Adhara menatap pusat kota dengan buas. Pusat kota merupakan tempat yang benar-benar menarik.
Tidak seperti di istana yang lingkungannya dikelilingi kasim dan pengawal, pusat kota terdapat banyak makhluk yang bisa digibahi.
Ketika ia di istana, ia selalu merasa tinggal dalam museum, tetapi pusat kota sangat ramai dan hidup.
Ia selalu berpikir jika ia terlalu bar-bar untuk tinggal di istana yang cukup ketat dan disiplin. Namun ketika di kota ia merasa bahwa tingkahnya itu biasa di dunia ini, tetapi tingkatan mereka ialah jelata.
Dengan kata lain. Adhara tak pantas menjadi bangsawan kekaisaran.
“Rasanya aneh.”
Adhara menoleh pada Spica yang introvert. Sejak tadi Spica terlihat tak nyaman dan mengatakan bahwa mereka harusnya tak ke pusat kota.
“Apanya?”
“Kau bisa kan meminta tuan Rigel untuk mengutus kasim dan pengawal agar menemanimu,” Spica mendengus saat melihat orang-orang di pusat kota memperhatikan gaya berpakaiannya yang serba hitam.
“Lebih nyaman tanpa pengawal.”
“Gadis bangsawan sepertimu harusnya selalu bersama pengawal atau kasim.”
Deskriminasi semacam ini selalu mengganggu Adhara, “Para gadis tak selemah itu.”
Spica menyipitkan matanya pada Adhara yang tengah asyik menatap pasar dari kejauhan. Berbeda dengan gadis bangsawan lainnya yang seringkali risih jika berada di tempat panas dan padat penduduk, Adhara malah menikmati.
“Kau mau ke pasar?”
“Oh jadi itu pasar. Pantas ramai. Aku mau ke sana.”
“Gaunmu…”
Baru saja Spica ingin mengatakan gaunmu tak cocok berada di sana, Adhara sudah menariknya menuju keramaian pasar.
“Wuoohh.. Ini sama,” mata Adhara terlihat girang melihat baju-baju murah yang dijual di pasar.
“Sama?” wajah Spica terlihat tidak mengerti.
“Dengan pasar yang kuingat,” Adhara dengan cepat mengarang jawaban.
Adhara menatap buas pada pakaian di pasar. Apa di dunia ini bisa diskon? Dia bisa menawar harga kan pada barang-barang yang ada di depannya?
“Ibu, bisa kasih diskon?” tanya Adhara pada penjual pakaian.
“Itu sudah paling murah,” bantah ibu penjual.
Ia menatap Adhara kesal. Penampilannya terlihat seperti bangsawan, tetapi minta potongan harga.
“Ibu, ini kainnya agak tipis. Bagaimana bisa harganya semahal itu?”
“Kalau harganya diturunkan, keuntungan buat saya kan habis.”.
“Saya cari di tempat lain saja.”
“Pakaian ini tak ada di tempat lain. Saya kasih lebih murah sedikit.”
“Hanya sedikit? Ibu ini berniat memberi saya diskon apa tidak?”
Spica menatap Adhara takjub. Seumur hidup ia belum pernah menyaksikan proses jual beli seperti ini. Apalagi wajah Adhara yang tampak berubah-ubah, dan teknik tarik ulurnya yang fasih.
“Ya sudah. Saya cari yang lain aja. Harganya itu mahal sekali, Bu.”
Adhara meninggalkan toko pakaian itu dengan jengkel.
“Kamu kan bisa bayar dengan harga penuh, atau bahkan lebih mahal.”
Spica yakin Adhara punya lebih dari cukup uang untuk membayar pakaian itu. Padahal harganya menurut Spica sangat murah, tetapi kenapa harus dipotong lagi?
“Bajunya itu tipis, dan harganya tidak sesuai,” omel Adhara.
Spica akhirnya berpikir bahwa ia belum bisa menjadi gadis yang sempurna.
Mereka berkeliling di pasar selama dua jam. Berbeda dengan Adhara yang antusias, Spica terlihat hampir mati dan pucat saat menerobos keramaian pasar.
Melihat itu, Adhara jadi ingat tujuan mereka datang ke pusat kota. Ia menarik Spica keluar dari keramaian pasar dan mengucapkan sampai jumpa pada barang-barang diskonan.
Suatu saat ketika hidupnya sudah terjamin keselamatannya, maka ia akan mencari pekerjaan dan berbelanja dengan uang yang ia hasilkan.
Kembali pada proses penyelidikan. Seingatnya Sargas tinggal tak jauh dari pasar. Tapi dimana ya? Ia mencoba mengingat-ingat.
Dalam novel diceritakan Capella sering bertemu dengan Sargas diam-diam di dekat kediamannya Sargas.
“Kau tahu dimana bukit Wezen?”
Spica yang tengah menepuk gaunnya menoleh pada Adhara, “Di dekat sini.”
"Benar kan," sorak Adhara dalam hati.
“Tunjukan tempatnya.”
“Sejak kapan aku bersedia mengawalmu?” tanya Spica jengkel.
Adhara menggeleng, “Bukan mengawal, tetapi menemani.”
Kalau dia tahu tempatnya ia pasti tak akan minta temani oleh bocah pubertas seperti Spica. Dia masih awam tinggal di dunia yang seperti tempat-tempat bersejarah ini.
“Apa bedanya?”
“Mengawal itu menjaga, menemani berati bersama teman.”
