“Ariel, nanti bantu menjelaskan ya kalau Pak calon walikota tanya-tanya.”
Permintaan Niken membuyarkan lamunan Ariel. Gadis itu yang masih berdiri membeku di dekat pilar. Niken berucap sambil berjalan untuk menyambut sang tamu agung. Wanita itu bukannya tidak tahu bahwa orang seperti Gagah datang ke pantinya pasti dengan maksud pencitraan.
Namun, tak mengapa. Setidaknya panti asuhan Cahaya Pertiwi akan terekspos media dan berkesempatan mendapatkan banyak donatur, begitu pikir Niken.
Gagah masih terkesima melihat Ariel, menurutnya tatapan mata gadis itu sangat sendu. Gagah masih terus mengekori langkah Ariel yang berjalan masuk, hingga Meta menyenggol lenggannya agar kembali fokus ke orang-orang yang berada di sana.
***
Setelah beramah-tamah sebentar di halaman panti, Niken pun mempersilahkan tamunya untuk berkeliling melihat-lihat panti. Dan tempat yang pertama kali Niken tunjukkan tentu saja adalah kamar yang diperuntukkan anak-anak panti usia balita, kamar sinar rembulan yang sudah dibersihkan oleh Ariel tadi.
Gadis itu pun masih terlihat di sana. Ariel menggendong seorang bayi berumur sekitar sebelas bulan sambil mengajak anak-anak yang lain bernyanyi lagu ceria.
“Dia, apa juga anak panti?” tanya Gagah saat melihat sosok Ariel. Meta yang berdiri di sampingnya pun ikut menatap ke arah Ariel. Ia tidak memiliki perasaan apa-apa dan hanya berpikir bahwa suaminya penasaran dan sedang pencitraan di depan orang-orang.
“Ah … Ariel, bukan. Dia membantu bersih-bersih saja di sini, dan seperti yang Anda lihat dia juga membantu mengajar dan mengajak bermain anak-anak,” jawab Niken.
Diam-diam, Ariel tahu bahwa rombongan calon walikota itu sudah masuk ke dalam kamar sinar rembulan, tapi dia memilih berpura-pura tidak sadar dan semakin asyik dengan para bocah-bocah itu. Ariel memang sudah biasa mengajak mereka bermain, tapi karena ada Gagah di sana dia berusaha mencari perhatian. Ariel memang berniat menjerat pria matang berusia tiga puluh lima tahun itu. Beberapa menit yang lalu Ariel yang baik hati itu memantapkan diri untuk menjadi seorang perebut laki orang.
“Ariel,” sapa Niken. Gadis yang dia panggil pun menoleh.
Ariel mendekat dengan senyuman manis, dia bahkan menyalami Meta seolah tidak menaruh dendam sama sekali. Ada rasa yang bertolak belakang di dalam hati Ariel - sedih sekaligus bahagia. Ariel menganggap takdir memihak pada rencana busuknya, karena ternyata Meta sama sekali tidak mengenalinya. Wanita itu hanya tahu korban meninggal dunia akibat kelalaiannya memiliki dua orang anak, tanpa tahu salah satunya adalah gadis yang kini tengah menyalami Gagah sambil terus menatap dalam mata suaminya. Bahkan Meta tak sadar saat Ariel mengusap punggung tangan Gagah sebelum melepaskannya.
“Dia ini gadis baik dan cerdas, tapi sayang karena ada satu dua hal Ariel belum bisa melanjutkan kuliah,” ucap Niken tanpa menjelaskan secara gamblang bahwa orangtua Ariel sudah tiada. Niken tahu kalau Ariel memang tidak suka jika penyebab dan cara meninggal orangtuanya dijadikan topik perbincangan.
“Apa kamu tidak mencoba mencari beasiswa?” Gagah buka suara, ada rasa iba di hati juga rasa aneh yang tidak bisa dia ungkapkan saat melihat Ariel.
“Sudah, tapi memang keberuntungan belum berpihak pada saya,” jawab Ariel, bahkan suara gadis itu terasa merdu di telinga Gagah yang setahun belakangan hanya mendengar suara bentakan dan tuntutan Meta yang menggebu.
Gagah mengangguk, dia lantas berkeliling melihat kondisi anak penghuni kamar itu, wartawan dan bahkan fotografer dari tim suksesnya beberapa kali mengambil foto Gagah. Dan semua itu tentu saja hanya sebagai bahan konten sosial media. Saat Gagah masih ingin mengajak bermain anak-anak penghuni kamar sinar rembulan, Meta langsung berbicara dengan cara berbisik ke telinga pria itu.
“Selesai, ayo kita pergi dari sini. Kamar ini bau.”
Meta menggosok hidung lalu tersenyum, padahal kamar itu tidak berbau apa-apa karena Ariel sudah mengganti semua sprei, mengepel lantai dengan karbol, bahkan menyemprotnya dengan pewangi.
Gagah pun menurunkan bocah yang dia pangku, dia seolah pasrah menjadi boneka setelah semua orang tahu bahwa dirinya ternyata bukanlah anak kandung Wiryawan. Mertuanya-Pradana menjadi menyepelekan, apalagi posisinya sebagai direktur utama perusahaan Wiryawan terancam direnggut oleh putri kandung pria itu. Meski masih berumur dua puluh tahun tapi tetap saja gadis itu adalah putri kandung, dan dia hanya anak angkat. Stigma ini membuat Pradana berkeras hati dan memaksanya menjadi walikota. Tak mengapa bukan putra kandung Wiryawan, dengan menjadi penguasa nantinya, semua orang pasti akan tunduk kepada Gagah.
“Silahkan diminum!" Niken mempersilahkan setelah Ariel meletakkan tiga cangkir teh ke meja tamu yang ada di kantor panti.
Ruangan itu tertutup, wartawan pun sudah tidak mengikuti mereka. Meta tanpa berlama-lama menyodorkan amplop ke Niken berisi uang. Wanita itu pun berkata, “Isinya lebih dari tiga puluh juta, jadi tolong buatlah taman atau apa di panti ini asal kelihatan bahwa kami menyumbang.”
Gagah sangat malu, dia melengos dan Niken melihat dengan jelas pria itu sangat tidak suka dengan omongan Meta. Gagah sampai membuang napas dan berdiri. Ia izin ke kamar mandi dan Ariel pun mengikuti.
“Pak maaf, bisa tunggu sebentar, tisu toilet habis, saya akan mengambilkannya dulu.” Tanpa menunggu Gagah menjawab Ariel pun berlari. Tingkah gadis itu membuat Gagah menipiskan bibir.
Tak lama Ariel pun kembali, dia memberikan tisu baru ke Gagah dan setelahnya pamit undur diri.
“Tunggu!”
Ariel menghentikan langkah kaki, dia memutar badan karena Gagah seperti mencegahnya pergi. “Apa kamu ingin kuliah, Ariel? Benar ‘kan nama kamu Ariel?” tanya Gagah
“Benar.”
“Bisakah kamu berikan nomormu? Aku akan memberikan nomormu ke temanku yang sepertinya bisa membantu,” ujar Gagah.
Otak cerdas Ariel yang saat itu sedang dibumbui kelicikan pun bereaksi. Ia tak langsung memberikan apa yang Gagah minta, gadis itu malah balik bertanya, “Apa Anda ingat nomor ponsel Anda?”
“Tentu,” jawab Gagah tanpa berpikir.
Ariel pun tersenyum, dia berjalan mendekat. Wajah yang cantik, aura yang polos, mata bening dan bulunya yang lentik membuat Gagah sebagai pria normal terpesona.
“Saya tidak ingat nomor ponsel saya sendiri, jadi bisakah Anda memberikan nomor ponsel Anda, saya akan menghubungi nanti,” ucap Ariel memelas.
Gagah bingung, jika tidak memberikannya sama saja dia berbohong dan seperti tidak bisa dipercaya, padahal dia seorang kandidat walikota. Akhirnya pria itu memberikan nomornya ke Ariel, Gagah bahkan tidak keberatan saat Ariel memintanya menuliskan nomor ponsel ke telapak tangan secara langsung menggunakan pulpennya. Gagah benar-benar tidak bisa berpikir hal lain.
“Terima kasih, Anda harapan saya Pak,” ujar Ariel. Matanya penuh optimisme dan entah kenapa Gagah seperti tersihir.
_
_
Lampu kamar temaram, aroma vanila dari diffuser membuat suasana begitu romantis dan intim.
Ariel menatap dalam mata Gagah yang sedang mengurung tubuhnya, dia belai pipi pria yang baru saja menikahinya beberapa menit yang lalu. Kenangan saat pertama kali bertemu Gagah terlukis kembali bagai sebuah rekaman yang berputar di otak.
Ariel membelai pipi Gagah, dia sendiri bingung bagaimana perasaan yang dia miliki untuk pria itu. Ia hanya bisa memejamkan mata saat Gagah mencium bibirnya.
Mereka memang sudah biasa melakukan ini, berciuman dan bahkan terkadang Gagah menghisap puncak dada Ariel dari balik kaos yang dikenakan gadis itu. Namun, untuk sesuatu yang kini sedang berkedut di bawah sana, Ariel benar-benar tidak mau memberikannya sampai Gagah menikahinya meski hanya secara agama seperti ini.
“Aku tidak akan memakai pengaman, jadi haruskah aku mengeluarkannya di luar?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Najwa_auliarahma
luar dalam okeh, yang penting keluar 😂
2022-12-15
0
🍌 ᷢ ͩ🌤️
pinter bener sih km Riel..
klo km kasih nomermu, pasti km gak ada akses kn buat hubungi Gagah?! 😅
2022-10-13
1
Rasyha Nailu R
keluar di dalam aja hangat rasa y🙊🙊🙊🙊🤭🤭
2022-09-27
2