...***...
Halaman Istana Suka Damai.
Raden Jatiya Dewa dan Putri Andhini Andita melihat kedatangan seorang pemuda yang katanya bernama Malakala. Namun ia memanggil Putri Andhini Andita dengan nama lain.
"Nimas putih?." Raden Jatiya Dewa melihat ke arah Putri Andhini Andita.
"Oh? Gusti Senopati malakala?." Putri Andhini Andita mengingatnya, ketika ia melihat wajah itu.
"Senopati malakala?." Raden Jatiya Dewa kali ini melihat ke arah Senopati Malakala, Senopati dari kerajaan Melarang.
"Selamat datang di kerajaan suka damai, Gusti Senopati."
"Terima kasih nimas putih." Ia hanya tersenyum kecil. "Aku tidak menyangka pengembaraan mu sampai di sini." Ia mengamati penampilan Putri Andhini Andita. "Apakah kau bekerja di sini?." Ia mengikuti Putri Andhini, karena di persilahkan masuk.
"Pengembaraan? Bekerja di sini?." Dalam hati Raden Jatiya Dewa mencoba mencerna apa yang dikatakan Senopati Malakala. "Oh? Aku mengerti sekarang." Dalam hatinya lagi. "Mungkin dia adalah orang yang ditemui andhini andita, dalam pengembaraannya?." Ia menyimpulkan sendiri ucapan itu. "Tapi jika masalah bekerja? Ini rumahnya tahu."
Rasanya Raden Jatiya Dewa berkata seperti itu. Tapi jika dilihat situasinya, Putri Andhini Andita sepertinya sedang menyembunyikan siapa dirinya.
"Apa yang membuat Gusti Senopati mencari hamba?." Ucapnya. "Apakah ada hal penting? Yang ingin Gusti Senopati sampaikan pada hamba?."
Pertanyaan itu muncul begitu saja di dalam benaknya. Rasanya tidak mungkin tiba-tiba ada seseorang ingin bertemu denganmu tanpa ada alasan bukan?.
"Maaf, bisakah kita berbicara empat mata saja?." Matanya melirik ke arah Raden Jatiya Dewa yang mengikuti mereka.
"Baiklah, saya mengerti."
Raden Jatiya Dewa terpaksa mengalah, tatapan Putri Andhini Andita sungguh sangat menakutkan. Raden Jatiya Dewa terpaksa pergi dari sana, karena ia tidak mau membuat suasana hati Putri Andhini Andita memburuk padanya.
"Siapa dia nimas?." Matanya memperhatikan Raden Jatiya Dewa. "Apakah dia prajurit istana atau penggawa istana?."
Senopati Malakala penasaran dengan seorang pemuda yang tadinya bersama Putri Andhini Andita.
"Ia kerabat dekat istana." Putri Andhini Andita hanya menyebutkan seperti itu, tidak mau menyebutkan nama dan siapa Raden Jatiya Dewa. "Kadang kami menjalankan tugas bersama."
"Lalu bagaimana dengan nimas? Nimas bekerja sebagai apa di istana ini?." Untuk sekedar basa-basi ia bertanya seperti itu.
"Hamba hanya membantu saja." Ia tersenyum kecil. "Beberapa hari yang lalu terjadi masalah di istana ini." Lanjutnya. "Sama seperti di kerajaan melarang, hamba hanya membantu menyelesaikan beberapa masalah saja." Jelasnya. "Setelah itu hamba akan kembali berkelana untuk mengembara."
"Jadi begitu?." Responnya. "Sungguh luar biasa sekali nimas." Ia terkena. "Rasanya aku sangat kagum padamu." Senopati Malakala malah terpesona?. "Rasanya aku ingin segera memilikimu." Ucapnya tanpa sadar.
Putri Andhini Andita hanya tertawa kecil saja, ia melihat ekspresi Senopati Malakala yang keceplosan dalam berbicara.
"Oh? Ada hal penting yang ingin aku katakan padamu." Karena gugup, ia hampir saja lupa dengan tujuannya ke sini untuk apa.
"Apa yang ingin Gusti Senopati sampaikan pada hamba?." Ucapnya. "Semoga saja hamba bisa membantu."
"Apakah kau ingat dengan Raden candana arga?." Balasnya. "Salah satu putra mahkota dari gusti Prabu candana kumara?." Senopati Malakala membuka ingatan Putri Andhini Andita?.
"Oh? Ya." Ucapnya. "Raden yang sangat luar biasa itu?." Ia mencoba mengingatnya. "Memangnya kali ini masalah apalagi? Yang dihadapi oleh raden candana arga kali ini?."
Perlahan-lahan ia mengingatnya, bagaimana waktu itu ketika ia bertemu dengan Raden Candana Arga.
Senopati Malakala terdiam sejenak, ia menghela nafasnya dengan pelan. Sepertinya agak berat ia mengatakannya pada Putri Andhini Andita. Apakah ia akan menceritakannya?. Temukan jawabannya.
...***...
Kediaman seorang Senopati Agung.
"Hamba menghadap Gusti." Ia memberi hormat.
"Caraka, saat ini kau telah mengetahui." Ia menghela nafas berat. "Bagaimana keadaan situasi kerajaan ini, bukan?."
Ia hanya memberi hormat, sebagai respon dari ucapan atasannya.
"Sebagai orang yang saya percayakan, dalam mengumpulkan informasi penting." Ucapnya. "Saya ingin kau pergi dari kawasan ini, mencari informasi mengenai Raja pertama." Lanjutnya. "Mungkin ada nama yang sama dengan Raja kita, Gusti Prabu bahuwirya cakra bagaskara."
"Baik Gusti." Ia kembali memberi hormat.
"Berhati-hatilah caraka, kau bisa terbunuh." Hatinya terasa resah. "Jika kau lengah."
"Gusti tenang saja." Ia tersenyum kecil. "Hamba akan berusaha, mencari jejak Gusti Prabu bahuwirya cakra bagaskara."
"Saya mengandalkan mu caraka."
"Sandika Gusti."
...***...
Istana Kerajaan Alam Raya.
Prabu Reksa Utama menatap putra mahkota dengan serius.
"Istana ini sedang diguncang oleh orang-orang yang memiliki pikiran picik!." Suara sang Prabu terdengar tinggi. "Ayahanda harap, kalian tidak terpengaruh sama sekali, dengan ucapan mereka!."
"Baik ayahanda Prabu."
Ada lima orang putra mahkota yang hadir, mereka semua patuh dengan ucapan Prabu Reksa Utama.
"Katakan pada saudara-saudari kalian yang lainnya!." Tegas sang Prabu. "Jangan sampai bertentangan dengan saya nantinya!."
"Baik ayahanda Prabu."
"Dan kau?! Wijaya utama!."
"Saya ayahanda Prabu." Ia memberi hormat.
"Katakan pada saudarimu, ananda renata diyah suri!." Sorot mata sang Prabu begitu tajam. "Jangan membuat keonaran, dengan bergabung para pemberontak!." Hati sang Prabu terasa panas. "Dia akan saya gantung hidup-hidup di alun-alun kota Raja! Jika dia masih saja bersama para pemberontak!."
Deg!.
Mereka semua terkejut mendengar ucapan Prabu Reksa Utama.
"Dan kalian semua? Katakan pada saudara-saudari kalian lainnya." Ucap sang Prabu. "Akan menerima hukuman mati! Jika berani membela para pemberontak!."
"Baik ayahanda Prabu."
...***...
Istana Suka Damai.
Prabu Asmalaraya Arya Ardhana menuju wisma Putra, mengikuti sosok yang tidak biasa.
"Auranya begitu kental sekali." Dalam hati Prabu Asmalaraya Arya Ardhana merasakan perasaan tidak enak hati.
Hingga saat itu berhenti di sebuah bilik yang merupakan bilik Raden Ganendra Garjitha?.
"Kau bisa melihat saya?."
Belum ada tanggapan dari Prabu Asmalaraya Arya Ardhana.
"Siapa kau sebenarnya?."
Ia membalikkan badannya, melihat ke arah Prabu Asmalaraya Arya Ardhana.
"Di mana ayahanda Prabu wijaksana arya tresna?." Suaranya terdengar lirih. "Saya ingin meminta bantuan dari beliau."
"Maaf eyang Prabu." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana memberi hormat. "Saya cakara casugraha, saya yang berkuasa di kerajaan ini."
Sosok itu bereaksi, karena bingung mendengarnya.
"Ayahanda eyang Prabu, eyang Prabu wijaksana arya tresna, beliau sudah lama wafat."
"Tidak mungkin." Bantahnya dengan suara pilu. "Kau jangan berbohong pada saya."
"Saya tidak berbohong eyang Prabu." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana memberi hormat. "Saya memiliki bukti, bahwa saat ini saya yang berkuasa di istana ini."
Deg!.
"Bukankah? Itu adalah pedang panggilan jiwa?." Matanya memperhatikan dengan seksama. "Pedang sukma naga pembelah bumi."
"Benar sekali eyang Prabu."
"Kalau begitu saya meminta bantuan padamu." Ucapnya lirih.
"Apa yang bisa saya bantu eyang Prabu?."
Namun saat itu.
"Rayi Prabu?."
Deg!.
Prabu Asmalaraya Arya Ardhana terkejut mendengar suara seseorang yang memanggil.
"Yunda?."
"Apa yang kau lakukan di sini rayi Prabu?." Putri Andhini Andita heran.
"Aku sedang-." Prabu Asmalaraya Arya Ardhana tidak lagi melihat sosok itu.
"Ada apa rayi Prabu?."
"Tadi aku melihat ada sosok seorang laki-laki dewasa yunda."
"Laki-laki dewasa?."
"Benar yunda." Jawab Prabu Asmalaraya Arya Ardhana sambil memperhatikan keadaan sekitar. "Ia mengenakan pakaian seorang Raja, tapi aku tidak mengetahui beliau siapa?."
"Apakah dia jahat?."
"Belum tahu yunda."
"Kalau begitu, mari kita ke ruangan tamu istana." Ucapnya. "Aku kedatangan tamu jauh."
"Baiklah yunda."
Prabu Asmalaraya Arya Ardhana hanya pasrah saja, karena tidak mengetahui sosok yang datang itu.
...***...
Kediaman Ratu Rara Ambarwati.
"Dari mana kau renata diyah suri?."
Sorot mata Ratu Rara Ambarwati begitu tajam, ketika melihat Putri Renata Diyah Suri yang baru saja masuk dengan santainya.
"Ibunda." Ia memberi hormat.
"Jawab renata diyah suri." Ucapnya lagi. "Kau dari mana?."
"Saya dari kediaman raka laksana utama." Jawabnya santai. "Kami-."
"Jangan bertingkah aneh-aneh kau renata diyah suri." Tunjuknya kasar. "Sudah aku katakan! Jangan keluar dari rumah ini!."
"Ibunda."
Saat itu Raden Wijaya Utama datang, mencegah perselisihan antara ibu dan anak.
"Putraku."
"Ibunda, tenanglah." Ia tersenyum kecil. "Istirahatlah, biar saya yang menjelaskan pada rayi renata."
"Dia itu bebal, ibunda-."
"Percayalah, saya bisa menjelaskannya."
"Baiklah." Ratu Rara Ambarwati hanya pasrah saja, setelah itu menuju biliknya.
"Bisa kita bicara sebentar?."
"Tentu saja raka." Ia memberi hormat.
Keduanya menuju ruangan rahasia, agar lebih nyaman dalam berbicara.
...***...
Istana Suka Damai, ruangan keluarga.
"Mohon maaf ibunda, rayi Prabu." Putri Andhini Andita memberi hormat. "Saya meminta izin, pergi ke kerajaan melarang, untuk menemui seseorang."
"Memangnya siapa yang ananda temui di sana?." Ratu Gendhis Cendrawati cemas. "Apa yang ingin nanda lakukan di sana?."
"Apakah? Ada kenalan ananda di sana?." Ratu Dewi Anindyaswari juga cemas.
"Maaf ibunda." Ia juga memberi hormat. "Saya hanya ingin bertemu dengan Raden candana arga." Jelasnya. "Yang saat ini sedang mengalami sakit parah." Ia menghela nafas pelan. "Beliau ingin bertemu dengan ananda."
"Bukankah kerajaan itu sangat jauh sekali?." Ucapnya lagi. "Apakah ananda mengembara sampai ke sana?."
"Itu benar ibunda." Ia kembali memberi hormat. "Maaf, karena itu juga ananda agak lama kembali ke istana ini."
"Bagaimana menurut nanda Prabu?." Ratu Gendhis Cendrawati menatap cemas. "Apakah nanda Prabu? Mengizinkannya?."
Prabu Asmalaraya Arya Ardhana menatap Putri Andhini Andita, matanya penuh harapan, berharap mendapatkan izin.
"Baiklah yunda." Respon Prabu Asmalaraya Arya Ardhana. "Tapi yunda ke sana bersama Raden jatiya dewa."
"Jika bersama nanda jatiya dewa." Ucap Ratu Gendhis Cendrawati. "Ibunda akan izinkan."
"Baiklah kalau begitu ibunda." Ia tersenyum kecil. "Saya ke sana bersama Raden jatiya dewa."
...***...
Wisma tamu, saat itu Raden Jatiya Dewa menemani Senopati Malakala agar tidak bosan.
"Sepertinya tuan sangat dekat dengan nimas putih." Ucapnya. "Apakah tua kekasihnya?."
"Saya hanyalah penggawa biasa di istana ini." Jawabnya. "Kebetulan dekat dengan nimas putih." Ia merasa aneh. "Tidak aku duga, ketika ia mengembara malah menggunakan nama itu." Dalam hatinya. "Meskipun orangnya memang putih." Ia hampir saja terkekeh kecil, tapi bisa ia tahan.
"Oh begitu?." Responnya. "Tapi kau hebat sekali, bisa bersama nimas putih." Ia terkesan. "Saya yang merupakan seorang senopati saja? Tidak bisa berdekatan dengan nimas putih." Ia menghela nafas pelan. "Dia adalah wanita yang hebat sekali."
"Hahaha!." Raden Jatiya Dewa hanya merespon dengan tawa. "Tapi bagaimana bisa? Tuan mengetahui? Jika nimas putih berada di istana suka damai?." Raden Jatiya Dewa heran.
"Kalau masalah itu." Jawabnya sambil berpikir. "Saya bertanya ke seorang dukun."
"Seorang dukun?."
"Benar sekali tuan." Jawabnya. "Dia dukun yang mampu mencari keberadaan seseorang, walaupun melalui sebuah lukisan saja."
"Sebuah lukisan?."
Senopati Malakala memperhatikan keadaan sekitarnya.
"Ini rahasia ya tuan." Ucapnya berbisik. "Sebenarnya, sebelum nimas putih pergi meninggalkan istana." Jelasnya. "Raden candana arga melukis wajah nimas putih." Lanjutnya. "Beliau sangat kagum akan kecantikan nimas putih."
"Sakit, tapi tak berdarah." Dalam hati Raden Jatiya Dewa kesal. "Aku saja tak berani menatap wajahnya, tapi dia?." Dalam hatinya merasa sesak. "Diam-diam melukis wajah orang yang aku cintai?." Hatinya tidak terima.
...***...
Kediaman Ratu Rara Ambarwati.
"Hm." Raden Wijaya Utama menghela nafasnya. "Kau ini terlalu terburu-buru dalam bertindak." Ia sentil kening adiknya. "Kau sudah bosan hidup?."
"Hehehe!." Ia mala cengengesan sambil mengusap keningnya. "Maafkan saya raka."
"Hm." Ia kembali menghela nafas. "Ayahanda Prabu, ia telah memberikan ancaman pada saya."
"Ancaman apa?."
"Kau akan menerima hukuman gantung, di alun-alun kota Raja." Jawabnya. "Karena berkumpul dengan para pemberontak."
"Seram sekali." Ia bergidik ngeri.
"Kalau tahu seram? Maka jangan bertindak sembarangan." Ia kesal. "Kau ini mencari penyakit saja."
"Hehehe!." Ia kembali cengengesan. "Baik, saya akan mengikuti ucapan raka."
"Kau ini ya?." Raden Wijaya Utama semakin kesal.
"Oh iya raka?." Ucapnya. "Saya mendapatkan kabar dari paman Senopati." Kali ini ia menatap serius. "Beliau telah mengirim seorang caraka, untuk mencari tahu, tentang Raja yang telah mendirikan kerajaan ini."
"Nanti saya akan menemui beliau." Balasnya. "Tapi saya mau ke ruangan penyimpanan istana."
"Apa yang akan raka lakukan di sana?."
"Eyang sepuh berkata, saya harus ke sana." Jawabnya. "Mencari sebuah kitab, yang menjelaskan berdirinya kerajaan ini."
"Apakah saya boleh ikut?."
"Kau lakukan tugas lain saja."
"Tugas lain? Apa itu?."
"Dekati paman Patih jaya giri." Sorot matanya tampak tajam. "Dia bisa ancaman untuk kita, dia seorang penjilat mematikan."
"Tapi saya takut berdekatan dengannya raka." Wajahnya mayun. "Dia itu seorang lelaki tua mata keranjang." Ia bergidik ngeri. "Saya tak sudi menatapnya."
"Kau tenang saja." Ia terkekeh kecil melihat raut wajah adiknya. "Berdandan lah buruk rupa." Ucapnya. "Kau itu cerdas, kau gunakan anaknya yang cacat itu, untuk masuk ke kediaman paman Patih jaya giri."
"Oh? Ya, raka benar." Ia bereaksi cepat. "Putri lestari, dia cacat mental, tidak boleh dari rumah." Jelasnya. "Sudah banyak pengasuhnya, dan dukun yang mencoba mengobatinya." Ucapnya lagi. "Tapi tidak ada yang berhasil." Ia merasa miris. "Apakah saya akan baik-baik saja? Jika didekatnya?."
"Kau akan baik-baik saja." Jawabnya. "Karena kau dan dia, sama saja gilanya."
"Hmph!." Ia merajuk, memalingkan wajahnya. "Seenaknya saja mengatasi saya."
"Hahaha!." Ia tertawa puas melihat ekspresi adiknya.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Apakah mereka mampu mengatasi masalah dengan baik?. Temukan jawabannya. Next halaman.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments