Menjelang petang, Adhara baru sampai di kediaman Perdana Menteri. Setelah berusaha mengusir Sargas darinya seharian ini, Adhara merasa kelelahan sampai ke puncak.
Bahkan jika Adhara tidak kabur dengan cepat, Sargas mungkin akan memaksa untuk mengantarnya pulang.
Dari Shaula, Adhara mengetahui bahwa ayahnya sudah pulang. Namun Rigel yang pergi untuk urusan kekaisaran selama beberapa hari. Adhara bertanya pada Shaula tentang Capella, dan mendapat gelengan kepala dari Shaula.
Capella tak begini dalam alur novel yang sebenarnya. Capella biasanya hanya keluar sendiri saat bertemu dengan Sargas, dan jika ada perlu di pusat kota, maka ia akan meminta Adhara atau Rigel untuk menemaninya.
Namun sudah beberapa hari ini Adhara tak melihat Capella. Adiknya itu sering keluar bersama pelayan pribadinya, dan jika pulang pun Capella langsung masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Adhara cukup bingung dengan perubahan ini.
Hari ini sangat melelahkan…
Ia bahkan harus berurusan dengan Regor, pengawal pribadi yang dulunya selalu mengekori Aldebaran, kini selalu kepo padanya. Regor pun menyelesaikan apa yang diminta Adhara. Seribu bunga berwarna biru dikumpulkan oleh Regor.
Adhara tak tahu bagaimana cara Regor bisa mendapatkan bunga sebanyak itu. Karena bingung, Adhara meminta Regor untuk memberikan bunga itu pada kaisar. Bunga itu diberikan sebagai tanda terima kasih atas jepit rambut giok yang dihadiahkan kaisar padanya.
Lalu, senyum Regor yang ambigu membuat Adhara kesal. Ia memukuli Regor dengan bunga-bunga yang sudah dikumpulkan. Mau tak mau bunga-bunga malang itu hancur karena tingkah anarkis Adhara.
Besok dia harus meminta Aldebaran untuk menarik pengawal pribadinya ini kembali.
Adhara memasuki kamarnya yang gelap gulita. Shaula sudah menyuruhnya mandi, tetapi Adhara sangat lelah.
Baru saja ia ingin merebahkan tubuhnya di kasur suara ketukan keras di pintu kamarnya, membuatnya bangkit kembali.
Ia membuka pintu kamarnya, dan mengerenyitkan keningnya saat melihat ekspresi Capella yang suram.
“Capella?”
Mata Capella menatap Adhara dengan sedih, “Adhara, kau..”
Adhara mempersilahkan Capella untuk masuk ke kamarnya, tetapi Capella menolak.
“Kau menyukai Sargas?”
Darimana datangnya angin ini?
“Aku melihatmu bersama Sargas hari ini.”
Adhara bingung dengan suasana kali ini. Rasanya ia seperti tengah menjadi orang ketiga di antara Capella dan Sargas.
“Capella…”
Wajah Capella semakin murung, “Sargas bilang ia tak bisa bertemu denganku hari ini. Aku mengira dia sibuk, tetapi…”
Tetapi Capella melihat Sargas bersama Adhara seharian ini…
Adhara memahami hal tersebut, namun ia bingung harus menjelaskan apa pada Capella. Sebab, ia tak mungkin mengatakan bahwa Adhara sebenarnya memata-matai mereka. Adhara benar-benar menyesal pergi ke pusat kota sendirian.
Jika ia bersama Regor ataupun Spica, ia jadinya tak terlihat berduaan dengan Sargas.
“Aku sangat bingung saat melihat Sargas di pusat kota hari ini. Dia bersama Adhara, padahal aku kira Adhara tak suka pada Sargas.”
Air mata Capella menetes, saat itulah Adhara merasa panik. Dia berdosa karena membuat si pemeran utama ini menangis.
Apa dia akan mendapat karma karena membuat pemeran utama menangis?
Ayolah, luka di lengannya saja masih belum sembuh. Kenapa ia harus terlibat dalam momen menyedihkan ini?
Ia jelas tak berniat menjadi orang ketiga dalam hubungan siapapun. Ia hanya ingin hidup tenang sebagai Adhara Canis. Punya karir yang bagus di dunia ini, dan hidup tenang sebagai saudara ipar kaisar.
Ia termenung sejenak.
Saat melihat Capella mengusap air matanya, Adhara langsung menghempaskan pandangan yang meliar di pikirannya. Ia harus membuat si pemeran utama ini bahagia, atau Adhara tak akan pernah mendapat ketenangan.
“Apa kau benar-benar Adhara?”
Adhara tercekat, “Capella dengarkan aku..”
“Adhara tak pernah curang padaku,” suara Capella meninggi.
Suara langkah kaki mendekati mereka, dan sosok Perdana Menteri muncul dengan wajah bingung.
“Kalian sedang apa?”
Capella menolak untuk menatap ayahnya. Ia memilih untuk berlari menuju kamarnya. Meninggalkan Adhara yang masih berdiri kaku di depan kamarnya.
“Hey, apa kalian bertengkar?” Perdana Menteri menghampiri Adhara.
Namun sama seperti Capella, Adhara memilih untuk tak menatap ayahnya.
Perdana Menteri mendekati Adhara, dan mengusap bahu Adhara lembut dengan gestur membujuk.
“Ayah tak tahu apa yang membuat kalian berkelahi. Tetapi mengalahlah pada adikmu. Dia hanya sedang keras kepala, sebagai kakak kau harusnya meng….”
Adhara masuk ke kamarnya begitu saja. Perdana Menteri terdiam kaku.
Apa dia salah bicara?
Ia menangisi Rigel yang sedang dalam urusan kekaisaran. Perdana Menteri yang selalu sibuk tak pernah tahu cara mengatasi anak-anaknya.
Semenjak istrinya meninggal, hanya Rigel yang selalu mengawasi adik-adiknya. Karena itu, ia tak memiliki kecemasan. Terutama saat mengetahui betapa overprotektif-nya Rigel pada kedua adiknya.
Namun sekarang dia harus mengatakan apa pada Adhara? Juga pada Capella.
Perdana Menteri merasa seperti sepuluh tahun lebih tua.
***
Mungkin ia terlalu terlena…..
Sebagai pemeran pembantu, Adhara tentu saja bukanlah jadi yang utama. Adhara yang asli selalu pendiam dan tak pernah mengeluh apa-apa. Mungkin karena ia menjelma menjadi Adhara, dan ia mengerti perasaan Adhara.
Meskipun ia mengerti Adhara, dia bukanlah Adhara.
Seorang ayah yang sibuk, tetapi lembut dan penyayang. Kakak yang siscon dan suka berkata seenaknya, tetapi perhatian. Adik yang cantik dan suka merusuh di kamarnya….
Itu semua bukan miliknya.
Lagipula ini hanyalah dunia yang disebut novel. Sebuah dunia yang diciptakan oleh penulis tak bertanggung jawab, yang ia sendiri lupa namanya.
Bagaimana bisa ia terlarut dengan alur di dunia ini?
Tetapi….
Ini pertama kalinya ia merasakan hidup bersama ‘keluarga’ yang sebenarnya.
“Adhara.”
Rigel sudah pulang, dan mungkin telah mendengar pertengakaran mereka dari ayahnya. Harusnya Rigel tak pulang secepat ini.
Rasanya, ia ingin membuka pintu dan menyapa Rigel seperti biasa. Entah mengapa sekarang ia tak bisa.
“Adhara, kau tahu aku akan selalu mendengarkanmu. Kalau kau sudah tenang, keluarlah dan bicara denganku,” pinta Rigel lembut.
Suara Rigel tak terdengar lagi.
Setelah itu, ia menangis keras dalam gelapnya kamar. Ia menenggelamkan kepalanya di bantal untuk mencegah suaranya keluar.
Hari ini sangat lelah dan sangat menyedihkan.
Ia baru menyadari bahwa sebenarnya ia sendirian di dunia ini.
***
Dalam tidurnya ia mempertanyakan kemana Adhara yang sebenarnya?
Jika ia menggantikan Adhara, apa Adhara akan menggantikan dirinya di kehidupannya yang dulu?
Ia tak bisa membayangkan gadis polos dan kikuk seperti Adhara harus mengalami hidup yang pelik sepertinya. Lalu, bukankah dia sudah meninggal di dunia-nya yang dulu.
Ia tiba-tiba mengingat kembali tentang persoalan di kehidupannya yang dulu. Persoalan yang ia tinggalkan.
Apa dia sempat melipat pakaiannya? Bagaimana jika orang masuk dan melihat kamar kost-nya yang berantakan?
Uang yang ia simpan untuk kuliahnya apa ditemukan oleh orangtuanya?
Bagaimana dengan pria tampan yang sering joging di depan kost-nya? Apa pria itu sudah putus dari pacarnya?
Apa ibu kost-nya menagih bayaran?
Lalu, menemukannya…
Apa dia… Meninggal saat ia tengah sendirian?
Malam itu, ia tertidur dengan air mata di pipinya. Ia bermimpi..
Mimpi?
Ia berdiri di depan sebuah makam. Makam itu memiliki nisan, tetapi tak ada nama apapun di atasnya.
Siapa yang bersemayam di sini? Dirinya kah?
“Ada bintang yang berdampingan di rasi Canis Major. Beberapa juta tahun yang lalu, bintang kembar ini berada dekat dengan matahari, dan jauh lebih terang dari sekarang. Namun sekarang cahaya mereka meredup, dan cahaya lain menutupinya.”
Suara itu menyapanya, dan ia menoleh…
“Dikatakan meskipun mereka kembar, cahaya mereka berbeda. Yang satu lebih redup dari yang lainnya. Meskipun begitu mereka tetaplah bintang yang sama. Mereka berdua adalah bintang bernama Adhara.”
“Bukankah ini hanya novel?"
Adhara mengangkat tangannya, “Apa yang tidak mungkin dari dunia ini, Adhara?”
Tiba-tiba mereka berpindah tempat. Mereka berada pada tempat yang dipenuhi dengan bunga. Ia memperhatikan sosok Adhara yang lembut. Dan ia merasa tak percaya jika selama ini dia menggunakan raga gadis ini.
Adhara, gadis ini dipenuhi dengan oleh bunga yang terus berjatuhan. Gadis ini penuh dengan kasih sayang.
“Seseorang pustakawan di pusat kota pernah mengatakan padaku. Saat bintang kembar Adhara meredup, mereka tak merasa kecewa dan marah pada pencipta. Mereka berkata…..”
Adhara menyatukan kening mereka.
Namun Adhara terus dilahap oleh bunga yang berjatuhan. Ia berusaha menarik Adhara untuk mendekat padanya. Ia melihat bibir Adhara bergerak..
Tetapi ia tak mendengar apa-apa.
“Adhara,” panggilnya pada Adhara yang menghilang dalam lautan bunga.
Srettt….
Pemandangan di sekitarnya berubah.
Ia menatap sekelilingnya. Sebuah kamar sederhana yang berantakan. Cat tembok di kamar sederhana ini sudah banyak yang mengelupas. Pakaian menumpuk di sudut kamar membuatnya menyadari bahwa ternyata pakaiannya belum dilipat.
Ia bangkit dari tidurnya dan meregangkan tubuhnya. Samar-samar ia mendengar suara deru kendaraan.
Hari ini berlangsung sama seperti hari biasanya..
Tunggu dulu…..
Dia berlari keluar dari kamarnya dengan cepat. Bahkan ia tak perduli saat ia tak mengenakan alas kaki. Ia berlari menyusuri bangunan yang cukup tua hingga ia mencapai pintu. Dan membukanya…
Sebuah jalan yang telah diaspal, meskipun masih ada yang bolong-bolong. Warung sembako di depannya, ia ingat sekali. Ia sering membeli makanan instan di sana.
Tangannya bergetar…..
Aku kembali?
***
Pernahkah kau membayangkan, jika dunia yang selama ini kau tinggali hanyalah sebuah novel. Kau adalah sosok yang dikarang oleh orang lain. Kau hanyalah entitas yang hidup dalam suatu elemen yang disebut sebagai imajinasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
Frando Kanan
huh? kembali? maksudny kembali ke hidup yg sebelomny???
2022-02-26
2
Jatmiko
Bintang yang bersinar makin terang adalah bintang yang hampir meledak , yang meredup pada akhirnya kemudian menjadi katai putih .
2022-01-23
0
Monti
Entah kenapa aku kesel sama Adhara.
Tapi ceritanya keren banget
2021-12-12
2