☆▪☆▪☆
Sezi menikmati pekerjaannya selama beberapa waktu ini sampai dimana bocah remaja itu memintanya untuk menjadi ibu tiri baginya.
"Kakak mau ya sama papa aku, please!."
***
-
-
"Kamu kenapa?." Cia menepuk bahu Sezi saat berada di ruang ganti.
"Percaya gak Ci kalo anak itu minta aku buat jadi emak tirinya?." Sezi mendengus kesal.
"Ha?. Sumpeh lu?!!." Cia terbahak-bahak karena ucapan Sezi yang menurutnya benar-benar seperti drama.
"Maksa aku buat nikah sama bapaknya yang mahal senyum itu."
"Eh, tapi ganteng loh Sez. Banyak duit pula."
"Gak ngaruh sama aku kali Ci. Ganteng itu gak jadi jaminan dia bisa baik sama pasangan. Apalagi ini kasusnya cerai dan si istri kabur sama sepupunya sendiri, mikir gak?."
"Iya sih, tapi orangnya kelihatan baik kok."
"Lagian ni ya, yang minta kan anaknya bukan bapaknya. Ya kali aku nikah buat momong anaknya orang?. Ogah lah!."
"Kamu lama-lama kayak bawang merah ya?." Cia tertawa karena kalimat kejam yang Sezi ucapkan.
"Sesuai kata hati aja lah Ci, aku sih bukan yang suka nutup-nutupin perasaan orangnya."
"Bener!. Setuju ama kamu." Cia mengangguk untuk kata-kata yang baru saja Sezi ucapkan.
-
☆▪☆▪☆
-
Doni menatap foto Sezi bersama sang putri di ponsel miliknya.
Tak bisa mengelak jika ia benar-benar ada rasa untuk wanita yang bekerja sebagai terapis dirumah sakit itu.
"Apa semudah itu untuk mendapatkannya dengan status ku yang sekarang?." Gumamnya sembari mengusap wajah Meily dengan jemarinya yang tengah tersenyum cerah disamping foto Sezi.
Tak lama terdengar suara ketukan dari balik pintu dan seketika membuyarkan lamunannya.
"Masuk!."
Sang sekretaris menyembul dari balik pintu dan memberitahukan kepadanya jika ada seorang wanita tengah memaksa naik ke atas untuk bertemu dengannya.
-
☆▪☆▪☆
-
Bitha sedang berada dipanggilan telepon Sarah, dimana wanita mantan pegawai bank itu memberitahunya jika besok dia akan pulang ke kampung halaman mereka dan menanyakan kepadanya apakah ada yang akan dititipkan untuk orang tuanya dikampung.
"Gak usah deh Sar, aku nitip duit aja entar buat beli kado." Balas Bitha dengan tangannya yang sibuk menata buah kedalam kulkas.
Bian yang saat itu akan menuang air kedalam gelas justru terdiam pada posisinya dengan fokus mata serta pendengarannya yang mengarah pada sang kakak.
"Oh, jadi dikenalin sama temen sekantornya." Bitha mengangung-angguk tipis dengan tangan yang terus bergerak. Sedangkan Bian, pria itu tampak diam menyimak pembicaraan Bitha dengan seseorang yang ia ketahui adalah Sarah.
"Iya, Salamin aja ya ke dia. Sory gak bisa dateng dihari spesialnya." Bitha kemudian menutup panggilan telepon Sarah. Betapa terkejutnya ia saat mendapati adik lelakinya tengah berdiri tanpa suara tepat disudut meja makan.
ASTAGFIRULLAH!!
"Ya ampun Bi, ngagetin aja sih!. Berdiri dibelakang orang gak pake suara." Bitha memarahi Bian yang justru berbalik menarik kursi dari bawah meja makan untuk ia duduki.
"Siapa yang nikah kak?." Tanya Bian tanpa melihat Bitha yang masih sibuk memunguti kertas bekas lapisan buah yang ia masukan tadi.
"Adeknya Sarah." Bitha begitu ringan menjawab pertanyaan Bian yang tanpa ia sendiri sadari jika kata-katanya ternyata memiliki kekurangan.
Bian tetiba meninggalkan tempat duduknya begitu saja membuat Bitha melirik tak paham kearah punggung pemuda itu.
-
***
-
Hari berlalu, sudah dua hari ini perasaan Bian diliputi mendung pekat. Hatinya merasa begitu gelisah karena kata-kata Bitha yang terus terngiang setiap kali ia akan memejamkan mata dan hal itu membuat kantung dibawah matanya semakin kentara juga terlihat tak sehat.
"Adeknya Sarah"
Bian tersenyum tipis setiap kali mengingat kata-kata Bitha. Otaknya seolah menolak jika harus menahan perasaan tak menyenangkan untuk selamanya.
