Adhara benar-benar bosan hari ini.
Setelah mengomeli Regor yang terus mengikutinya, Adhara membiarkan pengawal pribadi kaisar itu mengikutinya ke danau.
Ia tak bisa menemui Spica karena kehebohan, dan viralnya ‘kembaran bintang’ di wilayah istana dan sekitarnya. Ia juga bingung harus menanggapi apa, sebab ia tak tahu banyak tentang pemeran pembantu ini.
Regor hanya bisa memperhatikan Adhara yang melamun. Gadis itu tengah memperhatikan danau yang tenang. Danau itu ditutupi oleh kelopak bunga dan dedaunan. Sesekali nampak capung terbang merendah, dan mencium tipis permukaan danau.
Aroma khas danau tercium ketika angin menderu pelan. Menerbangkan kelopak-kelopak bunga baru agar berjatuhan di atas danau yang tenang.
Suasana dramatis ini cuma bisa kalian lihat di drama-drama korea.
Sangat menenangkan. Udaranya lembut dan bersih. Kunjungan ke sini gratis lagi.
Namun kenapa gadis kecil ini muram?
Adhara tak tahu bahwa Regor memikirkannya. Pikiran Adhara juga semakin menumpul setiap harinya. Ia bahkan sering melakukan hal yang sia-sia.
Bukannya menciptakan momen romantis antara Capella dan kaisar, dia malah kehilangan ciuman pertamanya.
Mau tak mau ia menghela napasnya.
Ia tak bisa pergi ke pusat kota karena ia masih terluka. Padahal ia berniat untuk merusuh di pasar, dan mendapatkan barang-barang diskonan.
Ayolah, setting di novel ini sangat jauh dari zaman modern. Ia bisa menemukan benda-benda yang dianggap bersejarah. Benda-benda yang bisa dilihat di museum, bisa ia lihat secara gratis di dunia ini.
Ha ha ha…
Ia tak pernah merasa sepuas ini.
Terkadang imajinasi itu berlebihan, tetapi itulah yang membuat bahagia.
Ia juga tak tahu bagaimana jadinya ia di dunia novel ini. Dia akan selamanya tinggal di dunia novel ini, atau kembali setelah menyelesaikan misi mencegah bintang jatuhnya.
Eh, bukannya dia sudah meninggal ya di kehidupannya yang sebelumnya? Apa saat ia kembali, ia akan dianggap mati suri?
Namun misi mencegah bintang jatuh ini masih jauh untuk mencapai ending. Ayolah ini baru episode belasan. Masih terlalu cepat untuk menentukan ending-nya. Jika misinya sudah selesai, tubuhnya mungkin telah jadi tulang belulang.
Eh, ada sesuatu yang penting lagi.
.
.
.
Apa di dunia novel ini ada dinosaurus ya?
Ia jadi ingin sekali-kali menunggangi dinosaurus. Jika nantinya ia sudah tua, ia akan menceritakan pada anak cucunya tentang pengalamannya.
Atau mungkin dia perlu menulis sebuah kalimat atau puisi di dinding istana. Supaya nanti di masa depan terjadi hal yang menarik, atau masuk ke keajaiban dunia.
Bisa jadi orang berpikir bahwa, “Wahh. Ternyata alfabet telah digunakan berabad-abad yang lalu. Ini buktinya. Nomor tiga bikin tercengang…”
Meskipun ia tak bisa jadi penemu, setidaknya ia sedikit bangga jika meninggalkan jejak di dunia novel ini.
Ia harus memikirkan puisi yang akan dia tulis nantinya. Mungkin ia harus menulis puisi romantis, tetapi pengalaman romantisnya nyaris nol. Bahkan adegan ciuman pun hanya sekali, itupun bersama seorang tiran bernama Aldebaran.
Plakk..
Adhara tiba-tiba menampar pipinya saat adegan itu muncul secara live di pikirannya.
Ingat motivasinya. Kaisar itu meskipun tampan dan bisa memperbaiki keturunannya nanti, tetapi Aldebaran itu menyukai Capella.
“Nona, kena gigit nyamuk ya?” tanya Regor yang menajamkan matanya untuk melihat eksistensi nyamuk.
“Aku mau menulis puisi.”
Regor menatap Adhara seolah melihat alien. Pemikiran unik Adhara selalu ia pertanyakan. Dari mana datangnya angin Adhara untuk jadi puitis?
“Apa ya kata-kata awalan yang bagus?”
“Dirimu adalah bintang,” jawab Regor sekenanya.
Adhara menatap Regor jengkel, “Kenapa harus bintang?”
“Negeri Bintang sangat memuliakan bintang. Jika nona memuji seseorang dengan menyamakannya dengan bintang, berarti nona mengagungkannya.”
“Kau punya seseorang yang kau bisa kau samakan dengan bintang?” tanya Adhara penasaran.
Wajah Regor memerah, “Kenapa Nona bertanya?”
“Hanya penasaran. Kau selalu mengekori kaisar kemana-mana. Aku jadi ingin tahu siapa calon bidadari surgamu nanti.”
“Nona…”
“Pasti tak ada kan?”
Regor menahan luka di hatinya….
Adhara memangku pipinya dengan kedua tangannya sampai pipinya nyaris mirip dengan mochi. Bibir Adhara mengerucut untuk meniup hidungnya sendiri. Dia benar-benar bosan sekarang.
Sepertinya ia juga belum menemukan puisi yang tepat untuk dia jadikan tulisan bersejarahnya.
“Regor, bagaimana kalau begini…”
Regor memasang telinganya dengan baik untuk memastikan bahwa ia tidak ketinggalan satu katapun dari titah calon nyonya-nya ini.
Bibir dinginmu
Saat di rerumputan
Menghanyutkanku
Adhata tak pandai merangkai kata-kata puitis, tetapi setidaknya ia bisa menulis haiku* untuk mengungkapkan pemikirannya sekarang.
Namun mengapa haiku-nya malah terlihat memiliki makna yang iya-iya. Mungkin ada virus tak kasat mata yang menyelinap di otaknya.
Pihak lain mencoba menahan pikirannya yang mengelana kesana kemari. Sulit untuk tak membayangkan bahwa Adhara ini punya pandangan yang unik tentang kata-kata puitis.
Jujur saja, jika Regor mendengar orang yang dicintainya menuliskan haiku seperti itu untuknya, ia akan memilih untuk menyiramkan kepalanya dengan air suci.
Terlepas darimana asalnya ide itu datang, Adhara pikir kata-kata itu cukup bagus. Namun ia menepis haiku itu saat menyadari bahwa maknanya merujuk pada kaisar tiran nan dingin.
Saat ini Adhara berharap ia tak bertemu dulu dengan Aldebaran.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
Kenapa orang ini selalu datang seenaknya?
Regor dengan cepat memberi hormat, “Keberkahan menyertai Kaisar Negeri Bintang.”
Adhara masih dalam posisi mager-nya mau tak mau ingin memberi hormat yang anggun seperti gadis-gadis bangsawan lainnya.
“Kau tak perlu terlalu sopan. Lenganmu masih terluka.”
Aldebaran memperbaiki posisi Adhara yang setengah berjongkok.
“Terima kasih atas kemurahannya, Yang Mulia.”
Gadis itu kembali ke posisi duduknya yang nyaman. Ujung gaunnya tersebar di rerumputan tipis, membentuk layaknya bunga besar berwarna biru. Rambutnya yang panjang menyentuh punggung, mau tak mau ikut tersebar di rerumputan.
Melihat bagaimana anak rambut Adhara yang melayang-layang karena tertiup angin, Aldebaran merasa ingin meletakkan jepit giok untuk menahannya.
Adhara bingung harus membicarakan apa. Ia melirik pada Regor untuk meminta bantuan, tetapi pengawal pribadi itu malah membuang wajahnya seolah tak mau ikut campur.
Melihat itu, Adhara menggeretakkan giginya seperti ingin menggigit kepala Regor. Lalu, melemparkannya ke danau.
Bagaimana bisa pengawal ini begitu tidak setia kawan dengannya.
