...***...
Kediaman Senopati Agung.
Senopati Agung Adjaya, Raden Wijaya Utama, dan Putri Renata Diyah Suri menatap Jaya Satria penuh tanda tanya.
"Hamba menghadap Gusti." Ia memberi hormat.
"Caraka, kau sudah kembali dari kerajaan suka damai?." Ucapnya aneh. "Siapa yang datang bersamamu?."
"Beliau adalah keluarga dari Gusti Prabu bahuwirya cakra bagaskara."
"Benarkah?."
Spontan mereka berdiri, tidak menduga atas apa yang telah dikatakan oleh Caraka?.
"Kau telah menemukan keluarga Gusti Prabu cakra bagaskara?." Senopati Agung Adjaya tidak percaya. "Kau jangan bercanda dengan saya!." Ada amarah di hatinya.
"Jika dia memang keluarga Gusti Prabu cakra bagaskara?." Raden Wijaya Utama mengamati Jaya Satria. "Harusnya dia orang tua, bukan bocah yang bahkan lebih muda dari saya!." Suaranya keras. "Apakah kau? Sedang bermain-main dengan saya? Caraka!."
"Mohon maaf Gusti Raden." Ia memberi hormat. "Tapi beliau benar-benar keturunan Gusti Prabu bahuwirya cakra bagaskara." Jelasnya.
"Atas dasar apa? Kau berkata demikian?." Senopati Agung Adjaya menatap tajam. "Coba jelaskan."
"Tuan jaya satria."
"Tuan?."
Mereka semakin bingung.
"Kau memanggil tuan pada bocah ingusan ini?." Putri Renata Diyah Suri mendengus kesal. "Kau ini pasti sudah ditipu olehnya!."
"Tapi beliau-."
"Sudahlah tuan caraka." Jaya Satria menghela nafas pelan. "Saya datang ke sini bukan untuk mencari keributan." Ia menatap mereka semua. "Eyang Prabu bahuwirya cakra bagaskara, beliau meminta bantuan pada saya." Jelasnya. "Untuk menyelamatkan negeri ini." Jaya Satria mengeluarkan sebuah keris. "Saya harus menuju bangunan tua di istana alam raya."
Deg!.
"Kau mengetahui tentang bangunan tua di istana alam raya?."
"Siapa kau sebenarnya?."
"Apakah saya boleh menyelami pikiranmu sebentar?."
"Untuk apa?."
Jaya Satria melihat kesungguhan dari sorot mata Putri Renata Diyah Suri.
...***...
Putri Andhini Andita dan Raden Jatiya Dewa telah meninggalkan Istana Melarang. Mereka menggunakan kereta kuda, sebagai hadiah dari Prabu Candana Kumara, walaupun kecewa lamaran anak sang Prabu ditolak Putri Andhini Andita.
"Ada apa jatiya dewa? Kau terlihat murung." Ucapnya sambil memperhatikan Raden Jatiya Dewa dari kursi belakang. "Apa yang sedang kau pikirkan? Jalan kereta kudanya agak aneh."
"Maafkan aku." Balasnya cepat. "Aku hanya sedang berpikir, kau mengembara sampai ke negeri ini."
Putri Andhini Andita terkekeh kecil.
"Aku tidak menduga, kau benar-benar akan menolak lamaran itu."
"Jangan terkejut begitu." Ia kembali terkekeh kecil. "Aku hanya tidak ingin membuat kau kecewa."
"Jujur sekali." Dadanya terasa sakit.
"Memangnya? Kau mau?." Ucapnya dengan suara pelan. "Jika aku benar-benar dipinang olehnya?."
"Aku telah mengatakan padamu andhini andita." Ia mencoba menekan apa yang ada di hatinya. "Bahwa aku hanya suka padamu saja."
Untuk sesaat mereka terdiam, tidak bersuara sama sekali. Perasaan cinta memang rumit untuk mereka rasakan.
"Jatiya dewa." Ucapnya. "Apakah kau mau? Mendengarkan sebuah cerita dariku?."
"Tentu saja."
"Baiklah, akan aku ceritakan padamu." Ia tersenyum kecil.
...***...
Kembali ke masa itu.
Putri Andhini Andita baru saja turun dari sebuah kapal yang ia tumpangi. Ia penasaran dengan negeri seberang, dan ia ingin melihat banyak negeri setelah ia pergi dari Kerajaan Melarang.
Namun beberapa langkah dari bibir pantai, ia melihat ada seorang pemuda yang sedang diserang oleh beberapa orang pemuda lainnya. Sepertinya mereka terlibat dalam sebuah masalah yang sangat belum ia ketahui, tapi sepertinya pertarungan itu sangat tidak seimbang. Putri Andhini Andita melompat, ia menahan serangan yang datang ke arah pemuda itu.
Trang!.
Golok kecil yang ada di punggungnya itu ia gunakan untuk menangkis semua serangan golok yang datang ke arah pemuda yang dikeroyok itu. Tentunya membuat mereka terkejut, dan melompat ke belakang menghindari tebasan golok di tangan kiri Putri Andhini Andita.
"Kurang ajar!."
Mereka semua mengumpat keras, hampir saja perut mereka terkena sayatan dari golok itu. Setidaknya ada lima orang yang menyerang pemuda itu.
"Hei! Siapa kau?." Tunjuknya kasar. "Berani sekali kau ikut campur?!." Bentaknya. "Apakah kau sudah bosan hidup? Hah?!."
"Hanya lelaki pengecut! Yang main keroyokan." Balasnya. "Meskipun aku tidak mengetahui apa permasalahan kalian?." Ia mengamati mereka. "Tetap saja kalian adalah lelaki pengecut! Yang hanya bisa main keroyokan."
"Bedebah!." Umpatnya kasar. "Kau tidak usah banyak bicara!."
"Di dunia persilatan, tidak ada yang namanya pertarungan yang adil!." Balasnya. "Yang ada hanya kalah? Atau menang?!."
"Kau hanyalah wanita!." Ia menatap jengkel. "Sebaiknya kau tidak usah ikut campur urusan laki-laki!."
"Bagaimana kalau kau melayani kami saja?!." Matanya memperhatikan penampilan Putri Andhini Andita. "Lumayan juga wajahmu, cukup ayu, untuk mendesah di bawah kami."
Setelah itu mereka malah tertawa mengejek, dan sangat merendahkan Putri Andhini Andita.
...***...
Sebuah pertemuan.
"Dia sudah mulai bergerak." Ucapnya. "Kita juga harus bergerak."
"Tapi saat ini Gusti kita sedang sakit."
"Kita harus segera mengobatinya."
"Ya, jangan sampai kita gagal."
"Baiklah, akan aku cari dukun yang sakti mandraguna."
Dalam pertemuan itu mereka membahas masalah yang sangat tidak biasa. Sepertinya negeri Alam Raya akan dihiasi oleh pemberontak yang tidak ada habisnya.
"Kalau begitu kita mulai bergerak."
"Baik."
...***...
Kediaman Patih Jaya Giri.
Nyai Suwarti menangis sedih, karena keadaan Patih Jaya Giri yang belum sembuh juga.
"Siapa yang tega memperlakukan suami saya seperti ini?." Ratapnya dalam tangisan pilunya. "Dosa apa? Yang telah dilakukan oleh suami saya? Sehingga ia memperlakukan suami saya seperti ini?."
Saat itu Dharmapati Alambana dan beberapa prajurit datang.
"Hormat saya nyai."
"Adi Dharmapati."
"Saya datang, sebagai utusan Gusti Prabu." Ia kembali memberi hormat. "Kami turut berduka, atas penyakit yang diderita Gusti Patih."
Nyai Suwarti memperhatikan lagi keadaan Patih Jaya Giri yang menggigil menahan sakit.
"Saya tidak mengerti, setan mana?." Hatinya terasa sakit. "Yang ingin menyakiti suami saya?."
"Kami akan berusaha menyembuhkan Gusti Patih." Ucapnya. "Gusti Prabu sedang mencari tabib terbaik, untuk memulihkan keadaan Gusti Patih."
...***...
Kediaman Senopati Agung Adjaya.
Putri Renata Diyah Suri sedang menatap lekat mata Jaya Satria, ingin menyelami pikirannya.
Gwarrrrhhh!.
Deg!.
"Rayi!." Raden Wijaya Utama terkejut, langsung menahan tubuh adiknya.
"Apa yang terjadi Gusti Putri?." Senopati Agung Adjaya cemas. "Kenapa Gusti Putri seperti terpental?."
"Saya dihadang oleh Sukma naga bumi." Jawabnya. "Di dalam tubuhnya, ada sukma naga bumi."
"Apa?!."
"Siapa kau sebenarnya?." Ia menahan gejolak di tubuhnya. "Kenapa kau memiliki sukma naga bumi?."
Deg!.
Mata mereka hampir saja copot, melihat Jaya Satria mengeluarkan pedang Sukma Naga Pembelah Bumi.
"Sukma naga bumi berasal dari pedang ini." Jaya Satria menjelaskan. "Pedang ini, namanya pedang panggilan jiwa."
Deg!.
Rasanya mereka tak ada henti-hentinya terkejut.
"Pedang panggilan jiwa?."
"Hanya keluarga bahuwirya yang memiliki pedang panggilan jiwa." Jelasnya. "Termasuk salah satunya adalah eyang Prabu bahuwirya cakra bagaskara." Jaya Satria kembali mengeluarkan pedang panggilan jiwa. "Pedang ini namanya pedang sukma naga pembelah bumi." Lanjutnya. "Sedangkan milik eyang Prabu bahuwirya cakra bagaskara, pedang itu bernama pedang pembangkit raga sukma dewi suarabumi."
"Pedang panggilan jiwa itu memang bernama, pedang pembangkit raga dewi suarabumi." Raden Wijaya Utama menatap curiga. "Jadi? Kau benar-benar keluarga dari Gusti Prabu cakra bagaskara?."
"Nama saya bahuwirya cakara casugraha." Jaya Satria melepaskan topeng penutup wajah. "Eyang Prabu bahuwirya cakra bagaskara, beliau adalah putra Raja dari generasi ke 8." Jelas Jaya Satria. "Putra dari eyang Prabu wijaksana arya tresna." Jaya Satria mengingat lagi silsilah keluarga Bahuwirya. "Sementara itu saudara kandung beliau, Eyang Prabu adiwarna arya karsa, beliau memiliki putra yang menjadi Raja generasi ke 9 di suka damai." Jaya Satria menyimpan kembali pedang panggilan jiwa. "Sampai pada ayahanda saya, Raja ke 13." Ia tersenyum kecil. "Walaupun tidak memiliki darah langsung dari eyang Prabu cakra bagaskara." Lanjutnya. "Tapi tetap saja, beliau adalah saudara kandung dari Raja ke 8, yang merupakan eyang buyut Prabu saya."
"Rupanya sudah sejauh itu." Respon Senopati Agung Adjaya. "Apakah kau? Bisa mengatakan pada ayahandamu?." Ucapnya penuh harapan. "Supaya beliau membantu kami, untuk menyelesaikan masalah di sini?."
"Sayang sekali." Balasnya. "Saat ini, saya yang berkuasa di suka damai."
Deg!.
"Kau adalah seorang Raja?."
"Ya, saya Raja muda dari suka damai."
Untuk sesaat mereka terdiam, bingung mau menanggapi apa?.
"Apa yang bisa saya lakukan?." Ucapnya. "Saya lihat, bangunan tua di istana alam raya." Sorot matanya semakin tajam. "Seperti hendak meledak, oleh tekanan tenaga gaib yang sangat besar."
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Temukan jawabannya. Next.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments