"Indah?"
"Hadir!"
"Jefry?"
"Hadir, Bu!"
"Kenzo?"
Bu Ashanty, seorang guru fisika yang menyandang gelar sebagai guru killer tengah mengabsen siswanya.
"Kenzo?" panggilnya sekali lagi ketika tidak mendengar sahutan, dengan tetap memandangi buku agenda absennya.
"Kenzo?" panggilnya lebih keras sembari mengalihkan pandangannya, mencari keberadaan Kenzo.
"Kenzo tidak masuk?"
"Masuk, Bu!" seru Gabriel, sembari menunjuk ke arah meja Kenzo.
Bu Ashanty hanya melihat tasnya saja di sana, "Gabriel, apa kau mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata?" selidiknya.
Anak-anak di sana mendadak merinding dan melemparkan tatapan aneh kepada Gabriel.
"Tidak, Bu. Maksud saya, karena tasnya ada, berarti Kenzo masuk, begitu." tutur Gabriel.
"Lalu, di mana sekarang raganya?" desak Bu Ashanty.
"Tadi Kanaya pingsan, Bu. Jadi Kenzo menemaninya di UKS," jelasnya.
Bu Ashanty mengerutkan keningnya, "Kanaya? Siapa Kanaya?"
"Anak kelas 10 IPA, Bu. Yang kelasnya di lantai 2," tambahnya.
"Maksud saya, dia itu siapanya Kenzo? Apa dia sepenting itu sampai Kenzo harus menemaninya di UKS?"
Para siswi di kelas tersebut menatap Gabriel, menuntut jawaban yang sebenarnya mengenai hubungan Kenzo dan Kanaya yang belum mereka ketahui.
"Mereka itu ... "
"Maaf, saya terlambat, Bu." Kenzo datang, tepat di saat Gabriel akan mengungkap yang sebenarnya.
"Et, et, et, mau ke mana kau?" cegah Bu Ashanty dengan merentangkan penggaris raksasanya yang selalu ia bawa sewaktu Kenzo hendak menuju mejanya.
"Mau duduk," sahut anak itu, singkat.
"Tidak bisa!" Bu Ashanty membenarkan kaca mata besarnya yang selalu kedodoran, "karena kau terlambat, tulis materi ini di papan tulis!" lanjutnya, memberi sedikit hukuman.
"Saya tidak bisa," Kenzo menolak buku tebal yang Bu Ashanty sodorkan.
"Jadi, kau lebih memilih membersihkan toilet?" ujarnya dengan berkacak pinggang.
Dengan segera, Kenzo meraih bukunya dari tangan Bu Ashanty.
"Saya akan menulisnya, Bu."
Bagaikan dapat melihat indahnya gerhana dengan matatelanjang, para siswi di kelas bersorak girang dalam hatinya.
Biasanya, mereka selalu mencuri pandang dengan susah payah ke arah meja Kenzo yang terletak di barisan paling belakang, kini mereka dapat melihatnya dengan mudah.
"Baiklah, Ken. Ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhirmu menulis di depan kelas seperti ini." gumam Kenzo dalam hatinya, menderita.
Eksklusif, hanya di kelas 12 IPA kejadian langka ini dapat terjadi.
"Semangat, Ken!" teriak Gabriel.
"Semangat, Kenzo!" Semua siswi mengikutinya.
Kenzo hanya bisa mencebik dalam hatinya. Rasanya, ia ingin menyumpal mulut besar Gabriel dengan tinta spidol yang sedang ia pegang.
"Ken, tulisannya yang jelas, dong. Agar teman-temanmu dapat melihatnya dengan mudah!" kritik Bu Ashanty.
Kenzo menghembuskan nafas kasarnya.
"Tidak apa-apa, Bu. Kita sudah melihatnya dengan jelas, ya 'kan?" Salah satu siswi melakukan pembelaan.
"Ya, benar!" sorak siswi lainnya.
Bagaimana tidak? Mulai dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, mereka melihat Kenzo dengan jelas. Mengenai tulisannya, memang benar, mereka sampai kesulitan untuk melihatnya.
Seperti pegunungan yang tak beraturan, tulisan Kenzo di papan tulis terkandang menurun, terkadang pula menanjak. Ukuran tulisannya pun sangat kecil menyerupai barisan semut yang merayap.
Masa bodoh dengan bentuk tulisannya yang tidak sedap dipandang, yang penting hari ini ia tidak dihukum untuk membersihkan toilet.
"Ken, apa kau sedang menggambar semut berjalan di sana?" protes Ryo, siswa yang terkenal badung di SMA Raya Agung.
"Ryo, jika tidak kelihatan, pindahlah ke depan! Jangan membuat kegaduhan!" tukas Ciara, yang merupakan wakil Ketua Murid di kelas itu.
Ryo menatap tajam Ciara, tanpa sadar bahwa dirinya tengah tertusuk oleh tatapan yang lebih tajam dari Gabriel di sana.
"Berani-beraninya kau menatap dia seperti itu!" batin Gabriel, marah.
"Kau tidak tidur, Ryo?" sindir Kenzo kepada si badung yang selalu tidur di sepanjang jam pelajarannya.
"Sudah, sudah, jangan ribut. Ken, duduklah di mejamu!" ujar Bu Ashanty mengambil alih tugas Kenzo.
Kenzo menduduki mejanya yang berada di samping Gabriel. Sementara Ryo, masih menatapnya dengan tidak suka.
Menyadari hal itu, Gabriel sedikit menyondongkan tubuh besarnya untuk menghalau tatapan Ryo kepada Kenzo, kebetulan mejanya berada di antara mereka berdua.
Kenzo dan Ryo adalah siswa yang sering kali bertentangan. Ryo tidak pernah membuat masalah dengan siswa lain kecuali Kenzo. Entah itu karena dirinya iri atau muak, mengingat kebanyakan siswi di sana selalu mengagung-agungkan Kenzo.
Setelah selesai menulis materi pelajarannya, Bu Ashanty pun menjelaskan dengan rinci. Semua siswa pun fokus untuk mendengarkannya. Sedangkan Ryo, anak itu lebih memilih untuk melipat kedua tangan di atas mejanya, kemudian kembali tertidur di sana.
Bu Ashanty sudah terbiasa dengan hal itu, ia membiarkan Ryo tertidur di sana dari pada anak itu membuat kegaduhan.
Selang satu jam kemudian, bel berbunyi dengan nyaring membuat suasana kelas mendadak gaduh.
"Huh, akhirnya!" Gabriel meregangkan punggungnya yang kaku setelah bertahan dengan pelajaran Bu Ashanty yang menegangkan. Bukan hanya gurunya yang galak, pelajarannya pun tak kalah galak.
Gabriel beranjak untuk menghampiri Ciara di mejanya, " hay, Ciara. Mau ke kantin?" Mode buaya darat, on.
"Tidak," jawabnya cuek sembari mengemas barang-barangnya ke dalam tas.
Gabriel duduk di meja depan Ciara, kemudian memandang gadis pemilik rambut sebahu itu dengan lekat.
"Ciara, apa kau masih marah denganku?" tanya Gabriel.
"Apa masalahmu? Kita sudah putus." jawab Ciara, pedas.
"Kau tidak bisa memutuskanku secara sepihak, Ciara ..." ucap Gabriel merengek kepada sang mantan.
Ciara menghentikan aktifitasnya, "pacarmu banyak, kenapa kau masih menginginkanku?"
"Ciara, kau salah paham mengenai hal itu. Pacarku hanya kau satu-satunya," elak Gabriel.
"Sudahlah, aku sedang malas berdebat denganmu!" Ciara berlalu dari hadapan Gabriel setelah selesai mengemas barangnya.
"Ciara! Ciara!" panggil Gabriel.
Namun punggung gadis itu telah lenyap di balik pintu kelasnya, meninggalkan Gabriel di sana.
Playboy kelas kakap itu menghampiri meja Kenzo dengan lemah, letih, lesu, dan tidak berdaya setelah ia gagal lagi mendapatkan hati Ciara kembali.
"Ken, Ciara menolakku lagi," keluhnya.
"Itu bukan urusanku." ucap Kenzo sembari memainkan ponselnya.
Gabriel hanya bisa meratapi nasibnya sendiri yang pelik untuk meraih cinta Ciara kembali.
"Kalau begitu, untuk menghibur hati yang lara ini, bagaimana kalau kita ke kantin dan memesan makanan yang enak-enak di sana?" ajak Gabriel, puitis.
"Ayo." jawabnya singkat.
"Hey, mau ke kantin ya?" Tidak ada hujan, tidak ada badai, Ryo tiba-tiba saja mengalungkan tangannya ke bahu Gabriel dengan sedikit berjinjit mengingat dirinya sedikit lebih pendek.
Dengan spontan, Gabriel melepaskan tangan Ryo darinya, "apa kau butuh teman, sekarang?" ejeknya.
Ryo memang terkesan selalu terlihat sendiri. Bukan karena cupu, namun tidak ada yang berani mendekatinya. Tidak ada yang bisa menyeimbangi kenakalannya. Anak itu selalu berbuat nekat dan tidak pernah berpikir dua kali.
"Hati-hati dengan ucapanmu, Gabriel!" bisik Ryo, membuat bulu kuduk Gabriel mendadak berdiri.
"Ayo, Riel." Kenzo berlalu dari sana tanpa menghiraukan Ryo.
Gabriel pun mengikutinya. Ryo menyunggingkan sebelah sudut bibirnya sembari menatap kepergian Kenzo dengan sinis.
"Kanaya ... Kenzo ... Kanaya ... Siapa dia?" gumam Ryo, dengan maksud terselubung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments