Regor nyaris tak menyadari bahwa mulutnya telah terbuka lebar. Ia mulai mempertanyakan seberapa besar keberanian yang dimiliki oleh gadis kecil ini.
Bahkan, di usianya yang baru 17 tahun gadis ini tak ragu melompat ke dalam api.
“Kau sudah tahu betapa mengerikan pejabat-pejabat kekaisaran di pengadilan tinggi kemarin. Namun kau ingin kembali lagi?” tanya Aldebaran penasaran.
“Daripada hamba hanya menyanggah kebijakan yang diatur oleh orang lain, lebih baik hamba langsung turun tangan. Hal tersebut lebih baik daripada menyanggah, tetapi tak tahu bagaimana kebijakan tersebut dijalankan.”
Adhara harus masuk dalam pengadilan tinggi. Ia harus mengawasi Sargas Auriga agar tak berbuat macam-macam. Dengan memiliki wewenang, ia juga tak harus menerima nasib yang sama seperti sebelumnya.
Ia menolak untuk menjalani hidup yang sama seperti yang dialami oleh Adhara yang asli.
“Apa yang ingin kau ubah?”
Ia ingin mengubah kematian konyolnya. Ia tak mau mati konyol. Dan jika ia berhasil terus hidup nantinya, ia tak mau hanya sebatas pemanis bagi suaminya nanti.
“Hamba tak ingin dipandang kecil oleh orang lain. Pernyataan Pejabat Auriga melukai hati hamba. Hamba tak mau dilabeli ‘hanya’ seorang gadis yang tak tahu apa-apa.”
Kalau dia bisa masuk ke pengadilan tinggi, ia akan lebih mudah mengatur strategi. Ia juga bisa mengawasi gerak-gerik Sargas dan kaisar sekaligus.
Ini akan lebih mudah, jika ia bisa melempar dua burung dengan satu batu.
“Aku akan mempertimbangkan permintaanmu karena aku juga perlu berdiskusi dengan Pejabat Tinggi Kekaisaran.”
Regor yang berdiri di belakang kaisar nyaris menangis. Menyaksikan bagaimana Aldebaran begitu longgar pada Adhara.
Gadis kecil ini berbahaya seperti rubah.
Regor berani bertaruh bahwa jika orang lain yang meminta ini, maka kepalanya akan menjadi pajangan di alun-alun.
“Hamba berterima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia.”
Aldebaran menatap Adhara dengan pandangan mempertimbangkan, “Apa yang kau lakukan besok?”
“Hamba memiliki janji dengan seseorang teman, Yang Mulia.”
Meski bingung, Adhara tetap menjawab pertanyaan ini. Adhara tak berbohong. Ia harus bertemu dengan Spica besok untuk menjalankan ‘misi mencegah bintang jatuh’.
Sesuai janji Capella saat acara penobatan kemarin, Capella akan bertemu dengan Sargas besok di bukit Wezen. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengurangi cinta Capella pada Sargas.
“Seorang pria?”
Adhara yang masih bingung menggelengkan kepalanya, “Teman hamba adalah seorang gadis tabib, Yang Mulia.”
“Bagaimana dengan besoknya lagi.”
“Hamba tidak memiliki rencana apapun,” jawab Adhara dengan cepat.
Mengapa kaisar ini mengecek agendanya?
“Luangkan waktumu. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.”
Regor lagi-lagi menahan diri untuk tak menangis. Bukankah titah kaisar mutlak?
Melihat kaisar yang benar-benar memikirkan Adhra, Regor menjadi dilema. Ia harus mengkritik kaisar, atau memuji kaisar untuk kesabarannya terhadap Adhara.
Mengapa bisa seorang kaisar repot-repot untuk meminta waktu pada seorang gadis kecil?
“Baik, Yang Mulia."
Aldebaran memerintahkan Regor untuk mengantar Adhara kembali ke kediaman Perdana Menteri.
Namun saat keluar dari istana Alnair, Adhara meminta Regor untuk kembali ke sisi kaisar karena ia bisa pulang sendiri.
“Saya tak bisa melalaikan tugas yang diberikan kaisar, Nona.”
Adhara tertawa renyah, “Kaisar juga tak melihat. Kediamanku juga tak jauh dari sini. Sampai jumpa lagi, Regor.”
Adhara melambaikan tangannya lalu berlari dengan riang menuju kediaman Perdana Menteri. Meninggalkan Regor yang tercengang. Mau tak mau Regor mengikuti Adhara diam-diam untuk memastikannya kembali dengan aman.
Ia memperhatikan Adhara yang berdiri kaku di depan kediamannya.
“Adhara, kau harus menjelaskannya padaku,” suara keras anak pertama Perdana Menteri menyapa pendengaran Regor.
Regor melihat Adhara yang tertunduk sambil mengerucutkan bibirnya ketika mendengar omelan Rigel.
Regor mendesah, gadis kecil ini seharusnya tak pernah melibatkan diri dalam masalah kekaisaran.
***
“Kenapa kita kemari lagi?”
Spica mengomel pada Adhara yang datang ke istana pengobatan tanpa diundang.
Setelah membuat ayah Spica hampir menangis terharu karena Spica akhirnya memiliki teman, Adhara menyeretnya ke bukit Wezen.
“Kita harus menggagalkan kencan adikku dengan pria Auriga itu,” Adhara mengintip-intip dari balik rimbunan tanaman. Sesekali ia memaksa Spica untuk menunduk.
Bocah baru puber ini tak bisa diajak kerja sama. Padahal Adhara melakukan ini untuk kesejahteraan mereka berdua. Kalau kerusuhan tak terjadi, mereka juga yang akan damai dan bahagia.
“Bukankah bagus kalau adikmu punya pasangan. Jika kau mau, cari mulai dari sekarang. Walaupun aku tak yakin, tak ada pria yang mau pada gadis tak tahu malu sepertimu,” hina Spica.
Kenapa bocah pendiam seperti Spica bisa jadi seperti ibu kost begini?
“Diam aku sedang sibuk!”
“Aku mau pulang,” Spica bangkit dari persembunyian mereka.
Baru saja ia ingin bangkit, Adhara langsung menarik tangannya. Spica nyaris tersungkur di hamparan rumput.
“Mereka datang.”
Spica batal mengeluarkan omelannya. Ia mengikuti arah pandangan Adhara yang terpusat pada dua sejoli yang tengah berdiri di bagian kiri bukit Wezen.
“Kita terlalu jauh. Aku tak bisa mendengar perkataannya,” keluh Adhara.
Spica menajamkan pandangannya, “Bukankah mereka terlihat bertengkar?”
Adhara memaksa matanya untuk membelak, dan membentuk teropong dengan kedua tangannya, “Benarkah?”
Yang dilihat oleh mereka ialah Capella yang membuang wajahnya, menolak menatap Sargas. Sedangkan Sargas terlihat seperti biasanya, terus tersenyum lembut seolah ada yang meletakkan peniti di ujung mulutnya.
Jika mereka bertengkar maka itu kabar baik. Meskipun Adhara tak tahu apa yang membuat mereka bertengkar, tetapi Adhara menyukai perkembangan ini.
Poin penting dari novel sampah itu bukan hanya di pertemuan ini saja. Penulis menggunakan strategi yang pasaran.
Nanti Capella akan diserang oleh perampok ketika pulang nantinya. Di situlah Sargas menyelamatkannya, dan membuat Capella terus menebarkan love love di udara.
Ia tak bisa membiarkan Sargas mencuri momen heroik lagi. Adhara akan mengubah novel romantis itu menjadi novel historical.
Adhara akan membuat Kaisar Negeri Bintang mencapai kejayaan yang lebih besar dari sebelumnya, hingga masuk ke dalam catatan sejarah. Dalam catatan sejarah itu terdata permaisuri kesayangan kaisar, Capella Canis.
Ha ha.. Rasakan kau penulis..
Spica menatap ngeri pada Adhara yang senyum-senyum tak jelas. Jangan-jangan Adhara ini sengaja memisahkan mereka, karena Adhara menyukai Sargas. Tetapi melihat sifat bar-bar Adhara, Spica langsung menggelengkan kepala.
Menolak membayangkan adegan romantis, yang tak mungkin pantas dilakoni oleh Adhara.
Setelah mereka memberi makan nyamuk di bukit Wezen selama setengah jam, Adhara baru menyeret Spica untuk membuntuti Sargas yang tengah mengantar Capella pulang. Adhara dengan hati-hati melirik ke sekeliling mereka untuk mencari jejak perampok itu, sedangkan Spica lagi-lagi mencoba sabar.
Srett...
Adhara tersentak ketika lehernya menyentuh sesuatu yang dingin. Ia melirik ke bawah dan mendapati sebuah pedang menempel di lehernya, hanya satu sentakan kepalanya akan lepas.
“Mengapa kau mengikuti kami?”
Suara Sargas membuatnya tersentak. Ia membalikkan badannya, dan mendapati Sargas dan Capella yang berdiri di belakangnya.
Sejak kapan mereka ada di belakang?
Melihat bahwa yang mengikuti mereka adalah Adhara, dengan cepat Sargas menarik kembali pedangnya. Ia mendesah bersalah ketika mendapati mata Adhara yang berkaca-kaca. Namun air mata itu dengan sombongnya terus bertahan tanpa berniat untuk terjatuh.
“Kak Rigel menyuruhmu?”
Capella mengusap bahu Adhara yang bergetar. Ia berusaha menenangkan Adhara yang ketakutan. Ia juga mengalihkan pandangan pada seorang gadis bergaun hitam yang juga nampak ketakutan.
Adhara mengumpulkan keberaniannya yang nyaris ke akhirat, “Aku mengikutimu karena aku tak mau kau bertemu Tuan Auriga. Dan kau, bagaimana bisa kau sembarangan melayangkan pedangmu? Kalau kepalaku terbang, kau tak akan bisa menyambungnya lagi.”
"Aku meminta maaf atas hal itu. Tetapi Adhara sendiri yang membuntuti kami, aku pikir kau orang jahat,” bela Sargas.
“Tak mau perduli. Lihat Capella, Tuan Auriga ini sangat mengerikan, jangan dekakti dia lagi. Aku akan melaporkanmu pada kakak, beraninya kau mencuri adikku.”
“Aku yang mau bertemu dengan Sargas, Adhara,” Capella yang terpikat dengan Sargas, tentu saja menjadi bucin.
“Sudah kubilang cintamu pada Tuan Auriga itu seperti kentut sebelum BAB. Membuat mulas tapi bukan yang sebenarnya.”
Spica mendelik pada Adhara yang berbicara absurd, sedangkan Sargas hanya tersenyum mendengar ucapan Adhara.
Satgas menatap Capella dan Adhara secara bergantian. Meskipun mereka berdua bersaudara, tetapi sifat mereka sangat berbeda.
“Ayo pulang, Spica. Kau juga Capella,” Adhara menarik tangan mereka berdua untuk mengikutinya.
Spica yang sejak tadi diam memilih mengikuti Adhara. Bagaimana pun, ia juga tak bisa mengatakan apa-apa untuk hal ini. Ia juga tak mengerti mengapa Adhara sangat memusuhi Sargas.
“Aku akan mengantar kalian pulang,” Sargas bertindak gentleman.
“Tak perlu. Silahkan melayangkan pedang anda ke pohon,” ucap Adhara jengkel.
Adhara melihat seorang pria asing mendekat ke arah mereka. Ini pasti perampok itu. Ia dengan cepat mendorong Capella ke arah Sargas.
Crass..
Hal itu terjadi dengan cepat. Sargas yang terkejut refleks menangkap Capella yang didorong ke arahnya. Namun ia tak sempat meraih Adhara yang agak jauh darinya.
Sargas segera memukul pria penyerang itu sampai pingsan. Saat itulah Sargas menyadari pisau yang dibawa pria itu dihiasi cairan merah.
“Ahhh…”
Suara teriakan memenuhi telinga Adhara. Tubuhnya terpaku ketika merasakan perih di lengannya. Ia melirik bagian yang sakit dengan takut-takut, dan mendapati lengan bajunya sobek. Wajahnya pucat ketika menyadari luka panjang tercetak di lengannya.
Bagaimana bisa pria itu tidak mengikuti alur cerita?
Ikuti skenario dong, mas!
Harusnya pria itu tak membawa pisau. Dalam cerita yang sebenarnya, perampok itu hanya mendorong Capella dan mengambil kantong uangnya, tanpa meninggalkan luka apapun. Kemudian, Sargas menangkap Capella, dan menghajar perampok itu.
Mengapa sekarang perampok ini membawa pisau?
Ia tak berniat menjadi perisai seperti ini. Dia hanya ingin mendorong Capella agar yang menolong Capella itu adalah dia, bukan Sargas. Tetapi adegan Sargas menangkap Capella, dan juga menghajar perampok itu masih terjadi.
Mungkinkah ia melakukan hal yang sia-sia?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
Malana Griselda
tutup mulut mu regor, sebelum kamu disuruh nangkep nyamuk buat kodoknya Adhara😭😭😭
2025-02-08
0
Malana Griselda
yaampun, pedasnya
2025-02-08
0
ikaindra🌺
wkwkwkwk ..td nya mau jd pahlawan malah Andhara yg kena pisau....haduhh mas hati hati dong
2024-09-05
0