Pagi itu Bian pergi ke kantor dengan mengendarai motor seperti biasa. Sesampainya dikantor ia menyapa security yang tengah berdiri di depan pintu masuk. Tak biasanya pemuda itu melakukan hal ajaib seperti yang terjadi saat ini.
Rudy yang sudah lebih dulu sampai melihat jika Bian tidak terlihat baik-baik saja meski wajahnya terus menampilkan senyum.
"Kamu kenapa?." Tanya Rudy yang baru saja keluar dari arah pantry dengan membawa secangkir kopi hitam ditangannya.
"Kenapa?." Balasnya.
"Ya kamu itu yang kenapa, kok pagi-pagi udah tebar pesona kaya manusia sebelah."
"Paan manusia sebelah?." Mahesa tiba-tiba saja muncul dari balik punggung Bian.
"Noh yang biasanya main belakang!." Rudy meninggalkan keduanya sembari tertawa lebar.
"Masalah nih sama otaknya si Rudy." Mahesa berdecak malas sembari melangkahkan kakinya menuju pantry untuk mengambil air panas.
Sedangkan Bian, ia hanya diam diambang pintu. Perasaannya kembali berulah saat menatap Mahesa yang tengah memunggunginya.
'Adeknya Sarah'. Kalimat itu seolah-olah menjadi sebuah mantra yang terpatri dalam ingatannya.
Bian tiba-tiba berbalik dan secara tak sengaja ia justru menabrak Rina yang akan masuk kedalam dengan membawa tumbler.
Bugh!.
"Maaf."
"Sory, aku gak sengaja." Bian memungut tumbler wanita itu lalu menyerahkannya kepada sang empu.
Pemuda itu kemudian berlalu tanpa berkata lebih jauh sedangkan Rina hanya mengikuti arah pandangnya yang menatap keanehan dalam diri Bian.
"Kenapa Rin?." Tanya Mahesa yang baru saja akan keluar pintu.
"Itu, mas Bian kok wajahnya kaya beda aja. Gak seperti biasanya." Ujar Rina dengan masih menolehkan kepalannya.
"Sama, aku juga merhatiin dia beberapa waktu ini kaya mau hujan." Komentar Mahesa mengenai tetangga mejanya itu. Mahesa berlalu setelah berbasa-basi dengan Rina, wanita sekantornya yang ia ketahui telah lama menyukai Abian.
-
-
"Loh, Bian mana?." Tanya Rudy kepada Mahesa yang baru saja menarik kursi putar dari bawah meja kerja.
"Mana Gue tahu, bolos kali!. Lah emang tadi gak ada ngomong apa-apa ke elu?." ucap Mahesa yang justru balik bertanya kepadanya.
"Gak ada tuh!. Malah ku pikir tadi ngobrol sama kamu."
"Gak ada!. Diem aja tadi pas gue sibuk bikin kopi." Mahesa menggaruk dagunya sembari mengingat-ingat.
-
-
-
***
Bian, pemuda itu memutuskan meninggalkan kantor dijam yang seharusnya ia telah duduk manis menatap layar andalan.
Bian mendatangi Bitha yang baru saja tiba di rumah sakit bersama Alex. Ia berniat memberikan kunci rumah yang memang ia simpan untuk cadangan.
"Kunci rumah?." Tanya Bitha yang baru saja turun dari mobil.
"Pegang aja." Ucapnya
"Buat apa?."
"Aku pergi sebentar." Jawabnya setelah berpesan kepada si bos pemilik perusahaan jika ia sudah mengirimkan pekerjaannya melalui alamat email sekretaris Alex dan juga kepada atasannya yang bertanggung jawab di mini office milik pria itu.
"Kamu mau kemana Bi?." Bitha masih tak paham dengan apa yang adiknya lakukan namun tangan Alex lebih dulu menahan pundaknya.
"Udah, biarin aja. Biar dia selesaikan masalahnya dulu."
"Masalah apa?."
"Ya i don't know lah."
"Tapi kak, dia itu anaknya susah buat nahan emosi. Nanti kalo ada apa-apa sama dia gimana?."
"Enggak, yakin aja!."
"Gak bisa kak, dia ngasih kunci rumah!. Itu artinya dia pergi gak sebentar!."
"Dia sudah besar, sudah seharusnya dia punya privasi untuk tidak selalu melibatkan kita dalam masalahnya dan kita harus hargai itu."
Mata Bitha terlihat berkaca-kaca menatap kepergian Bian yang tidak mereka ketahui kemana tujuan pemuda itu meninggalkan kunci rumah mereka.
.
.
.
tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Reni Apriliani
susulin sonoh Bian, biar ga gegana 😆
2022-07-06
2
Rafa Aqif
pulang pulaaang....lagi situasi kondisi nyooookkk..
2022-07-06
1
Lilik Rudiati
galau bang...
2022-07-06
1