liv! Untuk pertama kalinya seorang Kenzo berbicara kepadamu!" seru Cika yang baru menghampiri Livy di sana.
"Terima kasih," tambah Vera menirukan gaya ucapan Kenzo yang terkesan datar itu.
"Guys, bangunkan aku dari mimpi ini!" ucap Livy yang masih tidak percaya.
Plak!
Cika memukul lengan Livy dengan kuat sampai gadis itu meringis kesakitan.
Bukannya marah, Livy malah menampilkan senyuman yang merekah indah.
"Ini benar-benar bukan mimpi." gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments