...***...
Mereka semua tertawa terbahak-bahak setelah mendengarkan apa yang dikatakan oleh teman mereka. Tapi tidak dengan Putri Andhini Andita, ia sangat marah dengan apa yang dikatakan oleh mereka.
"Laknat! Sungguh kurang ajar sekali!."
Putri Andhini Andita telah kehilangan kesabarannya. Amarahnya memuncak begitu saja, dan ia tidak bisa mengendalikan amarahnya.
"Lancang sekali kau berkata seperti itu." Amarahnya semakin besar. "Meskipun aku seorang wanita? Aku tidak akan melakukan apa yang telah kau katakan tadi!." Ia memasang kuda-kuda, tidak lupa kedua pasang golok yang ada di tangannya saat ini.
"Tenanglah nimas, aku akan membantu nimas menghajar laki-laki biadab seperti mereka." Pemuda yang ada di belakang Putri Andhini Andita juga tidak terima. "Tidak semua laki-laki itu biadab!." Ucapnya membela diri. "Namun kalian telah menodai harga diriku, harga diri laki-laki baik di muka bumi ini." Hatinya terasa jengkel. "Maka atas nama Gusti Prabu candana kumara!." Suaranya keras. "Saya akan menangkap kalian! Supaya menerima hukuman yang berat dari gusti prabu."
"Tidak usah banyak bicara!." Balasnya. "Kami masih mau bermain-main dengan kalian."
Ketuanya memberi tanda untuk menyerang kedua orang yang telah berniat untuk menghalangi mereka berbuat apa yang mereka inginkan.
Pada hari itu terjadilah pertarungan yang mempertahankan hak, dan keinginan masing-masing yang mereka anggap itu adalah sebuah kebenaran dari diri mereka masing-masing. Putri Andhini Andita berhadapan dengan dua orang, dan pemuda itu berhadapan dengan tiga orang. Pertarungan yang sangat cepat, karena ilmu kanuragan yang mereka miliki tidak bisa diremehkan begitu saja.
Putri Andhini Andita menggunakan golok kembar yang ia terima dari sahabatnya, ia gunakan untuk menghadang mereka yang mencoba menyerangnya. Ia salurkan tenaga dalamnya ke golok kembar itu, sehingga ayunannya lebih cepat, kuat dan bertenaga. Beberapa kali hampir saja mencium tubuh musuhnya. Sehingga mereka sedikit kewalahan, tapi masih bisa mereka atasi dengan baik.
Keduanya melompat, dan terus melompat jika tidak ingin terkena serangan itu. Karena mereka tidak menduga sebelumnya, jika wanita yang telah mereka remehkan ternyata memiliki keterampilan ilmu kadigjayaan yang lumayan hebat. Jurus pukulan angin di ruang hampa memang sangatlah sulit untuk ditebak. Bahkan ayunan golok kembar itu seperti tarian yang menipu gerakan mereka. Hingga akhirnya lengan mereka menjadi sasaran yang sangat empuk.
Srakh!. Srakh!.
"Keghakh!."
Keduanya spontan langsung melompat ke belakang untuk menghindari serangan Putri Andhini Andita yang sangat tidak bisa terkendali lagi.
"Kurang ajar! Ternyata dia tangguh juga."
"Kau akan membayar apa yang telah kau lakukan!."
Keduanya mengumpat, sungguh sakit sekali bekas luka yang mereka dapatkan. Tidak menduga sama sekali, jika musuh yang mereka remehkan ternyata memiliki jurus yang sangat aneh.
"Tidak usah banyak bicara!." Ia kesal. "Akan aku buat kalian menjerit pilu dengan golok kembar ku ini!." Ia tersenyum lebar. "Mulut lancang! Serta sikap kurang tidak sopan itu! Akan aku hapus selamanya." Penampilannya terlihat menyeramkan. "Tidak ada gunanya kalian hidup, jika hanya berbuat keji." Putri Andhini Andita kembali memasang kuda-kuda untuk menyerang mereka.
"Kau tidak usah jumawa dulu!." Balasnya kasar. "Akan aku habisi kau!." Tunjuknya kesal. "Wanita itu memang pantas berada di bawah! Dan kau!." Sorot matanya semakin tajam. "Harus terima takdir itu! Dan jadilah wanita baik." Ia menyeringai lebar. "Yang dapat menghibur kami, dengan erangan penuh kenikmatan."
"Kau akan ketagihan setelah mendapatkannya." Ia tertawa keras. "Aku jamin itu, hahaha!."
Setelah berkata seperti itu mereka kembali tertawa. Mereka berdua sama sekali tidak takut dengan ancaman Putri Andhini Andita yang telah mendidih terbakar mendengarkan apa yang mereka katakan.
"Aku tidak takut lagi, ataupun ragu untuk membinasakan kalian!." Hatinya terbakar amarah. "Akan aku tunjukkan kekuatan dari seoPutri Andhini Andita menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam golok kembar yang ada di tangannya saat ini. Sepertinya Putri Andhini Andita telah siap dengan apa yang akan ia terima nantinya.
...***...
Kediaman Senopati Agung Adjaya.
"Semua energi jahat sedang berkumpul di sana." Jaya Satria terus menjelaskan. "Jika pedang pembangkit raga dewi suarabumi tidak segera ditenangkan, istana alam raya bisa hancur."
Deg!.
"Gusti Prabu mengetahuinya?." Senopati Agung Adjaya panik. "Apakah Gusti Prabu? Bisa membantu kami?."
"Tentu saja bisa."
"Tapi tidak mudah ke sana paman Senopati."
"Benar yang dikatakan Gusti Putri." Caraka bersuara. "Penjagaan di sana sangat ketat sekali." Lanjutnya. "Belum lagi penghuni di sana." Ia bergidik ngeri. "Mereka memiliki kekuatan yang sangat tidak normal."
"Lantas? Apa yang harus kita lakukan paman Senopati?." Raden Wijaya Utama panik. "Tidak mungkin, kita membiarkan begitu saja?."
"Raden tenang saja." Ucap Jaya Satria. "Saya yang akan ke sana."
"Itu sangat berbahaya sekali Gusti Prabu." Putri Renata Diyah Suri cemas. "Ayahanda kami, tidak akan membiarkan Gusti Prabu ke sana."
"Nimas tenang saja." Jaya Satria tersenyum kecil, ia kembali mengenakan topeng penutup wajah. "Cukup, bantu saja masuk ke sana saja."
"Bagaimana raka?."
"Akan saya pikirkan caranya." Jawabnya. "Tapi tidak untuk hari ini."
"Kalau begitu, ajak saja saya jalan-jalan sebentar."
"Tapi itu akan berbahaya-."
Deg!.
Mata mereka terbelalak terkejut, melihat Jaya Satria mengubah wajahnya?.
"Baiklah, saya yang akan mengajak Gusti Prabu." Raden Wijaya Utama memberi hormat. "Untuk jalan-jalan di kota Raja."
...***...
Istana Suka Damai.
"Ibunda?."
"Oh? Nanda Prabu."
Saat itu Prabu Asmalaraya Arya Ardhana bertemu dengan Ratu Gendhis Cendrawati, dan Ratu Dewi Anindyaswari.
"Mau ke mana ibunda?."
"Kami mau jalan-jalan sebentar."
"Di mana yunda agniasari ariani?."
"Ananda Putri agniasari ariani berada di taman istana." Jawab Ratu Dewi Anindyaswari.
"Baiklah ibunda." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana tersenyum kecil. "Nanda akan menemui yunda agniasari ariani."
"Kalau begitu, ibunda pergi sebentar."
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Ratu Dewi Anindyaswari dan Ratu Gendhis Cendrawati segera meninggalkan tempat.
"Syekh guru ada di kota Raja saat ini." Dalam hati Prabu Asmalaraya Arya Ardhana. "Pasti bisa membantu ibunda, jika mengalami masalah nantinya."
...***...
Sementara itu pemuda yang ditolong oleh Putri Andhini Andita sedang berhadapan dengan tiga orang yang tersisa dari lima. Pertarungan mereka cukup seimbang, meskipun beberapa kali pemuda itu merasa kewalahan dengan serangan bertubi-tubi yang datang padanya. Namun pada saat itu ia lengah, hingga ia mendapatkan sebuah tendangan tepat di dadanya. Serangan yang cukup kuat, membuatnya terjajar ke belakang. Ia mengerang sakit karena tendangan itu sangat bertenaga.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!." Ia sedikit terbatuk, rongga dadanya seperti tidak memiliki oksigen lagi.
"Seharusnya kau menyerah saja senopati malakal!." Suaranya keras. "Percuma saja kau! Mau menyeret kami ke tiang gantungan!." Tatapan matanya begitu tajam. "Sementara kau?! Bahkan tidak mampu menangkap kami semua."
"Jika kau ingin ikut? Dengan apa yang kami lakukan? Silahkan saja." Ucapnya. "Kau akan merasakan kenikmatan yang luar biasa." Ia tersenyum aneh. "Kami masih menerima anggota baru, dan itu akan sangat menguntungkan bagimu."
"Ya, kau akan merasakan madu dunia." Ia merasa senang. "Dan aku yakin, kau akan ketagihan, hahaha!." Ia sampai tertawa. "Jadi? Kau tidak usah susah-susah payah lagi berurusan dengan kami."
Mereka tertawa semakin keras, sungguh tidak masuk akal sekali atas apa yang telah mereka katakan. Hanya memancing emosi yang ada di dalam diri pemuda yang dipanggil Senopati Malakala oleh mereka.
"Kalian tidak usah mengajakku ke arah yang sesat!." Amarah Senopati Malakala telah mencapai batasnya. "Aku tidak akan mengampuni kalian!." Tunjuknya kasar. "Akan aku pastikan! Jika kalian sampai ke tiang gantungan!."
Pertarungan kembali terjadi, dan mereka masih mempertahankan apa yang mereka anggap itu adalah kebenaran dari diri mereka masing-masing. Sungguh pertarungan yang sangat berat, namun pada akhirnya Putri Andhini Andita dan Senopati Malakala mampu mengatasi mereka semua. Pertarungan yang tidak mudah, membutuhkan waktu untuk mengatasinya.
"Kegh!."
Mereka semua meringis kesakitan.
"Kalian bukan manusia!." Teriaknya penuh amarah. "Jika kalian manusia? Maka kalian tidak akan seganas ini!."
Duakh!.
Putri Andhini Andita menggebuk kepala pemuda yang telah berkata kurang ajar.
"Aku akan menjadi malaikat maut untuk kalian, yang sangat kurang ajar pada wanita."
Mata Putri Andhini melotot lebar, menatap mereka yang telah tidak berdaya lagi. Hanya terduduk di pasir pantai dengan keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Kalian telah berani menghina, dan merendahkan harga diri wanita." Hatinya terbawa amarah. "Kalian ini lahir dari wanita bukan?." Ia semakin marah. "Lancang sekali mulut, serta sikap kalian!."
Putri Andhini Andita hanya menyimak dari apa yang mereka katakan, meskipun ia tidak mengerti apa akar dari permasalahan yang terjadi sebenarnya.
"Mereka sangat kurang ajar sekali nimas." Ucapnya. "Beberapa kali mereka melakukan hal yang sangat keji." Ia menghela nafas. "Saya sampai bosan mendengar laporan tentang mereka."
...***...
Jaya Satria dan Raden Wijaya Utama saat ini berada di kota Raja.
"Rakanda?."
"Oh? Rayi laksana?." Balasnya. "Kau jalan sendirian saja?."
"Aku malas sekali ke istana." Jawabnya. "Rakanda sendiri mengetahuinya bukan? Kalau aku sedang dicurigai oleh ayahanda Prabu."
Tap!.
Raden Wijaya Utama menepuk pelan pundak adiknya. "Jangan sampai ketahuan."
"Itu tidak akan terjadi." Ia tersenyum kecil. "Siapa yang datang bersamamu rakanda?." Ucapnya aneh. "Kau memiliki pengawal baru?."
"Oh? Beliau-."
"Hormat hamba Raden."
Deg!.
Raden Wijaya Utama terkejut melihat Jaya Satria memberi hormat?. Dan merendahkan diri.
"Hamba adalah pengawal baru Gusti Raden wijaya."
"Rakanda sangat luar biasa sekali." Pujinya. "Memiliki pengawal yang lebih muda."
"Beliau-."
Raden Wijaya Utama tampak ragu, apalagi melihat Jaya Satria memberi kode.
"Maaf Raden." Bisik Jaya Satria. "Sepertinya saudara Raden, sedang diincar seseorang." Matanya melirik ke arah Raden Laksana Utama. "Jika tidak diusir, jin pemakan jiwa itu, akan menyedot jiwa adik Raden dengan ganas."
Deg!.
Tanpa pikir panjang lagi, Raden Wijaya Utama langsung menyeret tangan Raden Laksana Utama.
"Eh? Ada apa rakanda?."
Raden Laksana Utama bingung dengan apa yang dilakukan oleh Raden Wijaya Utama, apa yang terjadi sebenarnya?. Apa yang dilihat Jaya Satria sebenarnya?. Kenapa ia bisa berkata demikian?. Temukan jawabannya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments