...***...
Istana Melarang.
"Terima kasih saya ucapkan nimas putih." Senyumannya mengembang begitu saja. "Nimas telah menyelamatkan saya."
"Semua terjadi karena Allah, hamba hanya perantara saja Gusti Raden."
"Kau memang sangat baik sekali nimas."
"Jika tidak ada kau?." Ucapnya dengan perasaan sedih. "Kami akan kehilangan putra yang kami cintai."
"Katakan, apa yang bisa kami berikan?." Ucap Prabu Candana Kumara. "Sebagai imbalan, atas apa yang telah kau lakukan, nimas putih."
"Terima kasih Gusti Prabu." Ia memberi hormat. "Bagi hamba, kesehatan Gusti Raden adalah hal yang paling penting." Ia tersenyum kecil. "Kesehatan Gusti Raden, itu adalah hadiah paling istimewa bagi hamba."
"Oh? Nimas putih." Ratu Ayundari Paramita tersenyum lembut. "Kau memang wanita yang sangat baik sekali." Ia terkesan. "Selain cantik, hatimu sangat luar biasa."
"Gusti Ratu jangan memuji hamba." Ucapnya malu-malu. "Nanti hamba bisa besar kepala."
"Hahaha!."
Terdengar suara tawa mereka, merasa lucu dengan apa yang diucapkan oleh Putih.
"Apakah kau masih melakukan pengembaraan nimas?." Raden Candana Arga menatap lembut. "Kali ini? Negeri mana yang kau singgahi?."
"Saya mengabdikan diri di istana kerajaan suka damai." Ia memberi hormat. "Hamba dapat pekerjaan bagus di sana."
"Apakah kau? Tidak mau mengabdikan diri di istana ini?."
Deg!.
Putri Andhini Andita merasa bungkam, karena selama ini menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Putri Raja. Apakah ia akan berterus terang?.
...***...
Istana Suka Damai.
"Ibunda."
"Nanda Prabu ada dua?." Ratu Gendhis Cendrawati heran. "Ada apa nanda Prabu?."
"Saya akan menuju kerajaan alam raya." Jaya Satria memberi hormat. "Saya mohon izin pada ibunda, agar menuju ke sana."
"Kerajaan alam raya?."
Ratu Dewi Anindyaswari dan Ratu Gendhis Cendrawati heran.
"Apa yang akan nanda Prabu lakukan di sana?." Ratu Dewi Anindyaswari cemas. "Katakan pada kami."
"Nanda mendapatkan pandangan dari mendiang eyang Prabu cakra bagaskara."
"Eyang Prabu cakra bagaskara?."
"Benar sekali ibunda."
"Coba katakan pada kami, apa yang dikatakan beliau?."
Prabu Asmalaraya Arya Ardhana hanya menyimak saja, karena Jaya Satria yang menjelaskannya.
"Eyang Prabu cakra bagaskara, beliau adalah putra dari eyang Prabu wijaksana arya tresna." Jelas sang Prabu. "Beliau adalah keluarga bahuwirya."
Ratu Dewi Anindyaswari dan Ratu Gendhis Cendrawati belum bereaksi sama sekali.
"Tapi beliau melakukan pengembaraan, dan mendirikan sebuah kerajaan yang sangat jauh sekali dari istana ini."
"Beliau meminta bantuan pada nanda Prabu?."
"Benar sekali ibunda."
"Masalah apa yang terjadi? Sehingga beliau meminta bantuan pada nanda Prabu?."
"Beliau sudah lama tiada ibunda."
Deg!.
"Beliau meminta, agar datang ke sana." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana kembali menjelaskan. "Beliau takut, kerajaan yang didirikan, dipimpin oleh Raja yang zalim."
"Astagfirullah hal'azim ya Allah."
"Masih saja ada orang kejam di dunia ini?."
"Manisa akan selalu ada yang baik, juga ada yang tidak baik ibunda."
"Ya, nanda Prabu benar." Ratu Gendhis Cendrawati menghela nafas panjang.
"Lantas? Kapan nanda Prabu? Akana berangkat ke sana?."
"Secepatnya ibunda."
"Tapi, yundamu." Ratu Gendhis Cendrawati cemas. "Ia belum kembali, begitu juga dengan raka mu nanda hadyan hastanta."
"Saya akan singgah sebentar ke padepokan al-ihlas." Jawab sang Prabu. "Semoga saja Syekh guru bisa membantu nantinya."
"Bagaimana menurutmu rayi?."
"Ibunda harap, nanda selalu berhati-hati dalam bertindak." Ucap Ratu Dewi Anindyaswari dengan lembut. "Jika ada kendala? Nanda harus segera memberi kabar ke istana ini, ya?."
"Tentu saja ibunda."
...***...
Perjalanan caraka menuju istana Suka Damai.
Saat itu ia melihat ada sosok lelaki yang seakan menuntut jalannya.
"Aku merasakan hawa yang sangat kuat darinya." Dalam hatinya terus memperhatikan itu. "Siapa lelaki itu sebenarnya?."
Tentunya menjadi tanda tanya baginya, rasa penasaran itu semakin kuat di hatinya. Ia tidak ingin melewatkan hal yang nantinya akan menjadi petunjuk, untuk mendapatkan informasi mengenai Prabu Cakra Bagaskara. Namun saat itu ia melihat sosok besar, tak jauh dari gerbang yang dilewati sosok Raja itu.
"Kau mau ke mana anak manusia?."
"Maafkan saya eyang." Ia memberi hormat. "Saya hendak mengikuti sukma sang Prabu."
"Berhati-hatilah anak manusia." Balasnya. "Kondisi sang Prabu saat ini sedang terganggu."
"Apa maksud eyang?."
"Kondisi sang Prabu, tidak bisa tenang." Jawabnya. "Sukmanya menyaksikan banyak ketimpangan yang terjadi di negeri ini." Sorot matanya tampak kosong. "Sukmanya terguncang, dan meminta bantuan pada negeri, tempat ia dilahirkan."
"Apakah eyang mengetahui sesuatu tentang Gusti Prabu?."
"Tidak banyak yang saya ketahui." Ia melihat ke arah jejak sukma Prabu Cakra Bagaskara. "Hanya punya sedikit cerita tentang beliau."
...***...
Kediaman Ratu Rara Ambarwati.
"Bagaimana rayi?." Raden Wijaya Utama tersenyum kecil. "Kau berhasil melakukannya?."
"Raka jangan anggap remeh kemampuan saya." Ia terlihat percaya diri. "Saya ini sangat ahli sekali."
"Hahaha!."
"Hmph!." Putri Renata Diyah Suri kesal. "Terus saja tertawa, hingga gigi raka terlepas." Ketusnya.
"Baiklah, maafkan saya." Raden Wijaya Utama berusaha menahan tawanya. "Lantas? Bagaimana dengan keadaan Putri lestari?." Kali ini ia tampak cemas. "Apakah ia baik-baik saja?."
"Saya telah mencari informasinya raka." Jawabnya. "Saya bertanya pada emban dan prajurit di sana."
Ingatannya seakan-akan tertuju pada apa yang telah ia lakukan di kediaman Patih Jaya Giri.
"Dahulunya ia tidak seperti itu." Jelasnya. "Ia selalu bertentangan dengan keluarganya sendiri, hingga akhirnya ia gila seperti itu."
"Apakah menurutmu? Dia seperti itu?." Ada perasaan tidak enak di hatinya. "Ulah keluarganya sendiri?."
"Ketika saya hendak menyelami pikirannya." Ia sedikit menghela nafas. "Ada kekuatan gaib yang menghalanginya raka."
"Kasihan sekali dia."
"Saya akan melindunginya raka."
"Tapi jangan sampai terbawa suasana." Ia tersenyum kecil. "Bisa saja itu jadi jebakan untukmu nantinya."
"Saya akan selalu berhati-hati raka."
"Bagus kalau begitu."
...***...
Raden Jatiya Dewa dan Senopati Malakala sedang menunggu di wisma putra mahkota. Mereka berdua melihat Putih keluar dari dalam wisma dengan raut wajah sedikit sedih.
"Nimas putih?."
"Apa yang terjadi nimas putih?."
"Katakan pada kami apa yang telah terjadi nimas." Raden Jatiya Dewa mengamati Putih. "Mungkin kami bisa membantu mu."
"Saya baik-baik saja." Ia tersenyum kecil. "Raden candana arga telah sembuh."
"Syukurlah kalau begitu." Senopati Malakala merasa lega.
"Lalu? Kenapa kau terlihat sedih seperti itu nimas putih?."
Raden Jatiya Dewa merasakan suasana hati yang berbeda dari yang sebelumnya.
"Saya baik-baik saja, hanya sedikit lelah saja." Jawabnya. "Saya akan beristirahat di wisma tamu. "
"Baiklah." Responnya. "Kalau begitu beristirahat lah." Raden mencoba memahami keadaan Putih. "Jika ada keperluan apa-apa? Katakan saja, ya?."
Putri Andhini Andita atau Putih hanya mengangguk saja.
"Kalau begitu saya pergi dulu." Ia memberi hormat pada Senopati Malakala. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh." Ia mengucapkan salam pada Raden Jatiya Dewa.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh." Balas Raden Jatiya Dewa.
Putri Andhini Andita tidak bisa mengatakannya?.
"Maafkan aku jatiya dewa." Dalam hatinya. "Cinta yang aku rasakan terlalu sakit." Hatinya terasa sesak. "Apa yang akan kau lakukan? Jika aku katakan padamu." Ia menarik nafas dalam-dalam. "Jika Raden candana arga menginginkan aku? Untuk menjadi istrinya?."
"Andhini andita." Dalam hati Raden Jatiya Dewa. "Apa yang sedang kau tutupi dariku?." Ia merasakan ada yang aneh pada Putri Andhini Andita. "Aku harap kau baik-baik saja."
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Bagaimana hubungan mereka yang sebenarnya?. Next.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments