Maysa memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Tenaganya seolah terkuras dengan semua kejadian hari ini. Setelah memasuki rumah, dia mengunci pintu dan bersandar di sana. Tubuhnya luruh ke lantai. Hatinya sudah benar-benar tidak berbentuk lagi. Air matanya terus saja mengalir.
Wanita itu merutuki kebodohannya karena percaya begitu saja dengan omong kosong sang suami. Entah berapa banyak lagi kebohongan yang sudah pria itu lakukan. Semua kenangan keganjilan Rafka satu persatu muncul diingatannya. Seharusnya dia tidak percaya begitu saja dengan ucapan suaminya. Sekarang hanya dirinya yang terlihat bod*h di sini.
Maysa teringat dengan Eira—putrinya—dia pun mencoba untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu. Bisa-bisanya wanita itu melupakan sang putri yang saat ini pasti sudah menunggunya untuk dijemput. Maysa harus secepatnya menghubungi mamanya.
Wanita itu memasuki dapur dan meminum air untuk meredakan emosinya. Dia tidak mungkin menjemput Eira saat ini. Keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Maysa akan meminta ibunya untuk memperbolehkan putrinya menginap di sana semalam.
Sebagai seorang ibu, dia tidak ingin Eira melihat dia dan sang suami berdebat. Wanita itu sudah memperkirakan apa yang akan terjadi nanti. Maysa akan mempertanyakan semuanya. Dia tidak ingin dibodohi lagi.
Setelah perasaannya baik-baik saja, wanita itu mencari ponsel dan menghubungi ibunya. Maysa menarik napas dalam-dalam agar tidak membuat curiga ibunya. Dia sangat tahu jika Mama Rafiqah sangat peka dengan keadaan anaknya.
"Halo, assalamualaikum," ucap Rafiqah yang ada di seberang telepon.
"Waalaikumsalam. Bagaimana Eira, Ma? Apa dia rewel? Dia nggak nyusahin Mama, kan?" tanya Maysa beruntun yang justru membuat Rafiqah menyernyitkan keningnya karena dia mendengar suara putrinya yang serak.
Dia yakin jika putrinya sedang ada dalam masalah, tetapi wanita itu tidak akan memaksanya berbicara. Rafiqah ingin Maysa sendiri yang mengatakannya. Jika putrinya tetap diam, barulah dirinya akan bertanya. Begitulah orangtua, meski kita sudah berusaha untuk menutupi apa pun dari mereka, pasti mereka akan tahu tanpa dikatakan.
"Tidak, dia baik-baik saja. Dia tidak pernah membuat orang lain susah. Seperti biasa, dia hanya bermain dengan adikmu. Kamu jam berapa mau jemput dia? Ini sudah hampir petang. Jangan malam-malam menjemputnya, dia pasti mengantuk di jalan."
"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa jemput Eira. Tidak apa-apa, kan, dia menginap satu malam di sana. Di butik banyak sekali pekerjaan. Aku harus lembur buat bantu Bu Nadia. Kalau pulang, nggak enak sama beliau. Kemarin, kan, Bu Nadia memberi bonus besar."
"Tentu saja tidak apa-apa, Mama malah senang kalau ada cucu Mama menginap di sini. Rumah ini jadi ramai."
"Terima kasih, Ma. Sudah mau jaga Eira. Sekali lagi maafin Maysa yang nggak bisa jemput," sesal Maysa.
"Tidak apa-apa, tidak usah merasa bersalah." Keduanya terdiam beberapa saat hingga pertanyaan dari Rafiqah membuat Maysa gelagapan. "May, kamu baik-baik saja, kan? tanya Rafika dengan suara pelan.
"A–aku baik-baik saja, Ma. Memangnya kenapa? Apa ada yang sesuatu yang mengganggu Mama?" tanya Maysa balik.
"Tidak, entah kenapa Mama merasa kamu sedang tidak baik-baik saja. Kamu bisa cerita sama Mama atau sama adikmu."
"Iya, Ma. Terima kasih sudah perhatian, tapi aku baik-baik saja. Mama mau menjaga kesehatan saja itu sudah membuatku bahagia."
Rafiqah menghela napas, memang sangat susah untuk membujuk Maysa agar menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Wanita paruh baya itu tahu sifat putrinya yang menurun dari almarhum suaminya. Ayah Maysa juga keras kepala, tetapi putrinya jauh lebih keras kepala, bahkan mamanya tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu.
"Jaga dirimu baik-baik, May. Jangan bekerja terlalu keras. Kalau kamu sakit bagaimana dengan Eira, dia juga masih sangat membutuhkan kamu. Terkadang dia juga merajuk sama Mama, katanya kamu nggak ada waktu buat dia jadi, sesekali juga kamu perlu meluangkan waktu untuknya. Kamu, kan, punya suami yang masih memiliki tanggung jawab padamu dan Eira jadi, jangan terlalu keras kerjanya," ucap Mama Rafiqah yang justru membuat Maysa meneteskan air mata.
Seharusnya dia meluangkan banyak waktu untuk putrinya dan tidak bekerja terlalu keras. Sehingga membuat suaminya melupakan tanggung jawabnya pada keluarga karena merasa Maysa masih mampu menghidupi anaknya. Rafiqah yang mendengar isakan sang putri jadi merasa bersalah.
Tidak ada maksud sama sekali untuk membuat Maysa bersedih, apalagi merasa bersalah. Dia hanya ingin putrinya meluangkan waktu sedikit saja untuk cucunya. Wanita itu tidak menyangka jika hal itu membuat Maysa menangis.
"May, maafkan Mama. Bukan maksud Mama untuk melarang kamu bekerja. Mama hanya kasihan sama Eira, tapi kamu tidak perlu terlalu memikirkan kata-kata Mama."
"Tidak, Ma. Apa yang Mama katakan memang benar. Aku seharusnya tidak terlalu bekerja keras dan melupakan tanggung jawab kepada Eira. Sekarang aku malah melimpahkan tanggung jawabku pada Mama. Sekali lagi maafkan aku," ucap Maysa sambil terisak.
Air mata yang sudah dari tadi dia coba hapus, kini kembali tumpah. Wanita itu telah melupakan banyak hal karena pekerjaannya. Namun, kini semuanya hancur. Maysa tidak sanggup mengatakan kepada Mama Rafiqah bagaimana keadaan rumah tangganya kini.
"Mama tidak ada masalah dengan Eira, Mama malah senang bisa menghabiskan waktu dengannya. Hanya saja anak terkadang juga masih membutuhkan ibunya." Mama Rafiqah mencoba memberi pengertian dengan halus.
"Iya, Ma. Terima kasih atas nasehatnya. Maysa akan ingat semua ini. Sudah, ya, Ma. Bu Nadia manggil aku. Nanti aku hubungi Mama lagi," ucap Maysa beralasan.
Dia hanya tidak ingin berlama-lama berbicara dengan mamanya, yang akan semakin membuatnya merasa bersalah dan semakin menumpahkan air matanya di depan wanita yang sudah melahirkannya.
"Iya, kamu jaga diri baik-baik. Jangan terlalu malam pulangnya. Suamimu pasti di rumah menunggu."
"Iya, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Maysa memutuskan panggilan dan kembali menangis, meratapi nasib rumah tangganya kini.
Cukup lama Maysa menangis. Dia pun bangkit karena ingin membersihkan dirinya terlebih dahulu. Wanita itu akan menunggu sang suami dan bertanya mengenai apa yang dilihat tadi. Maysa tidak ingin dibodohi lagi.
Dia akan memperjelas semuanya. Sudah cukup semua kebohongan yang dilakukan Rafka. Wanita itu berharap sang suami mau mengatakan yang sejujurnya tanpa menutupi apa pun, tentang siapa wanita yang ada di mall tadi dan dari mana pria itu memiliki uang untuk membeli kalung tersebut. Apakah selama ini yang dikatakan mengenai uang untuk diberikan kepada mertuanya itu bohong atau tidak.
Maysa yakin ada sesuatu yang tidak beres di sini. Meskipun begitu, Maysa berharap apa yang ada dalam pikirannya tidak terjadi.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Yani
Semangat Maysa 💪💪💪
2022-11-24
0
Imam Sutoto Suro
nice story thor lanjutkan
2022-11-18
0
️W⃠️️CeMeRLa️nG🌹
maysa harus bangkit jangan mau jadi sapi perah sementara suamimu enak" diluar sana
2022-08-25
0