Bagaimana pun pemandangan yang ia lihat, rasanya ia ingin menolak.
Dengan cepat, ia berlari menuju kamar kost-nya sendiri. Ia bahkan ia tak menghiraukan ibu kost yang mengomel padanya karena telah membuat keributan.
Ia hanya ingin segera kembali ke kamar kost-nya, dan menemukan novel sampah itu.
Ia mencari-cari novel sampah itu di seluruh kamarnya. Pencariannya terasa tergesa-gesa karena ia sangat ketakutan.
Namun seberapa sering pun ia memeriksa di seluruh sudut ruangan. Novel dengan sampul warna-warni memalukan itu tak ada.
Bagaimana mungkin novel itu bisa menghilang begitu saja?
Seingatnya ia melemparkan novel itu ke sampah, tetapi di sana juga tak ada. Ia dengan gigihnya mencari lagi dengan jumlah pencarian mencapai tiga digit, namun novel tersebut tak kunjung ia temukan.
Apa kehidupannya di dunia novel hanyalah sebatas mimpi?
Apa keluarga Canis itu hanyalah mimpinya semata?
Apa ciuman bersama Aldebaran hanya anganya saja?
Apa pengalaman pertamanya naik kereta kuda bersama Aldebaran hanya sebatas imajinasinya saja?
Mendadak tak mau menerima ini semua. Air matanya mengumpul di pelupuk matanya. Namun air mata itu dengan sombongnya terus bertahan, seolah menguatkan dirinya bahwa ia terbiasa menderita. Bahwa ini sudah sering ia alami.
Tetapi, aku merasa lebih bahagia hidup dalam dunia novel. Kumohon....
Sreettt…
Novel itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
Melihat itu, ia dengan cepat mengambil novel yang disodorkan ke arahnya.
Tunggu dulu.....
Siapa yang memberikan buku novel ini padanya?
Perlahan ia menoleh untuk melihat siapa pelakunya. Yang dilihatnya hanyalah sosok yang terbujur kaku. Wajah yang pucat, mata yang tertutup serta rambut hitam yang berberai di atas bantal.
Bukankah itu wujudnya yang asli?
“Akhhh….”
Ia tak tahu lagi bagaimana ia harus menanggapi semua ini. Suaranya keluar tanpa bisa ia tahan. Ia berteriak sekuat yang ia bisa. Bahkan ia tak perduli jika orang-orang sekitar datang, ia hanya tak mau melihat jasadnya sendiri.
Rasanya sangat menyedihkan, dan… Menakutkan.
Tak lama tangannya direnggut oleh sepasang tangan yang dingin. Tubuh yang terbujur kaku itu tiba-tiba bergerak, dan menarik tangannya. Matanya bertatapan langsung dengan mata putih yang besar.
Tubuhnya bergetar.
Mata putih besar itu lama kelamaan mengeluarkan darah. Darah itu mengalir deras menuruni pipi pucat yang tirus.
“Lepaskan!”
Bibir yang pucat dan kaku itu perlahan tersenyum dengan sangat mengerikan.
“Adhara…”
Kepalanya menggeleng dengan keras.
Aku tak mau ini. Aku tak mau ini. Aku tak mau ini. Aku tak mau…
Tubuhnya bergetar tak karuan. Air matanya mengalir dengan deras. Wajahnya seputih kertas, bahkan ia tanpa sadar melukai bibirnya sendiri dengan gigi.
Napasnya menderu seperti baru saja tenggelam dalam air. Ia memejamkan matanya erat, berharap ia bisa menenggelamkan matanya ke bagian paling terdalam di kelopak matanya agar ia tak bisa melihat pemandangan mengerikan itu lagi.
Tak lama keheningan memenuhi telinganya. Seperti ada dengung keheningan yang biasa ada dalam film-film horor.
Nging...
Telinganya sakit. Ia menutupi telinganya dan perlahan membuka matanya yang penuh dengan air. Pandangannya terasa kabur, dan matanya terasa sakit. Ia ingin mengusap matanya, tetapi tangannya terasa kaku.
Kemudian pemandangan berubah. Tak ada lagi langit-langit kamar yang bobrok. Tak ada lagi tumpukan pakaian, dan sampah di sudut ruangan.
Tak ada lagi seonggok mayat yang sendirian.
Hanya terlihat Rigel membungkuk ke arahnya dengan cemas.
Tolong… Aku sangat ketakutan.
“Kakak.”
Tolong, aku harap ini bukan mimpi.
“Apa yang terjadi? Mimpi buruk?”
Rigel membantunya untuk duduk. Air mata kembali jatuh dari sudut matanya. Ia mengusapnya, tetapi air matanya tetap terjatuh. Berapa kali pun ia mengusap air matanya, bulir-bulir itu terus berjatuhan.
Suara isak tertahan di tenggorokannya.
“Kenapa aku menangis?” ucapnya sambil tertawa terpaksa.
Dalam remang kamar, Rigel hanya memperhatikan Adhara yang terus menangis. Isak tangis adiknya ini berusaha untuk ditahannya, tetapi tetap tak bisa.
Rigel tak tahu harus mengatakan apa pada adiknya.
Adhara menutup wajahnya untuk menghentikan tangisannya. Tetapi, air mata itu terus berhianat. Ia tak berani mengangkat wajahnya sendiri.
Napasnya tersengal karena menahan tangisnya yang sebenarnya penuh rasa syukur. Ia tak mau melihat jasadnya sendiri.
“Aku takut… Takut sekali…”
Rigel yang tak mengerti, hanya bisa menenangkan Adhara yang gemetaran. Rigel jelas tak tahu apa yang membuat adiknya ini begitu ketakutan. Rasanya aneh melihat adiknya yang biasanya tabah menjadi lemah seperti ini. Hati Rigel terasa sakit.
“Kakak ada di sini.”
Hanya itu yang bisa Rigel katakan.
***
Ia bertanya pada Rigel berapa lama ia tertidur, dan jawaban Rigel cukup mencengangkan. Adhara baru tertidur sekitar lima menit. Tepatnya, lima menit setelah Rigel mengetuk pintu kamar Adhara untuk membujuknya.
Mau tak mau pikirannya menjadi kosong. Tercengang sembari bingung. Ia merasa seperti ingin gila saat menyaksikan banyak hal. Ia menolak untuk mempercayai bahwa mimpi itu hanya berlangsung selama lima menit.
Paginya, ia bangun dengan wajah yang kusut.
Berita buruknya ia tak mengingat potongan mimpinya yang lain. Yang ia ingat hanyalah melihat tubuhnya yang terbujur kaku. Entah mengapa ia merasa telah melupakan sesuatu yang sangat penting. Tetapi, fragmen-fragmen itu tak mau terkumpul dalam ingatannya.
Mimpi buruknya mungkin saja efek dari perkelahiannya dengan Capella. Alam bawah sadarnya memunculkan sebuah ketakutan terbesarnya dalam bentuk mimpi.
Lagipula siapa yang tak takut dengan kematiannya sendiri. Hanya segelintir orang yang punya toleransi untuk itu. Tetapi ia sangat takut.
Untuk itu, motivasinya semakin bertambah. Ia harus membuat Adhara tetap hidup di novel ini. Apapun yang terjadi nantinya, mau dia harus kembali ke kehidupannya yang dulu, atau tetap berada di dunia novel ini, ia tak perduli.
Ia harus tetap hidup.
***
Pagi ini pengadilan tinggi diadakan lagi. Tepatnya untuk mengganti yang kemarin dibatalkan karena Aldebaran pergi meninggalkan pengadilan.
Pikiran Adhara sedang tak menentu. Bibirnya terasa kering dan nyeri. Jangan lupa tentang jejak kekacauan mimpi buruknya tadi malam.
Ya Tuhan, mataku sakit sekali.
Adhara ditemani oleh Rigel dan Regor yang bertingkah layaknya tameng. Rigel yang merasa cemas terus mengikuti Adhara. Ia takut adiknya tiba-tiba mengingat mimpi buruknya lagi, kemudian bertingkah kacau. Berteriak dan menangis.
Sedangkan Regor, yahh… Dia bertindak di bawah titah absolut Aldebaran. Lagipula ia tak bisa mengeluh tentang ini.
Ia harus selalu bersyukur…
Apa pun itu akan lebih baik daripada kematian.
Rasanya sudah lama ia tak datang ke aula pengadilan tinggi. Aula ini tetap sama seperti saat ia disidang, bedanya… Dia kali ini tak duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Aldebaran.
Baru dimulai saja pengadilan tinggi sudah hangat…
“Jadi bagaimana kota Dubhe?”
“Tetap saja tak aman.”
“Apa maksudmu tak aman? Kekaisaran mengirim Jenderal Menkalinan bersama pasukannya untuk mengatasi kasus di kota Dubhe.”
“Bukankah laporan yang kita bicarakan ini juga dari Jenderal Menkalinan?”
Aldebaran membaca laporan yang diserahkan Regor padanya dengan seksama.
“Berapa banyak korban di minggu ini?” tanya Aldebaran pada Perdana Menteri.
Perdana Menteri meminta izin untuk menjawab, “Untuk minggu ini ada 15 orang yang meninggal. Tiga orang menghilang.”
Kening Aldebaran mengkerut, “Menghilang?”
“Seorang gadis, sisanya ialah pria.”
Tuan Auriga memasang hidung pada kasus ini, “Jelas ini ulah gadis itu.”
“Apa buktinya, Pejabat Auriga?”
Adhara yang sejak tadi mengamati mau tak mau ikut campur. Kasus ini bukanlah hal yang baru untuk Adhara. Dalam novel telah diceritakan bahwa yang mengambil kasus ini ialah Rigel, kakaknya.
Pembahasan mengenai kasus di kota Dubhe tak terlalu disorot. Sejak awal penulis memang tak menyoroti kehidupan Rigel.
Kasus ini selesai begitu saja, dan Rigel pulang dengan selamat. Lalu,naik jabatan sebagai penasihat kekaisaran. Ia cukup penasaran dengan kasus ini.
Novel “Keajaiban Cinta Capella” ini hanya sekadar mengambil sudut pandang dari Capella dan juga Sargas. Sedangkan karakter lainnya hanya sedikit disorot.
Dasar! Ada berapa banyak lubang alur dalam novel ini?
“Apa maksud puteri cantik ini?” tanya tuan Auriga jengkel.
“Anda mengatakan bahwa gadis itu punya hubungan dengan kasus kota Dubhe. Tetapi selain gadis itu, masih ada dua orang pria yang hilang. Bagaimana anda bisa memutuskan bahwa ini ulahnya?”
Tuan Auriga melotot padanya, "Menghilangnya gadis itu sangat tak biasa. Dia juga sering dijuluki penyihir oleh orang-orang kota Dubhe.”
Masalah penyihir lagi?
“Bukankah ini masih perlu penyelidikan lebih lanjut? Kita tak bisa memutuskan pelaku hanya dengan mendengar asumsi yang tak jelas kebenarannya.”
“Rupanya mulutmu masih licin seperti kemarin-kemarin,” ejek Tuan Auriga.
Adhara menahan kata-kata ‘indah’ dan ‘bermartabat’ yang ingin dikeluarkannya pada Tuan Auriga ini. Ia harus menahannya karena statusnya sebagai gadis bangsawan.
Adhara adalah gadis yang diajari etika dan sopan santun. Jadi, ia tak boleh mempermalukan Perdana Menteri.
Ia menghela napasnya pelan. Mengeluh lagi.
Kaisar Negeri Bintang, Aldebaran memperhatikan Adhara yang terlihat kumal dan lesu. Meskipun Adhara masih kritis seperti biasanya, namun auranya sedikit kelam hari ini.
Dahi Aldearan mengerenyit tak senang. Ia mengalihkan pandangan pada Regor yang menggelengkan kepalanya dengan cepat. Pertanda Regor juga tak tahu apa-apa.
“Tak berguna."
Regor mengasihani dirinya sendiri.
“Mengapa tidak pejabat cantik ini saja yang melakukan penyelidikan?” tuan Auriga melempar bom pada Adhara.
Sargas yang sejak tadi mengamati mendadak menegakkan tubuhnya. Ia menatap ayah angkatnya dengan pandangan tak percaya.
“Ayah, bagaimana bisa Adhara diperintahkan untuk menyelidiki kasus seberat ini. Apalagi Adhara masih baru di pengadilan tinggi. Masih banyak pejabat lainnya yang dapat diutus untuk mengatasi masalah ini,” ucap Sargas pada ayah angkatnya.
“Gadis kecil itu berbicara soal penyelidikan. Mengapa kita tidak memuaskan rasa detektifnya itu?”
Perdana Menteri merasa semakin tua, “Maaf Pejabat Auriga. Saya tidak setuju.”
Tuan Auriga menatap Adhara dengan pandangan menantang, “Bukankah puteri anda sangat berani Perdana Menteri Canis? Biarkan puteri anda belajar untuk mengetahui kemampuannya sendiri.”
“Baik,” terima Adhara cepat.
Lagipula Adhara merasa jika kasus kota Dubhe sangat menarik.
Rigel langsung berdiri dari duduknya. Ia menatap kaisar dengan berani, “Hamba juga menolak, Yang Mulia. Mohon dipertimbangan pendapat hamba.”
“Gadis kecil ini selalu dilindungi, meskipun ia telah berbuat lancang. Bukankah kalian terlalu memanjakannya? Jika kalian terus begini, gadis kecil Adhara ini akan selalu menimbulkan keributan di kekaisaran,” tuan Auriga semakin mengejek Adhara.
Mendengar itu, wajah Aldebaran mendingin. Ia menatap tuan Auriga tanpa ampun hingga orang yang lebih tua darinya itu menutup mulutnya dengan cepat. Aula pengadilan tinggi mendadak sepi menyaingi kuburan.
Para pejabat saling bertatapan seolah mengatakan, “Silahkan mengajukan diri.”
“Hamba tetap ingin melakukan penyelidikan,” ucapan Adhara mencairkan situasi.
Kasus ini tentu saja bernilai tinggi untuk Adhara. Sebab, ia harus memastikan bahwa kasus ini tetap dijalankan oleh Rigel. Jika sampai kasus ini diberikan pada Sargas, kemungkinan pengangkatan sebagai penasihat kekaisaran akan jatuh ke tangan Sargas.
Ia harus membuat Rigel, atau dirinya sendiri yang mengambil kasus ini. Semakin Sargas memiliki nama, semakin besar kekuatannya untuk menghancurkan Negeri Bintang.
“Jika Adhara mau. Hamba ingin ikut bersamanya,” ucap Rigel cepat.
Sargas menyela, “Bukankah pejabat Rigel sedang ada misi lain? Jika Yang Mulia mengizinkan, biarkan hamba yang menemani Adhara ke kota Dubhe.”
Tuan Auriga melotot pada anak angkatnya. Namun Sargas dengan acuh mengabaikan peringatannya seolah Sargas tak menyadari tatapan itu.
Adhara merenungkan perubahan yang terjadi lagi dalam alur novelnya.
Jika Rigel tak bisa untuk menjalankan urusan kota Dubhe, berarti Adhara yang harus turun. Dan jangan sampai ia bersama dengan Sargas lagi.
“Tidak pejabat Sargas. Saya tidak mau merepotkan pejabat untuk membantu adik saya. Biarkan saya menyelesaikan dua misi ini.”
Good job, Rigel.
Dalam hati Adhara mengacungkan jempol pada kakaknya yang siap siaga.
Perdana Menteri mendesah lelah, “Rigel, kota Dubhe itu di wilayah barat. Jaraknya cukup jauh dari wilayah penugasanmu. Kau tak bisa melalaikan tugas yang dibebankan padamu.”
“Tapi, Ayah…”
Adhara jelas tak mau bersama Sargas ke kota Dubhe. Ia tak mau menimbulkan perkelahian dengan Capella lagi. Saat ini hati Capella masih ada untuk Sargas. Jadi, ia tak boleh membuat Capella bersedih.
Suatu saat nanti, ia akan mengungkapkan sisi buruk Sargas. Capella harus tahu bahwa ia tak akan bisa hidup bersama Sargas.
Dia tentu saja tak membenci Sargas. Pria itu bukanlah orang jahat. Hanya saja, pemeran utama pria ini memiliki pengaruh besar untuk alur novel.
Jika ia tak bisa mengendalikan situasi saat ini, Adhara tak akan pernah bisa menyelamatkan Aldebaran dari pembunuhnya ini.
Apapun caranya, ia harus mendapatkan misi ini. Entah nanti ia ditugaskan dengan pejabat yang mana saja, asalkan jangan Sargas.
Pengadilan tinggi memerlukan keputusan Aldebaran sebagai hakim. Apa pun argumentasi mereka, Aldebaran selalu punya jalan sendiri.
Tiada satu pun pejabat yang mengerti pikiran kaisar muda ini. Namun tak ada siapapun orang yang berani menentangnya, sebab kaisar ini sangat berbahaya.
“Penyelidikan akan dilakukan oleh Adhara,” putus Aldebaran.
Perdana Menteri bersujud pada Aldebaran, “Mohon Yang Mulia mempertimbangkan kembali keputusan Yang Mulia. Puteri hamba selalu penuh dengan rasa penasaran. Namun kasus ini sangat berbahaya.”
“Ayah,” suara Adhara terdengar membujuk.
“Biarkan hamba ikut bersama Adhara, Yang Mulia. Seperti yang dikatakan Perdana Menteri misi ini sangat berbahaya,” ucap Sargas.
Rigel menatap Sargas dengan geram. Bagaimana mungkin dia membiarkan Sargas mendekati adiknya. Apalagi misi ini memakan waktu panjang. Ia tak mau adiknya berlama-lama dengan serigala ini.
Aldebaran berdiri dan menatap para pejabat untuk menegaskan titahnya.
“Aku yang akan menyelidiki kasus kota Dubhe,” tegasnya.
Seluruh pejabat tinggi menatap Kaisar Negeri Bintang tak percaya.
Jika pemimpin mereka turun sendiri ke kota Dubhe, untuk apa mereka ada dalam kekaisaran? Apa fungsinya?
“Dan Adhara akan ikut bersamaku.”
Kelanjutan keputusan Aldebaran ini membuat rahang para pejabat berjatuhan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
Malana Griselda
yang sabar, ya gor
2025-02-10
0
lusi
wkwkk panah nya salah sasaran
2022-05-04
0
Erlin Pramudyas
hiya hiya hiya 😂
2022-03-29
0