“Bukankah kau malu kalau berteman dengan seorang anak tabib.”
Adhara melambai-lambaikan tangannya menyanggah, “Memang apa istimewanya ‘hanya’ menjadi anak bangsawan?”
Kecuali jika Adhara berhasil jadi bangsawan dengan kemampuannya sendiri.
Ia yang berasal dari dunia yang modern dan terbuka.
Meskipun memang ada perbedaan perlakuan sesuai tingkatan ekonomi dan sosial, tetapi bukan berarti orang yang berada dan punya kekuasaan diagungkan sebagai dewa.
Pengadilan tinggi di dunia ini juga terasa sekali hierarkinya, dimana hanya putra-putra bangsawan yang bisa masuk ke dalamnya. Padahal banyak orang-orang biasa yang tak kalah cerdasnya dari para bangsawan.
“Pengadilan tinggi dan kekaisaran harusnya membuka tempat untuk orang-orang berbakat tanpa memandang status bangsawannya. Bisa saja Negeri Bintang akan lebih maju dari sekarang.”
Apalagi jika yang dibicarakan saat pengadilan tinggi berlangsung itu adalah tentang masyarakat.
Bukankah sangat penting mendengarkan pendapat mereka.
“Bukankah kau berpikir terlalu rumit.”
“Apanya?”
Bagaimana itu bisa menjadi rumit? Itu hanya seperti kau memandang setiap bakat seseorang bisa muncul dari semua kalangan. Dengan beranggapan seperti itu, tidak ada yang bisa tinggi hati hanya karena status kebangsawanan.
“Bagaimana bisa seorang gadis membicarakan persoalan kebijakan kekaisaran," sanggah Spica.
Adhara tersenyum, “Hanya mau saja.”
Hanya karena ia terbiasa hidup dengan lingkungan yang memiliki kebebasan berpendapat. Dimana persoalan gender dan tingkatan sosial memang selalu menjadi persoalan, tetapi karena kebebasan berpendapat ada, hal itu bisa diperbincangkan.
“Ini bukit Wezen kan?"
Adhara sedikit familiar dengan lingkungan di sekitarnya. Ini memang sama seperti yang dideskripsikan dalam novel.
Bukit yang jika dilihat dari jauh akan terlihat berwarna kuning keputihan. Hal itu karena tempat ini dipenuhi oleh bunga-bunga kecil berwarna kuning pucat. Jika berada di bukitnya kita akan melihat pasar dari kejauhan.
Penulis benar-benar orang yang berotak buaya. Dia tahu bagaimana cara membuat sebuah tempat yang dapat menunjukkan kasih sayang.
“Kenapa kau mau kemari?” Spica menyeka keringat yang sangat jarang ia keluarkan.
“Aku mencari seseorang,” Adhara menoleh ke sana kemari seperti pencuri yang berjaga-jaga.
Spica mendelik pada Adhara, “Kau membawaku kemari untuk mencari seseorang? Padahal kau bisa meminta tuan Rigel untuk mengutus orang.”
“Aku tidak bisa memberitahu tentang orang itu padanya.”
“Kau kencan diam-diam.”
Adhara balas mendelik pada Spica, “Kau tidak dengar. Aku mencari.”
“Kita pulang,” putus Spica.
Hey, ia baru saja ingin mulai menyelediki Sargas dan bocah baru pubertas ini mendadak mau pulang. Jangan bercanda. Ia harus berbohong dan menebarkan omong kosong pada Capella dan Rigel hanya untuk keluar hari ini.
Spica tiba-tiba terdiam, “Aku melihat sesuatu.”
Adhara menatap Spica dengan horor. Apa bocah ini ingin mengatakan kalau ia merasakan aroma-aroma kejahatan atau makhluk halus?
Ayolah, ini bukan liputan acara mistis. Mungkin Adhara harus ikut menceritakan kejadian mistis yang dialaminya.
“Aku melihat bintang jatuh.”
Ramalan Spica?
“Ayah bilang jangan mengatakan ini pada siapapun. Tetapi aku harus mengatakan ini padamu,” Spica mendudukkan dirinya di hamparan bunga berwarna kuning.
Jadi yang mengubah alur ialah ayah Spica. Dalam novel, sebenarnya ayahnya membiarkan Spica membicarakan hal tersebut saat menghadap pengadilan tinggi. Alasannya ialah untuk menghindari bencana, tetapi sekarang ayah Spica melarang Spica untuk membicarakan ramalannya.
“Aku melihat itu dalam bentuk kilasan-kilasan. Setiap saat sampai aku merasa pusing, tetapi…”
“Saat kemarin aku bertemu kamu di danau. Aku tak melihat bintang jatuh lagi.”
Adhara menolak untuk berkomentar.
“Jadi?”.
“Apa yang kamu sembunyikan?” tuduh Spica.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
Malana Griselda
why not? emang sih, dijaman dulu wanita dilarang ikut campur soal kerjaan cowok, tapi dijaman sekarang, cewek harus berpartisipasi bantuin kerjaan cowok, maksudnya kayak berumah tangga tapi ada kebutuhan yang masih belum tercukupi, si ibu harus ikut bekerja
2025-02-08
0
Malana Griselda
jangan gitu, Spica. malah menurut ku keren loh, jadi kalo kemana-mana bisa berbuat kebaikan
2025-02-08
0
Malana Griselda
kasian Spica ga dikasih minum atau makan sama Adhara, padahal udah diajak keliling 2 jam😭😭😭
2025-02-08
0