Usut punya usut, apa Aldebaran mendengar haiku erotisnya?
“Bagaimana harimu, Adhara?”
Suara Aldebaran yang setenang danau mengacaukan pikiran Adhara. Jujur saja, Adhara sebenarnya menyukai suara itu, tetapi kali ini, ia sedang tak tenang.
Ia menggerak-gerakkan bibirnya seolah mempersiapkan kata-katanya.
“Seperti biasa, Yang Mulia. Namun hamba tak bisa kemana-mana karena hamba tengah terluka.”
“Kau ingin kemana?”
“Hamba ingin ke pusat kota untuk jalan-jalan. Namun saudara laki-laki hamba tak mengizinkan,” Adhara tanpa sadar mengadu pada Aldebaran.
“Baiklah.”
Eh?
Adhara meragukan cara kerja otaknya. Tanpa bisa ia cegah, ia dimasukkan dalam kereta kuda oleh Regor. Suara kaki kuda semakin membuat otaknya kacau.
Kemana ia akan dibawa?
Tak lama Aldebaran juga masuk ke kereta kuda. Namun Aldebaran telah mengganti busana kekaisarannya dengan pakaian serba hitam yang sederhana. Rambut kaisar yang biasanya ditata dengan rumit, kini disisir sederhana ke belakang.
Adhara menduga jika Aldebaran mengenakan pakaian modern, maka ia akan terlihat seperti seorang pengusaha.
Mata Aldebaran yang kelam menatap ke arah luar, seolah melihat sapi terbang atau seekor ayam yang tengah menari.
Berbicara soal Aldebaran, ini adalah momen yang tepat untuk menjalankan misi.
“Apa yang kau pikirkan?”
Suara tenang Aldebaran membuka labirin pikiran Adhara, “Hamba jarang sekali naik kereta kuda. Jadi, yahhh…. Hamba sedikit bingung.”
Sebenarnya bukan jarang. Dia malah belum pernah naik kereta kuda, selama ini ia sering berjalan kaki untuk menyusuri pusat kota bersama Spica.
“Apakah menyenangkan?” tanya Aldebaran yang masih menatap luar kereta.
Adhara mengangguk meskipun ia tahu Aldebaran tak melihatnya, “Ini menyenangkan. Tetapi, bolehkah hamba sedikit bercerita?” Adhara harus tetap pada misi mencegah bintang jatuhnya.
Akhirnya mata sekelam malam Aldebaran menatapnya. Mau tak mau Adhara mengedipkan matanya beberapa kali untuk mencegah dirinya terhipnotis.
“Yang Mulia pasti tahu kalau hamba punya seorang adik perempuan. Adik perempuan hamba itu juga suka jalan-jalan. Saat hamba menaiki kereta ini, hamba berpikir mungkin adik hamba akan cemberut karena tak mengajaknya ke pusat kota.”
Ayo bilang bahwa Capella menggemaskan!
Adhara harus menjabarkan poin-poin menggemaskan Capella sekarang. Sehingga saat Capella berusia 17 tahun, Aldebaran akan mengambilnya sebagai permaisuri.
“Capella suka sekali merusuh di kamar hamba. Warna kesukaannya itu hijau. Hamba pikir itu cocok sekali dengan mata Capella yang juga berwarna hijau. Adik hamba sangat pintar menari dan berpuisi.”
Adhara tahu informasi ini dari novel, tentu saja.
“Dia cukup cerewet, dan tak bisa diam. Tahu kah Yang Mulia bahwa Capella itu alergi kucing. Sebenarnya hanya bulu kucing, tetapi dia sangat menyukai kucing…”
“Apa yang Adhara sukai?”
Aldebaran memotong cerocosan Adhara dengan tenang.
Tangan Adhara segera menutupi mulutnya saat ia nyaris menyebut uang. Ia menggigit bibir bawahnya untuk mencari kata-kata yang tepat, namun ia tak boleh berbohong.
Lagipula Aldebaran bukanlah orang yang mudah untuk dibohongi.
“Hamba suka kegiatan yang menghasilkan uang,” jawab Adhara pelan dan halus seolah takut dengan reaksi Aldebaran.
“Karena itu, kau ingin masuk pengadilan tinggi?”
Nah, itu tahu sendiri…
Adhara cengengesan sebentar, “Hamba hanya ingin menghasilkan uang sendiri. Lalu ,membeli banyak hal yang hamba sukai.”
Sebuah impian anak kecil, tetapi patut untuk dimiliki.
“Kau bisa meminta pada Perdana Menteri Canis,” ucap kaisar lagi.
“Itu bukan uang yang hamba hasilkan sendiri. Hamba tak suka dilabeli anak bangsawan, hamba ingin menjadi bangsawan.”
Aldebaran menaikkan alis kirinya, tampaknya ia tertarik dengan pembicaraan mereka.
“Kau tak suka gelar bangsawan Canis?”
Dengan cepat Adhara menggelengkan kepalanya. Menolak untuk menyetujui anggapan kaisar padanya.
“Hamba sangat menyukainya. Namun hamba tak suka membebani orang lain. Beberapa tahun kedepan, hamba tak ingin hanya bergelar istri bangsawan, setidaknya hamba bisa menghasilkan sesuatu dengan jerih payah hamba sendiri.”
Aldebaran menyisir rambutnya sendiri ke belakang dengan tangan kanannya, “Aku dengar kau telah berjasa menyembuhkan seorang tabib.”
Ah, rumor ‘kembaran bintang’?
“Hamba hanya mengikuti insting hamba, Yang Mulia. Hamba tak punya kekuatan apa-apa. Hamba hanya ingin membantu teman hamba.” Adhara menahan matanya yang ingin berair.
“Teman?”
“Hamba berteman dengan asisten tabib kekaisaran bernama Spica, Yang Mulia.”
Aldebaran menyangga dagunya dengan tangan kanan sambil menatap Adhara.
“Apa dia baik?” tanya kaisar pada Adhara, seolah kaisar sangat tertarik dengan pembicaraan mereka.
Wajah Adhara mengkerut, “Dia sangat takut pada manusia. Hamba bahkan sangat sulit untuk mengajaknya kemana-mana. Apalagi saat dia tahu bahwa hamba diikuti oleh Regor. Dia menolak untuk menemui hamba karena takut pada Regor,” Adhara mengoceh dengan satu tarikan napas.
“Kau tak suka Regor?”
“Hamba tak membenci Regor, tetapi hamba sedikit risih jika selalu diikuti olehnya.”
"Apalagi Regor itu tipe pria yang sangat suka berbicara", lanjut Adhara dalam hati.
Ia tak bisa mengatakan hal itu langsung pada kaisar.
Mendengar hal itu, Aldebaran mengangguk pelan pertanda ia memahami apa yang dikatakan oleh Adhara.
“Bukankah itu perjanjian kita. Selama kau masuk ke pengadilan tinggi, Regor harus selalu bersamamu.”
“Ya,” jawab Adhara sekenanya.
“Beberapa hari lagi pengadilan tinggi akan diadakan. Sebuah musibah yang menimpa kota Dubhe,” Aldebaran segera mengalihkan pembicaraan.
Kota Dubhe?
“Seorang Jenderal dikirim ke sana untuk mengatasinya, tetapi kabar buruk itu datang lagi. Mau tak mau pengadilan tinggi di gelar kembali. Ini adalah kedatangan keduamu di pengadilan tinggi,” lanjut Aldebaran sambil menatap mata cokelat Adhara.
“Hamba akan memperbaiki sikap hamba, Yang Mulia,” Adhara yang sadar diri mau tak mau memutuskan untuk memperbaiki diri.
“Aku tak memintamu untuk berubah. Kau hanya perlu melakukan apa pun yang kau mau. Aku akan selalu mendukungmu. Namun hal itu tak berlaku dengan para pejabat tinggi lainnya. Kau harus berhati-hati.”
Adhara tak tahu apa yang dipikirkan oleh Aldebaran. Mata Aldebaran menatap luka Adhara dengan wajah serius layaknya menghadapi persoalan kekaisaran.
