“Adhara.... Adhara, kau baik-baik saja?”
Suara Capella terdengar sangat menyakitkan di telinga Adhara.
“Aku..”
Adhara berusaha menekan luka yang menganga di lengan kanannya. Berharap darahnya berhenti dan sakitnya menghilang. Namun luka itu masih terasa berdenyut. Wajah Adhara pucat karena menahan sakit. Ia bahkan tak sanggup lagi berdiri.
“Hey, kau tak akan mati kan?” tanya Spica kalut.
Adhara mau tak mau menarik senyumnya, “Kau seharusnya tak menggunakan mulutmu untuk berbuat dosa. Ini sakit.”
Sreett..
Spica merobek ujung gaunnya. Dengan gesit Spica mengambil bubuk obat dari tasnya, dan membalurkannya pada lengan Adhara yang terluka.
“Mendengar kau bicara, aku tahu kau baik-baik saja. Tahan ya,” Spica menatap mata Adhara yang berair.
“Tahan a…akkhh.”
Teriakan pilu Adhara terdengar mengerikan. Air mata Adhara mengucur dengan deras, mulutnya mengkerut menahan sakit.
Jika Adhara tahu ia akan sangat menderita, ia akan memilih mendorong Sargas untuk menjadi perisai. Ia tak perduli lagi soal momen-momen romantis mereka yang akan tercipta.
“Pendarahannya sudah berhenti.”
Spica mencoba merobek kain gaunnya lagi. Sobekan kain yang tadi sudah tak bisa dipakai karena penuh dengan darah. Spica menyesal karena tak membawa peralatan pengobatannya. Ia hanya berharap luka Adhara tidak mengalami infeksi.
Srekk..
Tangan Spica terhenti ketika mendegar suara sobekan di sampingnya. Tak lama Sargas menyerahkan sobekan bajunya pada Spica. Tanpa basa basi Spica mengambilnya dan mengikatkannya di lengan Adhara yang terluka. Ia mengabaikan tatapan Capella yang sedikit rumit ketika menatap tingkah Sargas.
Apapun yang terjadi antara mereka bertiga bukanlah urusan Spica.
Spica mengalihkan pandangannya pada Adhara yang terlihat jengkel. Mau tak mau ia mendesah, dan menyalakan lilin untuk Sargas.
Ia merasa tak perlu mencampuri urusan Adhara, tetapi Adhara adalah spesies yang cukup unik. Adhara ialah makhluk yang sangat tidak peka.
“Kita pulang,” putus Spica untuk mengakhiri tegangan listrik di sekitarnya.
***
Adhara harus mengalami masa pemulihan selama tiga hari. Bukan karena Adhara yang lemah, tetapi Rigel. Setelah melihat Adhara yang terluka di lengannya, Rigel nyaris meminta agar Adhara menjalani perawatan di istana pengobatan.
Melihat kegaduhan yang dibuat oleh Rigel, akhirnya Adhara meminta Spica untuk menjelaskan keadaanya. Spica harus beberapa kali mengatakan kata ‘hanya’ berkali-kali untuk menegaskan bahwa luka tersebut tidak akan mengancam nyawa Adhara.
Bahkan Spica menambahkan, meskipun Adhara tengah terluka, Adhara masih bisa melompat-lompat seperti sapi.
Namun penjelasan Spica tetap tak bisa memudahkan kecemasan Rigel. Ia bahkan nyaris memanggil ayahnya yang sedang sibuk di kekaisaran. Adhara segera mencegah Rigel untuk membuat kerusuhan di ruangan pejabat tinggi kekaisaran.
Dampaknya ialah Adhara harus mendekam di rumah selama tiga hari.
Rigel bahkan tidak mengizinkan Adhara untuk berjalan. Setelah Adhara nyaris mengamuk, Rigel akhirnya diam. Adhara juga melarang Rigel untuk memberitahu ayah mereka yang tengah sibuk di ruang kerja pejabat tinggi.
Bagaimana pun ia tahu, yang membuat ayahnya sibuk tak lain dan tak bukan ialah mengatur kebijakan yang baru bersama pejabat tinggi lainnya.
Capella juga tak mengatakan banyak hal tentang kejadian tersebut. Adhara juga tak mau ambil pusing dengan sikap Capella padanya. Ia juga tak perlu Capella untuk berterima kasih padanya, karena ia melakukan itu untuk menghancurkan momen heroik Sargas. Itu saja.
***
Rigel mendadak dipanggil oleh kekaisaran pada hari keempat pemulihan Adhara. Dengan wajah kusut, Rigel memerintahkan Adhara untuk tak kemana-kemana dulu. Apalagi ternyata luka di lengan Adhara belum mengering.
Adhara tak bisa membohongi Rigel, luka itu memang sangat menyakitkan. Luka itu cukup dalam dan panjang. Bahkan Adhara masih terlihat pucat, dan mengalami demam karena luka tersebut.
Rigel mencari Capella untuk menjaga Adhara, tetapi Capella tak berada di kediamannya pada hari itu.
Setelah Shaula menyetujui permintaan Rigel untuk mengawasi Adhara setiap detiknya, Rigel akhirnya pergi menuju kekaisaran.
Kepala Adhara terasa sakit, ia memutuskan untuk tidur siang. Namun ia tersentak kembali ketika mengingat suatu janji.
Ia harusnya menemui kaisar.
Adhara bangkit dengan cepat, dan sakit di lengannya langsung menyapa. Ia mengeluh dengan penderitaan yang dialaminya.
Ia telah menugaskan Shaula untuk membuatkannya telur gulung untuk camilan. Adhara sengaja memilih makanan itu untuk menipu Shaula, di dunia ini telur gulung tak pernah diketahui eksistensinya.
Adhara menyebut ciri-cirinya seperti apa, dan Shaula akan membuat sesuai dengan bentuk yang dicirikan Adhara. Dengan cepat, Adhara mengganti gaunnya dengan susah payah dan mengendap-endap keluar.
Urusan dengan kaisar bahkan lebih penting dari lukanya. Ini adalah persoalan hidup dan matinya. Dan Adhara berhasil keluar dengan mudahnya.
Ia berjalan pelan menuju istana Alnair dan mendapati Regor yang tengah berjaga di luar ruang baca kaisar.
“Regor,” sapa Adhara takut-takut, ia sekali-kali mengintip ke arah pintu ruang baca kaisar.
Regor terlihat ragu untuk menjawab sapaan Adhara. Ia memperhatikan Adhara dan tersenyum, “Yang Mulia tidak berada di ruang bacanya.”
Adhara mengalihkan pandangannya pada Regor dengan tak percaya. Jadi, untuk apa dia berada di sini kalau kaisar tidak di ruang baca?
“Aku melupakan janji. Kemarin. Aku.. Itu.”
Regor memperhatikan wajah Adhara yang pucat. Ia memang tahu bahwa Adhara berkulit pucat, namun penampilan Adhara hari ini lebih pucat dari sebelumnya.
Regor menduga, jika Adhara menutup matanya, maka Regor akan melihat seonggok mayat.
“Saya mendatangi kediaman Nona Adhara tiga hari yang lalu dan mendengar kabar bahwa nona tengah sakit. Yang Mulia juga tak memaksa anda untuk datang.”
“Bolehkah aku tahu dimana Yang Mulia?”
“Di aula pengadilan tinggi.”
Adhara menatap Regor dengan heran. Regor selalu mengawal kaisar kemanapun beliau pergi, tetapi mengapa sekarang pengawalnya ini stay di ruang baca?
Regor menyadari tatapan menyelidik Adhara padanya, “Yang Mulia memerintahkan saya untuk menunggu anda di sini. Kapan pun anda datang.”
Perkataan Regor terdengar seolah kaisar sangat menantikan kedatangan Adhara. Lalu, kenapa Regor tak memaksa untuk menjemputnya dua hari lalu?
“Kalau begitu aku akan pulang saja.”
Ia akan menemui kaisar besok. Ia akan meminta maaf sebesar-besarnya dengan kaisar nanti.
“Mengapa anda tidak menunggu di sini?”
Apa katanya? Menunggu?
Bagaimana bisa orang luar sepertinya, berada di istana Alnair tanpa kehadiran kaisar?
Dia bukanlah tamu kekaisaran atau orang penting bagi di Negeri Bintang ini.
“Bolehkah?”
Regor mengangguk dengan cepat, “Saya akan mengantarkan anda ke ruangan.”
Adhara mau tak mau mengikuti Regor. Ia tak punya keberanian untuk menolak jika disuruh menunggu kaisar.
Ia melupakan janjinya, mana punya ia hak untuk melalaikan titah kaisar. Ia tak berniat menyumbangkan kepalanya untuk jadi pajangan di alun-alun.
Regor mempersilahkannya untuk memasuki sebuah ruangan. Ruangan ini lebih agak normal dari ruang baca kaisar. Ini lebih seperti ruang tamu.
Ia kemudian duduk dan disuguhi oleh kasim beberapa camilan dan teh. Setelah itu, Regor keluar dari ruangan meninggalkan Adhara yang jadi kacang.
Adhara meraba lengannya yang kebas, dan menghela napas untuk keseratus kalinya di hari ini. Ia harus menangani perubahan alur dalam cerita ini dengan baik. Jika tidak, ia akan mengalami kematian lebih cepat daripada Adhara yang sebenarnya.
Untuk sekarang, nampaknya Capella tengah renggang dengan Sargas. Entah karena apa. Namun apapun itu ia tetap bersyukur.
Adhara tanpa sadar menguap. Ia baru saja meminum ramuan obat yang dibawakan Spica dari istana pengobatan. Spica mengatakan bahwa ramuan itu memiliki efek mengantuk, hal itu penting agar Adhara bisa tertidur. Karena luka yang diderita Adhara, ia akan sering merasa nyeri dan membuatnya tak bisa tidur.
Jadi, Spica meminta ayahnya meresepkan ramuan obat yang menimbulkan kantuk.
Adhara menyenderkan kepalanya ke dinding dan tertidur.
Baru saja Adhara tertidur, seseorang memasuki ruangan diikuti oleh pengawalnya. Sosok tingginya terlihat mengancam dan tegas.
Langkahnya terhenti ketika menyadari ada makhluk kecil yang tengah terlelap di dalam ruangan.
Sosok tinggi itu, kaisar, meminta Regor untuk tak mengganggu mereka dalam waktu setengah jam.
Saat itulah Regor lagi-lagi ingin menangis.
Aldebaran menatap wajah Adhara yang pucat. Jika saja ia tak mendengar suara tarikan nafasnya, maka Aldebaran akan mengira Adhara sudah tak bernyawa.
Gadis kecil itu benar-benar sakit.
Aldebaran duduk di hadapan Adhara dengan tenang seolah tak mau mengganggu tidur gadis di depannya.
Kesunyian pun menelan mereka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
Malana Griselda
Spica : terserah lu pada mau ngapain, bukan urusan gw
2025-02-08
0
Dyah Shinta
Sapi suka lompat2 ya?
2022-11-06
2
Black Rosa
🤣🤣🤣
2022-03-11
0