"Kak, coba katakan dengan jujur ... darimana Kak Retha mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Edis penasaran.
Retha tak menggubris perkataan adiknya. Ia masih sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper dan tas-tas besar. Setelah menghubungi temannya yang sementara bisa memberikan tumpangan tempat tinggal, ia memutuskan untuk segera pergi dari kontrakan itu. Meskipun ia telah melunasi hutang ayahnya pada rentenir itu, ia yakin besok akan ada rentenir lain yang akan datang menagih hutang.
Mereka para rentenir memiliki jaringan. Seringkali korbannya terjerat oleh beberapa rentenir berbeda, namun bosnya tetap sama,byaitu satu orang yang ada di belakang mereka. Saat mendengar seseorang berhutang pada satu rentenir, akan datang rentenir lain untuk menawarkan hutang. Saat salah satu rentenir berhasil mendapatkan pembayaran hutang, rentenir lain akan datang meminta hal yang sama.
Hidup di dalam lingkaran hutang pada rentenir hanya melahirkan penderitaan tak berujung. Kerja keras banting tulang sampai mati, hasilnya hanya untuk menghidupi para preman kurang kerjaan yang hobinya mengancam orang. Lebih baik Retha membawa adiknya pergi ke daerah lain yang lebih aman. Biarlah sang ayah hidup sendiri, mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri. Ia akan berusaha bertahan untuk menghidupi adiknya dan dirinya sendiri.
"Kak!" seru Edis yang merasa kesal pertanyaannya diabaikan oleh sang kakak.
"Daripada kamu menanyakan hal tidak berguna, lebih baik bantu kakak untuk beres-beres. Sebentar lagi mobil yang akan mengangkut barang-barang kita datang."
"Aku tidak mau ikut pindah sebelum Kakak menjawab pertanyaanku."
Retha berhenti sejenak membereskan barangnya. Ingin rasanya ia mengumpat sang adik yang tidak bisa membaca situasi. Ia sudah sangat lelah memikirkan kehidupan mereka, tapi adiknya masih cerewet menanyakan hal itu padanya. Seakan ia tidak percaya dengan apa yang telah diusahakan kakaknya.
Retha menghela napas panjang. "Aku meminjam uang milik sekolahan, Edis. Sudah puas kan sekarang?" Tampak ia berbicara sambil menahan kesal.
Edis tak berani bertanya lagi. Ia turut membantu kakaknya membereskan barang-barang. Kakaknya sudah banyak bekerja keras untuk menyekolahkannya, tapi ia masih saja tidak bisa percaya dengan kakaknya. Retha tidak mungkin melakukan hal-hal aneh untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"Kamu nanti tinggal saja di asrama, kalau aku akan menumpang tinggal sementara di tempat Kak Tiur."
"Iya, Kak. Aku terserah keputusan Kakak saja." Edis tidak ada pilihan selain menurut. Usianya masih 16 tahun, kelas 2 SMA, belum bisa melakukan apa-apa. Kalau ikut ayahnya, ia yakin hidupnya akan lebih berantakan. Edis yang memutuskan untuk ikut kakaknya harus siap patuh pada sang kakak asalkan pendidikannya tetap lancar. Setelah lulus SMA, mungkin ia akan langsung bekerja atau lanjut kuliah jika kakaknya masih kuat membiayai.
"Kalian sedang apa?" sang ayah tiba-tiba masuk ke kamar mereka dan terkejut melihat kedua putrinya sedang berkemas-kemas.
"Seperti yang Ayah lihat, kami sedang beres-beres! Kami mau pergi dari sini." jawab Retha ketus.
"Kalian mau meninggalkan ayah sendirian di sini?" Agus tak percaya dengan kelakuan kedua putrinya yang tega meninggalkannya.
"Kalau Ayah juga mau ikut pindah, silakan. Tapi aku tidak mau mengajak Ayah pindah bersamaku."
"Ayah tidak menyangka sudah melahirkan anak tidak tahu diri sepertimu, Retha. Bisa-bisanya kamu berbicara begitu kepada ayah kandungmu sendiri, ayah yang sudah membesarkanmu sampai menjadi anak yang mandiri."
Retha mengangkat wajahnya memberikan tatapan tajam ke arah sang ayah. "Apa Ayah sedang menagih hutang padaku? Apa aku berhutang pada Ayah? Apa ayah membesarkanku sebagai jaminan asuransi atau tabungan hari tua?" Bibir Retha terlihat bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku dan Edis tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Ayah dan Ibu yang sudah memutuskan untuk melahirkan kami. Sebagai seorang ayah, sudah kewajibannya melindungi dan menghidupi putrinya hingga mereka menikah, bukan menjadikan kami sebagai tempat bergantung untuk hidup."
Retha, sebagai anak perempuan pertama harus memikul beban yang berat dalam hidup. Masa mudanya dihabiskan untuk bersekolah sambil bekerja mati-matian tanpa hasil karena dihambur-hamburkan oleh ayahnya sendiri. Ia terkadang merasa seperti sapi perah yang dipekerjakan oleh ayahnya sendiri.
"Hah! Memangnya dulu ayah tidak pernah mencukupi kebutuhan kalian? Ayah juga bekerja keras supaya kalian bisa tumbuh dengan baik! Baru beberapa tahun saja ayah tidak bisa bekerja gayamu seperti diberatkan oleh orang tua selama puluhan tahun." Agus tak merasa bersalah, ia justru merasa sang anak sudah berani membantahnya. Retha yang sekarang mulai menjadi anak yang durhaka.
"Kak ...." Edis memegangi tangan kakaknya. Ia tidak ingin kakaknya terus meladeni sang ayah yang memang pikirannya sudah tidak waras.
"Anak-anak di luaran sana masih banyak yang tidak beruntung karena sudah tidak punya orang tua. Kamu, masih ada ayahmu ini yang masih hidup, malah kamu sia-siakan. Hidupmu akan menderita jika terus melawan orang tua."
"Hidup kami sudah cukup menderita sekarang. Untuk apa lagi bertahan dengan seorang ayah yang hobinya judi dan mabuk-mabukan."
Retha mengangkat tas berisi barang-barangnya dan menyeret koper besar miliknya. Ia melewati sang ayah yang berdiri di dekat pintu dengan cuek. Edis mengikutinya di belakang. Sang ayah menghentikan langkah Edis yang mau ikut keluar.
"Edis, kamu juga mau ikut-ikutan seperti kakakmu, mau meninggalkan ayah?" tanya Agus.
Edis menunduk. Sebenarnya ia juga tidak tega meninggalkan ayahnya. Meskipun ayahnya kini telah berubah menjadi seorang ayah yang buruk, ia masih menyayangi ayahnya.
"Maaf, Yah ... kalau Ayah mampu membiayai sekolah Edis, Edis pasti akan tetap ikut Ayah."
"Edis, ayah pasti bisa mendapatkan pekerjaan dan mengembalikan kehidupan kita seperti dulu. Jangan tinggalkan ayah sendirian."
Edis menunduk. "Buktikan dulu, Yah. Jangan hanya bicara. Sejak dulu Ayah selalu bilang seperti itu tapi tak pernah ada hasilnya."
"Kamu tidak percaya lagi dengan ayah?" Agus berusaha meyakinkan putri bungsunya.
"Edis percaya dengan Ayah. Cepatlah mendapatkan pekerjaan dan jemput Edis lagi. Edis akan menunggu Ayah." Edis masih terlalu muda untuk bisa mengambil keputusan. Ia masih sangat tergantung pada kakaknya.
Edis turut menyeret koper dan menenteng tas berisi barang-barangnya. Agus hanya bisa menghela napas melihat putri-putri kesayangannya pergi meninggalkan dirinya. Ia merasa telah gagal menjadi seorang ayah.
Di halaman rumah sudah terparkir mobil pick up dengan sopirnya yang membantu Retha menaikkan barang-barangnya. Sepeda motor yang biasa dipakai Retha untuk kerja juga ikut diangkut.
Rencananya Retha akan mengantarkan Edis ke asrama sekolah. Tujuannya agar sang adik bisa lebih fokus belajar dan tidak diganggu oleh para preman yang mengejar ayahnya. Sementara dirinya bisa tinggal dimana saja. Yang utama baginya adalah adiknya aman dan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments
Anonymous
Hu
2022-10-28
0
Lily Fazee
suka baca novel yg peran utamanya g mudah d tindas 😬
2022-10-05
1
neng aya
🤗
2022-09-11
0