Bagaimana pun Aldebaran benar, pejabat tinggi yang ia temui waktu itu sangat suka mengoyak daging dan otak. Jadi, tidak ada waktu Adhara untuk bersantai.
Mata Adhara menelusuri rambut Aldebaran yang disisir ke belakang. Ia sangat terpesona dengan penampilan Aldebaran ini.
Rambut hitam yang pendek. Mata yang segelap malam mendukung kekelaman di rambutnya. Hidung yang membentuk sudut sempurna, serta bibir tebal yang jarang tersenyum.
Adhara memeriksa hidungnya karena takut mimisan.
Bukankah penulis membuat visual Aldebaran ini dengan penuh kasih sayang?
Seperti yang Adhara katakan sebelumnya, Aldebaran sempurna, tetapi Sargas lebih sempurna. Jika kau melihat Aldebaran, maka kau akan membayangkan malam di musim dingin. Namun jika kau melihat Sargas, kau akan membayangkan pagi di musim semi.
Tetapi ini semua tentang selera…
Kereta kuda terus berjalan. Adhara berhenti meletakkan kepalanya ke tempat pancung.
Ia tak bisa terus-terusan menatap pemimpin absolut di Negeri Bintang dengan pandangan fangirl. Ia kemudian beralih untuk memengamati pemandangan di luar dengan nyaman.
Anak rambut Adhara lagi-lagi bergerak karena tiupan angin. Ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta kuda, dan ini cukup menyenangkan.
Srett…
Adhara tersentak saat merasakan anak rambutnya disentuh oleh sesuatu.
Adhara melirik ke atasnya, mata gelap Aldebaran tampak fokus pada untaian rambut Adhara.
Adhara menduga kaisar tengah merapikan anak rambutnya dengan jepit rambut. Namun Aldebaran tak bisa memasang jepit giok itu dengan baik. Apalagi tangan Aldebaran yang kekar, terlihat tak cocok memegang jepit giok yang cantik itu.
Tawa kecil Adhara keluar, saat melihat Aldebaran yang kesusahan. Bahkan, rambut Adhara yang rapi mendadak terlepas dari tatanannya.
Adhara segera meraih jepit rambut giok itu, dan membantu Aldebaran memasangkannya dengan benar.
Jepit giok berwarna biru berlian itu terlihat menyatu dengan gaun biru yang dikenakan oleh Adhara. Adhara mungkin akan sedikit percaya diri jika menyebut kaisar sengaja memilihkannya.
Namun itu pasti tak mungkin.
“Kau terlihat senang.”
Aldebaran yang telah selesai memasang jepit rambut giok kembali ke posisi semula. Matanya menyelidik untuk mengamati wajah Adhara yang penuh dengan senyuman. Bahkan, mata kecokelatan Adhara menyipit ketika sedang tertawa.
Adhara yang masih tertawa kecil berusaha menahan diri. Ia tak menyangkal bahwa rasa bosannya tadi menghilang begitu saja.
“Hamba tak menyangka jika Yang Mulia akan memasangkan hamba jepit rambut giok. Hamba sangat berterima kasih atas jepit rambut ini.”
“Selama kau menyukainya,” ucap Aldebaran datar.
Adhara meraba jepit giok yang tersemat di rambutnya dengan pelan. Perlahan ia tersenyum lagi, tak urung hatinya sedang bahagia.
Inikah rasanya kencan?
***
*Haiku: Puisi pendek khas Jepang yang hanya terdiri dari tiga baris/larik. Puisi pendek ini memiliki pola suku kata 5-7-5.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
~Anyelir~
ya allah aku baca ini tengah malem kasian suami kebangun denger aku cekikikan dari tadi, aku suka banget sama plot2 yang absurd bgini
2022-06-16
0
Erlin Pramudyas
dingin dingin gimanaaaa gitu 🙈
2022-03-29
0
gu hariʕ´•ᴥ•`ʔ
sekelam apapun ceritanya klo tokohnya somplak gini,ya gk jadi serem malah ngakak mulu, jadi yg baca juga enjoy menghayati. Andhara dalam keadaan apapun selalu bertingkah dan berpikiran lucu😘😘😘
2022-02-10
0