Sang surya mulai menyapa dunia dengan kehangatan sinarnya. Kicauan burung-burung pun tidak mau kalah, ikut menyapa hari baru yang sudah tiba. Suara deru mesin kendaraan juga sudah terdengar berlomba, tanda semua makhluk sudah membuka mata untuk memulai harinya.
Sebuah rumah berlantai tiga dengan cat dinding berwarna putih dan design bergaya kolonial, tampak berdiri kokoh di ujung jalan. Halaman rumah itu tampak cukup luas, dan ada beberapa jenis mobil mewah juga terlihat berjejer di garasi rumah itu. Sudah pasti, pemiliknya bukanlah orang biasa.
Dari salah satu kamar di lantai dasar rumah itu, seorang pria tengah berbaring di ranjangnya. Di sebelah pria itu juga ada seorang pria lain, dengan mengenakan jas putih serta sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya.
"Aarrhh, perih sekali, Dokter!" Pria yang tengah berbaring itu mengerang kesakitan, merasakan perih di bagian wajahnya yang penuh luka, ketika dokter itu sedang mengobatinya.
"Saya sudah oleskan salep antiseptik di luka Anda, serta krim penghilang lebam di permukaan kulit Anda yang memar, Pak Diaz. Setelah makan, segera lah minum painkiller ini supaya rasa sakitnya lekas hilang," jelas Dokter itu sambil menyerahkan satu strip obat penghilang rasa sakit kepada Diaz.
Pagi itu, Diaz tampak terbaring lemas di kamarnya. Setelah perkelahian sengitnya tadi malam dengan Baruna, luka lebam memenuhi hampir sekujur tubuhnya. Pukulan serta tendangan maut yang dihadiahkan Baruna kepadanya, cukup membuatnya meringkuk menahan sakit, sehingga dia harus memanggil dokter pribadinya untuk datang mengobati luka-lukanya.
Setelah dokter itu pergi meninggalkan kamarnya, Diaz menyandarkan punggunggnya di headboard ranjang. Melalui kamera depan di layar ponselnya, Diaz tersenyum kecut memandangi dagunya yang membiru, lebam akibat pukulan keras kepalan tangan Baruna.
"Ini semua gara-gara Bocah Bau Kencur itu! Benar-benar sial. Anak itu tidak bisa aku anggap remeh!" decaknya dengan mata memerah tanda kebenciannya semakin memuncak terhadap Baruna.
"Pertama, dia merusak rencanaku untuk mendapatkan Ardila. Tadi malam dia juga sudah menggagalkan usahaku membawa Flo pulang ke rumah ini."
Diaz mengusap pipinya yang dipenuhi bulu tipis. "Aarhhh, ini sakit sekali," ringis Diaz merasakan tulang rahangnya seolah akan terlepas.
"Semua ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus segera membalaskan semua dendamku kepada Keluarga Waradana, terutama bocah tengik bernama Baruna itu!" geram Diaz penuh emosi. Ada sebuah kesumat yang tersirat dari raut wajahnya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" teriak Diaz mempersilahkan seseorang yang tengah mengetuk pintu, untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Pagi, Bos! Bagaimana keadaan Anda, apa sudah lebih baik?" Seorang pria bertubuh kekar penuh tatto masuk ke kamar itu seraya duduk di tepi tempat tidur Diaz.
"Saya sangat heran, seorang pria dengan kemampuan bela diri yang handal seperti Anda bisa dikalahkan oleh seorang bocah ingusan," ujar pria itu sambil terkekeh, tersenyum mengejek ke arah Diaz.
"Tutup mulutmu, Oscar! Kau tidak perlu mengejekku lagi!" bentak Diaz dengan suara keras, serta menunjukkan wajah murkanya terhadap seorang asistennya yang bernama Oscar itu.
"Aku tidak kalah! Aku tidak akan menyerah semudah itu! Lihat saja, aku akan segera buat perhitungan dengan Baruna. Dia dan semua orang di Keluarga Waradana harus segera aku hancurkan!" Diaz kembali meninggikan intonasi suaranya. Kilatan dendam itu semakin tampak jelas dari sorot matanya.
"Kita tidak akan dengan mudah bisa melawan Keluarga Waradana, Bos! Siapa yang tidak kenal Arkha Waradana? Pria itu punya pengaruh luas di kota ini. Dan itu semua, tidak bisa kita anggap remeh, Bos! Banyak orang berpihak padanya," sergah Oscar. Ada rasa ragu yang tersirat jelas dari ucapannya.
"Aku hampir saja berhasil merampas kesucian dan menghancurkan kehidupan Ardila, putri pertama di Keluarga Waradana itu. Tapi sayangnya Baruna, bocah sialan itu sudah menggagalkan rencanaku!" berang Diaz dengan tangan mengepal, semakin tidak dapat menyembunyikan kebenciannya terhadap Baruna.
"Lalu, apa kau sudah melakukan apa yang aku perintahkan padamu, Oscar?" tanya Diaz sembari menunjukkan tatapan miring kepada asistennya itu.
"Sudah, Bos! Saya sudah berhasil mengeluarkan orang itu dari dalam penjara dan dia sudah ada di rumah ini sekarang," terang Oscar.
"Bagus, Oscar!" puji Diaz sambil tersenyum penuh arti.
"Tapi apa Anda yakin, kalau orang ini akan bisa membantu kita untuk menghancurkan Keluarga Waradana?" Oscar kembali menggelengkan kepalanya dan tampak ragu.
"Aku sangat yakin, Oscar. Dia tahu banyak kelemahan Arkha. Setelah kita membebaskannya dari penjara, aku pastikan dia akan bisa membantu kita membalaskan semua dendamku kepada laki-laki sombong yang bernama Arkha itu! Dan bukan hanya Arkha, tapi seluruh anggota keluarganya juga akan aku hancurkan!" sengit Diaz lagi dan Oscar hanya mengangguk pelan tanpa berani berkomentar.
"Bawa laki-laki itu kemari, Oscar! Aku ingin bertemu dengannya sekarang!" perintah Diaz, menyuruh Oscar memanggil pria yang baru saja dia bebaskan dari dalam penjara.
"Baik, Bos!" sahut Oscar patuh, dan segera melangkah keluar dari kamar Diaz.
.
Tak lama kemudian, Oscar sudah masuk kembali ke kamar Diaz, bersama seorang pria. Wajah pria itu tampak lusuh tidak terawat, dengan jenggot serta jambang tebal yang tumbuh lebat di semua bagian dagunya. Rambutnya juga terlihat berantakan dengan helaian putih uban, tersebar di semua bagian di kepalanya itu.
"Aku sangat berterimakasih karena kau sudah membebaskan aku dari penjara. Aku tidak tahu bagaimana membalas budi kepadamu? Sudah bertahun-tahun aku ada di lembaga pemasyarakatan, kini kau sudah berbaik hati mengeluarkan aku dari tempat yang mengekang kebebasanku itu," ujar pria itu sambil mencakupkan tangannya di dadanya dan tersenyum menatap ke arah Diaz.
"Selamat datang di rumahku, Om Alfin. Selamat bergabung denganku disini," sahut Diaz sambil beranjak perlahan dari ranjangnya. Dengan langkah tertatih, Diaz menghampiri pria itu sambil memberi tatapan penuh makna.
"Kau tahu namaku, dan kau juga memanggilku Om? Memangnya kamu ini siapa, Anak Muda?" heran pria itu seraya mengernyitkan keningnya.
"Dan sebenarnya apa tujuanmu membebaskanku dari dalam penjara?" tanya pria itu lagi semakin merasa heran karena Diaz, sepertinya sangat mengenalnya.
"Om pasti tidak ingat siapa aku. Aku masih sangat kecil ketika terakhir kita bertemu. Tapi kalau aku menyebut nama almarhum papaku, aku yakin Om akan ingat siapa aku!" sahut Diaz dengan senyum angkuhnya.
"Memangnya siapa papamu itu? Kau sepertinya begitu yakin kalau aku kenal dengannya?" tanya pria yang bernama Alfin itu lagi sambil menatap Diaz penuh tanda tanya.
"Papaku Rivaldy, Om Alfin. Aryo Rivaldy! Om masih ingat dengan papaku kan?" terang Diaz.
"Aryo Rivaldy?" Alfin membulatkan kedua matanya.
"Berarti kamu adalah Diaz, putra pertama Aryo?" terka Alfin sambil tersenyum menatap lekat wajah Diaz.
"Benar, Om Alfin. Aku Diaz Marvellino Rivaldy. Putra pertama mendiang Aryo Rivaldy, rekan bisnismu dulu, Om," sahut Diaz mengangguk dan mengiyakan semua yang dikatakan Alfin.
Sambil tersenyum sumringah, Alfin langsung memeluk Diaz. "Kau sudah sebesar ini sekarang, Diaz. Dulu terakhir kali Om melihatmu, usiamu baru tiga tahun," ujar Alfin sambil mengeratkan pelukannya dan menepuk punggung Diaz.
...----------------...
Sekedar mengingatkan lagi, jangan lupa vote, like, komen dan hadiahnya ya, Guys! Giveaway sudah semakin dekat loh. Yang paling banyak kasih dukungan untuk karya ini, akan mendapat giveaway special dari Author ya.....
Jangan lupa follow sosial media Author juga:
FB: Yunita Yanti
IG: ini_yunita
♥️♥️♥️♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Hanifa Wilda Amrullah
hua hua.... ada bolo preman kluar dr penjara
2022-08-03
1
Don't Ask Myname
siapa lagi tu torr.......
2022-07-25
1
Uesman Uesiel
kok aq lupa sama yg namanya aryo rivaldi yg kak..🤔
2022-07-13
1